Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI terus berbenah agar transformasi kesehatan di Indonesia berjalan makin baik lagi. Rekomendasi dari para peneliti menjadi salah satu poin penting dalam membuat kebijakan kesehatan. Misalnya rekomendasi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (CHEPS UI) sebagai mitra Kemenkes dalam upaya mwujudkan transformasi kesehatan.
“Yang kami kerjakan adalah memberikan iput untuk Kemenkes, berdasarkan data, kajian dan analisis yang kami lakukan. Hasil kajian bisa jadi amunisi bagi pemerintah. Kajian dari CHEPS juga untuk memastikan agenda tranformasi tetap pada jalurnya,” tutur peneliti utama CHEPS UI, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, Ph.D, dalam konferensi pers Refleksi Dua Tahun Transformasi Kesehatan di Jakarta (18/12/2023).
Hemat 1,7 T bila Insulin Diberikan di Puskesmas
Salah satu rekomendasi yang dikemukakan yakni pengalihan terapi insulin ke Puskesmas, brdasarkan kajian yang dilakukan CHEPS UI. “Pemindahan beban pengobatan insulin dari fasilitas kesehatan rujukan atau rumah sakit ke puskemas ini dapat menghemat hingga 14% dana JKN atau sekitar Rp1,7 triliun per tahun,” ujar Prof. Budi.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan pedoman dari organisasi profesi PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). “Tinggal bagaimana merealisasikan hasil temuan ini ke dalam langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti, termasuk perubahan kebijakan seperti menyelaraskan Formularium Nasional dengan PNPK, memastikan kompetensi dan kemampuan fasilitas layanan kesehatan primer, dan memulai reformasi remunerasi di layanan kesehatan primer,” tutur Prof. Budi.
Ia melanjutkan, pemberian insulin di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) juga akan memperkuat layanan FKTP, serta bisa lebih efektif mencegah komplikasi akibat diabetes melitus (DM). “Bagi peserta BPJS, akan lebih nyaman bila insulin bisa diberikan di Puskesmas, karena lebih dekat dari rumah dan lebih mudah diakses,” imbuhnya. Dengan demikian, kepatuhan berobat menjadi lebih baik sehingga komplikasi bisa dihindari.
Agar Pembiayaan Makin Efektif
JKN Financial Modelling (JFM) memfasilitasi Pemerintah Indonesia dengan "tools" untuk menghasilkan kebijakan JKN berbasis bukti yang akan memastikan tercapainya UHC (Universal Health Coverage) dengan keberlanjutan keuangan jangka panjang. Hasil studi JFM digunakan sebagai masukan dalam melaksanakan Permenkes 3/2023.
Selain itu JFM juga digunakan untuk menghasilkan serangkaian rencana reformasi kebijakan, seperti Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK), Kelas Rawat Inap Standar, dan Tarif JKN. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Permenkes 3/2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Berdasarkan laporan National Health Account Indonesia, >80% dana JKN dialokasikan untuk membayar pelayanan di RS berdasarkan DRG (Diagnosis Related Group) atau dikenal sebagai INA-CBGs. “Oleh karena itu, perubahan kebijakan pembayaran di RS sangat berdampak pada RS, BPJS Kesehatan, peserta dan sistem JKN itu sendiri,” jelas Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes.
Saat ini, kita memakai DRG sebagai sistem pembayaran. “Negara yang menggunakan sistem ini memiliki dua pilihan: mengembangkan sendiri, atau mengadopsi dari negara lain lalu mengembangkannya. Pilihan kedualah yang diambil Kemenkes RI,” ujar Ati. Yaitu mengembangkan INA-Grouper untuk menggantikan UNU Grouper yang saat ini digunakan, dengan menyesuaikan sebaran penyakit, biaya pelayanan, dan demografi penduduk di Indonesia.
Ia menjelaskan, mengembangkan INA-Grouper dan penetapan tarifnya sebagai basis pembayaran pelayanan JKN di RS, CHEPS FKMUI mengembangkan metodologi dan analisis penghitungan biaya per episode penyakit yang lebih akurat sehingga menurunkan potensi adanya underpaid dan overpaid pelayanan.
Menyusun tarif baru bukanlah hal mudah. Dibutuhkan analisis mendalam berdasarkan data terbaru dari RS dan data-data lainnya. “Penghitungan biaya ini akan direfleksikan dalam tarif. Harapannya bila tarifnya bagus, kualitasnya pun lebih bagus,” ujar Ati, namun tentu saja, tarif tidak boleh sampai memberatkan masyarakat.
Jadi tak perlu heran mengapa tarif BPJS Kesehatan berubah-ubah. “Kemenkes terus melakukan perbaikan dalam tiap versi tarif. Misalnya pada 2012 memakai metodologi A, lalu pada 2014 memakai metodologi B. Itu semua untuk perbaikan,” ucap Ati.
Hasil kajian CHEPS UI menjadi salah satu pertimbangan penting bagi Kemenkes untuk menentukan tarif. Telah terbukti bahwa rekomendasi dari CHEPS UI mampu meminimalkan gap antara pemasukan dan pembiayaan. “Dengan actual cost modelling, kita bisa melihat apa yang akan terjadi di masa datang. Berbasis proyeksi, kita bisa bermain dengan angka probabilitas. Bagaimana peluang kejadian sakit dan lain-lain, secara empiris ada datanya,” jelas Prof. Budi.
Berbasis data tersebut, berdasarkan histori dan empiris, bisa diteropong kondisi ke depan akan seperti apa. “Misalnya berapa angka pasien yang menggunakan layanan kesehatan. Kalau kita bisa menghitung jumlah peserta, kita bisa menghitung angka probabilitas, lalu memproyeksikannya ke depan,” pungkas Prof. Budi. Itu sebabnya, seluruh masyarakat Indonesia diminta untuk menjadi pesrta BPJS Kesehatan. Kita turut berperan dalam mendorong transformasi kesehatan yang lebih baik. (nid)