pemecatan dan pembelaan untuk dr terawan
pemecatan dan pembelaan untuk dr terawan

Pemecatan dan Pembelaan untuk Dr. Terawan, Mencari Jalan Terbaik “Demi Kebaikan Bersama”

Keputusan untuk memberhentikan Mayjen Dr. dr. Terawan Putranto, Sp.Rad dari keanggotaan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tampaknya sudah bulat. "Ketetapan muktamar IDI di Banda Aceh akan tetap kami jalankan. Tetapi kami akan membuka forum mediasi, sekaligus forum pembelaan," ujar Ketua Umum IDI  Dr. dr. Adib Khumaidi, SpOT, saat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Senin 4 April 2022.

Pada muktamar ke-31 Banda Aceh, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI usul agar nama dr. Terawan dicoret dari IDI. Dr. Terawan dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct), dan tidak beritikad baik sepanjang 2018-2022, setelah dijatuhi sanksi terkait metode “cuci otak” tahun 2018 lalu. Alasan lain, dr. Terawan aktif mempromosikan vaksin Nusantara, sedangkan penelitiannya belum selesai. 

Terapi “cuci otak” merupakan inovasi dr. Terawan saat menjabat Kepala RSPAD Gatot Soebroto dan Dokter Kepresidenan RI. Langkah dr. Terawan berikutnya membuat vaksin Nusantara, juga mendapat tentangan karena menggunakan metode berbeda dari pembuatan vaksin pada umumnya. 

"Secara internal kami akan bahas sesuai AD/ART dan tata laksana organisasi," papar dr. Adib. “Kami akan membangun komunikasi dengan beberapa pihak, yang membantu mediasi IDI dengan dr. Terawan. Kami mengapresiasi pihak yang ingin membantu mediasi, demi kebaikan bersama.”

IDI dan semua kolega dokter berharap, masalah ini tidak berlarut-larut. “Masih ada PR besar terkait masalah kesehatan. Di antaranya masalah pandemi yang belum selesai."

UU Praktik Kedokteran perlu direvisi

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Nasdem Irma Suryani Chaniago menilai, IDI mencari-cari alasan agar mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan diberhentikan. Dr. Terawan adalah inisiator vaksin Nusantara dan sudah disuntikkan ke sejumlah pejabat dan politisi di DPR. Banyak anggota DPR lain yang membela dr.Terawan, yang dinilai telah melakukan terobosan yang berani.

Bila dikatakan yang dilakukan “tidak ilmiah”, nyatanya sudah puluhah ribuan pasien kondisi kesehatannya lebih baik, setelah ditangani dr. Terawan. Dan yang menjalani metode DSA (“cuci otak”) maupun vaksin Nusantara, bukan orang sembarangan. Di antaranya mantahn Kepakla BIN Jendral Hendropriyono, Menhan Prabowo Subianto, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan pengusaha Aburizal Bakrie.

"Masa IDI enggak dukung karya anak bangsa. Dr. Terawan menginisiasi pembuatan vaksin dalam negeri melalui vaksin Nusantara,” ujar Irma. Ia menyarankan, polemik pemecatan dr. Terawan ditempuh dengan merevisi Undang-Undang Praktik Kedokteran. “Ini untuk membatasi, IDI tidak bertindak semena-mena.  Harusnya IDI melindungi anggota, bukan memecat anggotanya yang punya inovasi bagus,” jelasnya.

Kelemahan disertasi dr. Terawan

Saat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR itu, Prof. Rianto Setiabudi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI menyatakan, ada beberapa kelemahan disertasi dr. Terawan. "Dengan segala kerendahan hati perkenankan saya memberi sedikit komentar, mengenai disertai dr. Terawan; tidak untuk men-downgrade beliau," ujar Prof. Rianto.

Penggunaan heparin dalam metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau “cuci otak”. Pada metode ini zat kontras  dilepaskan, yang kemudian akan menunjukkan di mana letak mampetnya. Agar  ujung kateter tetap terbuka, diberi dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah," ujar Prod Rianto.

Dosis kecil heparin tidak bisa merontokkan gumpalan darah, hanya mencegah mampetnya bekuan darah. Karenanya, ketika metode ini digunakan, Prof. Rianto meyakini akan timbul masalah besar.

"Pasien ini strokenya sudah lebih satu bulan. Bekuan darah sudah mengeras. Kita cari di literatur manapun, tidak ada bahwa heparin efektif merontokkan, melarutkan bekuan darah seperti itu," katanya. Zat lain yang bisa melarutkan bekuan adalah thrombolytic agents,  efektif jika bekuan darah baru beberapa jam. Tidak efektif pada pasien stroke lebih dari satu bulan.

Tak ada kelompok pembanding

Menuret Prof. Rianto, uji klinis perlu ada pembanding untuk memastikan kesahihan riset. Disertasi dr. Terawan tidak memiliki kelompok pembanding, sehingga sulit menyimpulkan kebenaran studi. "Ini penelitian dengan cacat besar," katanya.

Tidak ada penjelasan, apakah pasien mengalami perubahan signifikan. Misalnya semula tak bisa jalan, bisa kembali beraktivitas normal. “Dr. Terawan hanya menggunakan tolak ukur pelebaran pembuluh darah. Uji klinik yang baik, tolak ukurnya tidak boleh itu, tetapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pasien.”

Diagnostik untuk terapeutik

Penentuan sampel penelitian sebanyak 75 orang, juga tidak didasari alasan ilmiah yang jelas. Kata Prof. Rianto, “Ini fatal dan sulit diterima nalar sejawat dokter, menggunakan alat diagnostik menjadi terapeutik atau penanganan.

"Analoginya, orang  batuk darah pergi ke dokter dan disuruh  rontgen. Lalu dokter berkata, rontgen itulah obatnya. Susah diterima nalar kita," katanya.

Peneliti dan pembimbing Universitas Hasanuddin (Unhas), kata  Prof. Rianto, tahu kelemahan-kelemahan itu. Terpaksa setuju karena ada tekanan pihak luar.  (sur)