Social distancing setengah hati gagal kurangi kasus COVID-19
social_distancing_COVID

Penerapan social distancing setengah hati di Indonesia berpotensi gagal kurangi kasus baru COVID-19

Fatih Anfasa, Erasmus University Medical Center

Imbauan Presiden Joko widodo awal pekan lalu kepada masyarakat agar mengurangi interaksi antarorang di komunitas dan ruang publik (social distancing) akan efektif memperlambat laju penularan COVID-19 jika disertai kebijakan yang kompak antara pemerintah pusat dan daerah serta pengawasan yang serius di masyarakat.

Sebaliknya, social distancing dan berbagai langkah mitigasi lainnya seperti pengetesan massal yang tidak optimal dan pembatasan transportasi publik tanpa sosialisasi yang baik dan perencanaan yang matang justru akan gagal mencegah peningkatan jumlah infeksi secara eksponensial dan menimbulkan beban berat pada sistem kesehatan.

Beberapa peneliti Indonesia memperkirakan jumlah penderita COVID-19 di Indonesia bisa mencapai 71.000 kasus pada akhir April jika tidak ada intervensi besar-besaran secara cepat untuk menghambat kecepatan penyebaran virus.

Sekelompok peneliti dari Cina, Inggris, dan Amerika Serikat yang melakukan pemodelan menggunakan data wabah di Cina menekankan pentingnya waktu dimulainya berbagai langkah mitigasi seperti isolasi, karantina, social distancing hingga lockdown.

Studi tersebut memperlihatkan bahwa 67% kasus COVID-19 di Cina dapat dicegah jika berbagai langkah mitigasi dimulai seminggu sebelum 23 Januari 2020. Bahkan angka infeksi bisa turun 95% dari total kasus saat ini jika Cina memulai mitigasi pada awal Januari. Meskipun infeksi baru ini ditemukan akhir Desember 2019, pemerintah Cina baru memulai tindakan social distancing dan berbagai langkah mitigasi besar-besaran sejak 23 Januari 2020.

Di Indonesia, presiden mengimbau mengurangi interaksi antarorang hampir dua pekan setelah kasus pertama diumumkan. Kini COVID-19 telah menyebar di 17 dari 34 provinsi di negeri ini dengan kasus terkonfirmasi per 24 Maret mencapai 686 dan kematian 55 orang.

Masalahnya, sementara social distancing belum maksimal, lebih dari 200 juta Muslim di Indonesia akan menjalani puasa Ramadan mulai pekan keempat April. Umumnya pada bulan itu ada banyak kegiatan buka bersama dan jemaah tarawih tiap malam.

Pertemuan yang intens dan dekat antarorang dalam kegiatan itu akan menyulitkan langkah pencegahan transmisi infeksi.

Kita bisa belajar dari merebaknya wabah COVID-19 di berbagai kota di Cina pada bulan Februari akibat migrasi penduduk menjelang Tahun Baru Imlek 25 Januari lalu.

Manfaat besar dari social distancing

Social distancing merupakan salah satu metode kesehatan masyarakat untuk mengurangi interaksi orang-orang di komunitas. Cara ini efektif untuk mengurangi transmisi penyakit seperti COVID-19 yang terjadi melalui percikan (droplet) dari mulut atau hidung saat batuk, bersin dan berbicara. Transmisi penyakit dengan cara ini umumnya terjadi ketika ada kontak dalam jarak dekat kurang dari 2 meter.

Tujuan utama social distancing adalah mengurangi besarnya wabah, menunda terjadinya puncak epidemi, dan mendistribusikan jumlah penderita infeksi dalam periode waktu yang lebih lama agar beban terhadap sistem kesehatan berkurang.

Metode social distancing ini umumnya digunakan ketika sebagian orang yang terinfeksi di masyarakat belum teridentifikasi sehingga belum dapat diisolasi.

Metode ini juga digunakan saat transmisi infeksi telah terjadi di masyarakat tapi isolasi dan karantina pasien saja tidak cukup untuk menghambat penyebaran penyakit infeksi.

Cara yang umum dilakukan adalah menutup berbagai tempat berkumpul publik seperti sekolah, tempat ibadah, tempat wisata, restoran, arena olahraga, dan gedung perkantoran. Adapun institusi kesehatan, berbagai kantor vital seperti kepolisian, militer dan pemadam kebakaran, toko bahan makanan dan apotek umumnya tetap buka untuk memenuhi kebutuhan dasar dan melayani masyarakat.

Tidak hanya itu, anggota masyarakat juga diminta mengisolasi diri dan tinggal di rumah masing-masing kecuali untuk keperluan penting seperti membeli bahan makanan, serta harus menjaga jarak 1-2 meter jika bertatap muka atau berada dalam satu lokasi.

Belajar dari pandemi flu Spanyol 1918

Bertindak cepat dan tepat adalah langkah paling menentukan dalam menghambat laju penyebaran virus.

Contoh keberhasilan social distancing dapat dilihat dari perbedaan dua kota di Amerika Serikat saat menghadapi pandemi influenza atau dikenal sebagai flu Spanyol pada 1918.

