Sering kali penderita TB tulang baru ke dokter saat muncul keluhan nyeri, yang berarti sudah ada kerusakan pada tulang dan/atau sendi tulang belakang. Untuk menegakkan diagnosis, pertama kali dokter akan melakukan anamnesis atau menggali informasi berdasarkan wawancara. Misalnya, sudah berapa lama nyeri dirasakan; lebih sakit saat duduk atau berdiri lama; apakah sakit ketika berganti posisi dari duduk ke berdiri; apakah sakit saat bangun tidur; apakah sakit saat berjalan jauh; pada jarak berapa nyeri mulai muncul.
Selanjutnya, diperlukan bukti untuk menguatkan hasil dari anamnesis. Dilakukanlah pemeriksaan foto tulang belakang dinamik, untuk melihat pergerakan tulang belakang. Kemudian dilakukan pemeriksaan remak saraf, untuk melihat dari mana sumber nyeri: tulang, ataukah saraf. “Bila kedua bukti menampakkan hasil yang sama, dibutuhkan bukti ketiga untuk memperkuat, yakni dengan MRI,” ungkap Dr. dr. Bambang Darwono, Sp.B, Sp.OT, FICS dari RS Gading Pluit, Jakarta.
Baca juga: TB bisa Menyerang Tulang, Ini Gejalanya
Kerusakan tulang akibat TB biasanya khas, “Tulang tampak bolong-bolong. Itu khas sekali.” Ini bisa terlihat melalui pemeriksaan imaging MRI. Tulang yang bolong-bolong jadi rapuh dan mudah patah. Bila gangguan mengenai sendi, maka terjadilah gangguan gerak.
Untuk memastikan adanya infeksi TB, dilakukan pemeriksaan Mantoux. Untuk hasil lebih spesifik, bisa dengan pemeriksaan serologis TB misalnya IGRA (Interferon gamma release assay) atau TBIgG.
Biasanya, TB tulang juga disertai dengan TB paru, yang gejalanya antara lain batuk-batuk lama kadang disertai darah, sesak napas, dan nyeri dada. Namun, ketiga gejala ini biasanya baru muncul bila penyakit sudah lanjut. Pada tahap awal, yang patut dicurigai yakni batuk >2 minggu. Untuk diagnosis TB paru, pemeriksaan fisik dan anamnesis juga sangat penting. Baru dilanjutkan dengan pemeriksaan dahak dan rontgent dada.
Jangan putus berobat
Seperti TB paru, TB tulang pun diobati dengan obat anti TB (OAT). Untuk lini pertama, ada empat jenis obat: isoniazid (INH), rifampicin, etambutol, dan pirazinamid. “Keempat obat ini wajib dikonsumsi dalam dua bulan pertama. Setelah itu, cukup rifampicin dan isoniazid,” terang dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P(K) dari RS Persahabatan, Jakarta. Dua-tiga bulan pertama merupakan fase intensif, dan fase lanjutan diteruskan selama 4 atau 7 bulan.
Obat harus diminum secara rutin sesuai petunjuk dokter, dan konsisten di waktu yang sama. Misalnya mulai minum obat di pagi hari maka minumlah obat selalu di pagi hari.
Umumnya, keluhan terasa membaik setelah dua minggu pengobatan, tapi jangan lengah. “Karena sudah merasa enak, berat badan sudah naik lagi, banyak yang kemudian berhenti minum obat,” sesal dr. Elisna.
Bila putus berobat, penangannya berbeda, tergantung sudah berapa lama berobat sebelum putus berobat. Jika ditemukan bahwa BTA+, maka pengobatan dimulai dari awal, dengan obat yang lebih kuat, dan waktu pengobatan lebih lama.
Pengobatan akan lebih sulit lagi bila kuman yang menyerang adalah TB MDR (TB yang kebal terhadap banyak obat)
Untuk TB di luar paru, pengobatan biasanya lebih lama lagi; bisa sampai 9 bulan atau bahkan lebih. “Kasus TB yang kompleks ini harus dirujuk, tidak bisa hanya di layanan primer,” tegas dr. Elisna. Dokter spesialis paru berupaya mengobati infeksi TB, dan dokter spesialis ortopedi berupaya mengoreksi kelainan anatomis pada tulang/sendi pasien yang rusak akibat TB. “Penanganan TB kompleks harus komprehensif, dan berbeda-beda untuk tiap pasien,” tandasnya. (nid)
Bersambung ke: Mengembalikan Fungsi Tulang yang Rusak akibat TB
_________________________________
Ilustrasi: Designed by Freepik