Hidup bersama hemofilia selama lebih dari 34 tahun, HK telah menjalani berbagai pengobatan untuk penyakit bawaannya tersebut. Mulai dari transfusi darah hingga mengonsumsi obat honsentrat faktor VIII pembekuan darah. Pengobatan hemofilia memang cukup rumit, dan harus dijalani seumur hidup.
Selama perjalanannya dan bertemu dengan para penyandang hemofilia lain, ada hal yang membuat HK teramat resah. “Saya melihat adanya tantangan dalam deteksi dan penanganan hemofilia di Indonesia, sehingga menyebabkan bayi dan anak-anak dengan penyakit ini mengalami perdarahan yang berisiko, sampai memakan korban jiwa. Sungguh memilukan,” ujarnya.
Hemofilia merupakan kelainan pembekuan darah akibat kurangnya faktor pembekuan darah. Ini merupakan kelainan bawaan, yang biasanya diturunkan. Pada penyandang hemofilia, darah tidak bisa membeku dengan baik. Alhasil bila terjadi cedera maupun tindakan medis seperti operasi dan lain-lain, darah akan sulit berhenti. Bisa pula terjadi perdarahan spontan, yaitu perdarahan tanpa sebab jelas.
Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Di Indonesia, prevalensinya tergolong rendah lantaran masih banyak yang belum terdiagnosis.
“Saat ini, hanya sekitar 11% dari perkiraan total pasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis, menunjukkan masih banyak kasus yang belum terdeteksi,” ungkap Dr. dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K), Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI). Sejauh ini, baru 3.658 kasus hemofilia yang teridentifikasi di Indonesia, masih jauh dari perkiraan yang seharusnya 28.000 pasien.
Perempuan pun Tak Luput dari Hemofilia
Ada dua tipe hemofilia: hemofilia A yang disebabkan kekurangan faktor VIII, dan hemofilia B yang disebabkan kurangnya faktor IX. Tingkat keparahan hemofilia ditentukan oleh jumlah faktor pembekuan darah. Makin rendah jumlah faktor, maka makin besar risiko terjadinya perdarahan spontan, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius.
Selama ini, hemofilia diyakini hanya menimbulkan gejala pada laki-laki (anak maupun dewasa). Perempuan yang menjadi “pembawa” gen hemofilia dianggap tidak mengalami gejala perdarahan. Namun ternyata, studi terkini membuktikan bahwa banyak perempuan dan anak perempuan juga menunjukkan gejala hemofilia. “Sebagian dari mereka menjalani hidup selama bertahun-tahun tanpa diagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka mungkin memiliki gangguan perdarahan,” ujar Dr. dr. Novie.
Itu sebabnya, Hari Hemofilia Sedunia diperingati setiap tanggal 17 April, tahun ini mengusung tema Access for All: Women and Girls Bleed Too. Selain hemofilia, ada beberapa gangguan perdarahan lain. Antara lain Von Willebrand Disease (VWD), yaitu kelainan perdarahan yang diturunkan akibat kekurangan faktor von Willebrand. Kondisi ini sering tidak terdiagnosis, terutama pada perempuan.
Mereka dengan VWD, sering kali pada awalnya ditangani di unit gawat darurat dengan komplikasi perdarahan. Pada perempuan, komplikasi perdarahan akibat VWD kerap ditemukan dalam keluhan berupa menstruasi yang sangat berat, perdarahan pasca melahirkan, dan mudah memar.
Tantangan dalam Pengobatan Hemofilia
Rendahnya tingkat deteksi hemofilia menimbulkan tantangan yang cukup besar dalam pengobatan hemofilia di Indonesia. Karena tidak terdeteksi, pasien tidak mendapat pengobatan yang ia butuhkan, dan hal ini bisa menyebabkan komplikasi yang serius. “Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah,” terang Dr. dr. Novie.
Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia pada 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6%.
Tantangan besar lainnya dalam manajemen hemofilia di Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap pengobatan yang merata di seluruh wilayah. “Fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar; pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan,” tuturnya.
Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, menyampaikan komitmen Takeda menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, agar hemofilia bisa dikenali lebih awal. “Kami memahami bahwa perjalanan para pasien dan keluarga penyandang hemofilia penuh tantangan. Bersama HMHI dan para tenaga medis, kami ingin penyandang hemofilia bisa didiagnosa dengan tepat dan mendapatkan pengobatan yang sesuai, sehingga perdarahan dapat ditangani dengan baik, dan keparahan penyakit dicegah,” tuturnya.
HMHI meluncurkan kembali situs resmi HMHI dengan tampilan dan fitur baru yang lebih interaktif dan informatif, untuk meningkatkan kesadaran akan hemofilia, VWD, serta penyakit perdarahan lainnya. Di situs tersebut, pasien dan masyarakat bisa menemukan berbagai informasi edukatif seputar hemofilia dan penyakit perdarahan lain, termasuk cerita inspiratif dari para pasien. Pasien dan keluarganya juga bisa menemukan “Teman Hemofilia” yang berada di sekitar mereka, serta mendapatkan akses kontak HMHI untuk memperoleh dukungan dalam menghadapi perjalanan penyakitnya.
Dr. dr. Novie menegaskan pentingnya untuk terus mengadvokasi tersedianya akses pengobatan hemofilia yang merata di seluruh Indonesia. “Hal ini demi meningkatkan diagnosis dan pengobatan hemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia,” pungkasnya. (nid)