Saat itu, pejabat tinggi Philadelphia tidak merespons dengan cepat dan tetap menyelenggarakan acara yang dihadiri oleh sekitar 200 ribu orang untuk mendukung Perang Dunia I. Tidak lama berselang, semua rumah sakit penuh dengan pasien flu dan 16 ribu orang tewas dalam 6 bulan di kota tersebut.

Sebaliknya, pejabat St. Louis merespons dengan cepat dan melakukan social distancing serta berbagai langkah mitigasi. Edukasi kepada masyarakat, larangan untuk berkumpul, penutupan area publik seperti sekolah dan gereja dan peran serta aparat keamanan untuk memastikan masyarakat mematuhinya dilakukan di St. Louis.

Dampaknya, transmisi infeksi melambat dan angka kematian total akibat flu di St. Louis sekitar 4.000 orang.

Keberhasilan di Cina

Langkah Cina pada akhir Januari hingga akhir Februari lalu merupakan contoh keberhasilan dalam menerapkan social distancing dan berbagai langkah mitigasi terbesar sepanjang sejarah manusia dalam menghadapi penyakit infeksi.

Ratusan juta orang menjalani social distancing secara bersamaan dan beberapa kota besar dengan jutaan penduduk menjalani lockdown selama 2 bulan untuk menghambat penyebaran COVID-19.

Langkah sigap Cina terlihat dari studi yang melaporkan penyebaran kasus infeksi di sebuah pusat perbelanjaan. Mal tersebut langsung ditutup hanya dalam waktu satu hari setelah pasien pertama yang bekerja di pusat perbelanjaan tersebut diduga menularkan COVID-19 ke rekan kerjanya.

Sebuah studi lainnya juga memperlihatkan perubahan kebijakan yang cepat berkaca dari merebaknya wabah di Provinsi Hubei dan sebagian kota lainnya. Hasilnya, berbagai kota di Cina yang menghentikan layanan transportasi publik, menutup tempat hiburan, dan melarang pertemuan besar sebelum ditemukannya pasien COVID-19 pertama di berbagai kota tersebut memiliki jumlah kasus 33,3% lebih rendah pada minggu pertama wabah dibandingkan berbagai kota lain yang tidak menerapkannya.

Peneliti dari Jepang memperkirakan tanpa social distancing massal dan berbagai langkah mitigasi lainnya, maka sekitar 550-650 juta penduduk Cina akan menderita COVID-19. Per 21 Maret, jumlah penderita di Cina bertahan pada angka sekitar 81.000 kasus.

Mengubahnya jadi gerakan sosial

Hingga saat ini pemerintah Indonesia dan masyarakat belum konsisten dalam menjalankan social distancing. Penerapan metode ini di Jakarta dan beberapa daerah lainnya belum memberikan hasil yang maksimal. Angka kasus baru COVID-19 terus menanjak.

Pemerintah pusat dan daerah terlihat masih belum satu suara dalam kebijakan mitigasi untuk COVID-19. Selain itu, sebagian masyarakat masih belum memahami pentingnya membatasi aktivitas di luar rumah untuk memaksimalkan penerapan social distancing.

Hasilnya, kepadatan di berbagai transportasi publik masih terjadi, kemacetan jalan masih ditemui, tempat wisata tetap dikunjungi, sebagian perkantoran dan pusat perbelanjaan masih tetap beraktivitas.

Berbagai contoh di atas memperlihatkan bahwa masih terdapat miskoordinasi dan miskomunikasi, baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat.

Sebuah studi modeling menunjukkan bahwa penerapan social distancing yang tidak optimal atau berdasarkan data yang tidak akurat akan memberikan hasil yang buruk dibandingkan tidak berbuat apa-apa.

Karena itu, pemerintah harus bergegas dalam menerapkan social distancing serta berbagai langkah mitigasi lainnya secara optimal untuk menghindari situasi buruk seperti di Italia dan Iran. Di sana jumlah penderita yang sakit dan tewas meningkat drastis hanya dalam hitungan hari karena pemerintah terlambat mengambil langkah mitigasi.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus lebih baik dalam berkoordinasi dan mensosialisasikan social distancing secara intensif kepada seluruh penduduk agar tujuan dari gerakan ini tercapai.

Pemerintah harus melibatkan setiap komponen masyarakat agar social distancing menjadi momentum gerakan sosial bersama. Pemuka agama dan tokoh masyarakat juga penting untuk dilibatkan dalam mensosialisasikan gerakan ini.

Perlindungan kepada warga kelas bawah yang memiliki penghasilan tidak tetap juga harus dipikirkan selama mereka menjalani social distancing agar gerakan ini efektif.

Kini kita sedang berpacu dengan waktu untuk menghambat laju penyebaran virus yang begitu cepat. Pemerintah perlu menetapkan target dan waktu untuk melihat apakah social distancing efektif dalam mengurangi kasus COVID-19 baru. Jika terbukti tidak efektif, opsi lockdown dengan segala kelebihan dan kekurangannya perlu dipertimbangkan.

The Conversation

Fatih Anfasa, PhD Candidate, Erasmus University Medical Center

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

_____________________________________________

Ilustrasi: Health photo created by freepik - www.freepik.com