“Asma bisa dikontrol. Itu tujuan utama tatalaksana (pengobatan) jangka panjang,” tegas dr. Ratnawati, MCH, Sp.P(K), Ph.D dari RS Siloam Asri, Jakarta. Terkontrol berarti gejala asma tidak muncul atau tidak terlihat sama sekali, sehingga pasien bisa beraktivitas seperti orang lain.
Tujuan kedua, mengurangi risiko; termasuk meminimalkan risiko penyakit/gejala bertambah buruk, “Sehingga pasien tidak lagi atau jarang mengalami serangan mendadak. Kalau pun terjadi, sumbatan jalan nafas tidak menjadi permanen.” Pengobatan asma berlangsung jangka panjang, bisa bertahun-tahun, sehingga efek sampingnya harus diusahakan seringan mungkin.
Asma bisa sembuh? “Asma ringan bisa sembuh sempurna. Biasanya dengan relaksasi pernafasan,” ujar dr. Prasenohadi, Sp.P, KIC, Ph.D dari RS Siloam Asri, Jakarta. Asma bisa sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan. Namun, jangan berharap asma sembuh sendiri. Tidak semua asma bisa hilang dengan bertambahnya usia.
Oswald, dkk (1994) melakukan penelitian jangka panjang, terhadap 286 anak dengan berbagai derajat asma. Perkembangan asma mereka diikuti selama 28 tahun, sejak mereka berusia 7 tahun. “Pada kasus asma berat, 75% tetap memiliki asma di usia 35 tahun. Kecil kemungkinan bisa sembuh sendiri,” tutur Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P(K), Direktur Asma-COPD Center RS Siloam Asri. Pada kasus ringan, 50% sembuh, sisanya tetap asma.
Inhalasi lebih aman
Terapi inhalasi lebih disarankan ketimbang oral (tablet). Pada terapi inhalasi, obat diberikan dalam bentuk aerosol; seperti uap yang mengandung partikel-partikel zat aktif obat. “Obat langsung masuk saluran nafas, sehingga manfaatnya cepat terasa,” terang dr. Ratna. Karena bekerja langsung di paru, dosisnya sangat kecil: 1/40 sampai 1/100 dari dosis obat oral sehingga efek samping sangat minimal. Menurut Prof Hadiarto, banyak yang tidak mau memakai inhaler kecuali mengalami serangan berat. Padahal, “Inhaler jauh lebih aman dari obat oral.”
Pelega dan pengontrol
Ada obat sebagai pelega (reliever), ada pengontrol (controller). Obat pelega digunakan saat serangan asma atau muncul keluhan/gejala; pengontrol digunakan rutin setiap hari, ada serangan atau tidak.
Obat pelega sering disebut bronkodilator kerja singkat (short acting). Obat jenis ini bekerja dengan merelaksasi otot-otot yang melingkari bronchial sehingga saluran nafas melebar dan terbuka, dan/atau melebarkan dinding bronkhial. Namun, tidak mengurangi peradangan saluran nafas.
Dr. Ratna menekankan, obat pelega harus segera digunakan begitu muncul gejala. “Pasien harus belajar mengenali tanda-tanda serangan. Misalnya tenggorokan gatal, batuk-batuk. Cepat gunakan inhaler,” ujarnya. Penderita yang suka mengalami serangan mendadak, disarankan selalu mengantungi inhaler pelega.
Saat serangan, semprotkan inhaler 2x. Bila tidak ada efeknya, ulangi pemakaian dengan dosis sama 15-20 menit kemudian. Atau, langsung 4x semprot. “Kalau dalam 1-2 jam tidak ada respon, harus ke RS,” ucap Prof. Hadiarto. Sering membutuhkan obat pelega, menunjukkan bahwa asma tidak terkontrol baik.
Obat pengontrol berisi kortikosteroid, yang bekerja meredakan radang di saluran nafas. Dengan mengontrol peradangan, gejala asma berkurang, dan serangan bisa dicegah. Bronkodilator kerja panjang (long-acting) kadang digunakan sebagai kombinasi dengan inhaler kortikosteroid, terutama pada pasien dengan gejala asma yang berkelanjutan meski sudah mendapat inhaler kortikosteroid.
Pasien perlu kontrol rutin untuk monitoring. Bila gejala asma tidak muncul selama 3 bulan pengobatan, dosis diturunkan. Tiga bulan kemudian kembali dievaluasi; bila tidak ada gejala, dosis kembali diturunkan. “Bila selama setahun tidak muncul gejala, pengobatan bisa dihentikan,” terang dr. Ratna.
Ada obat inhalasi semprot (pressurized metered dose inhaler/PMDI), serbuk kering (dry powder), dan nebulizer. PMDI yang paling umum, tapi agak menyulitkan bagi yang tidak bisa mengkoordinasi antara menyemprot dan bernafas, misalnya anak-anak dan orang tua. “Begitu obat disemprot, harus langsung menarik nafas,” papar dr. Ratna.
Untuk memudahkan, bisa digunakan spacer, alat sederhana yang menghubungkan obat dengan mulut. Begitu disemprot, obat akan berada dalam spacer sehingga lebih mudah dihisap. Bentuk serbuk kering lebih mudah digunakan. Cukup ‘dikokang’, obat bisa langsung dihisap.
Nebulizer atau ‘diuap’ biasa diberikan di UGD, saat terjadi serangan akut. Obat pelega berbentuk cairan, dimasukkan ke nebulizer. Alat ini memproses obat menjadi uap/embun, sehingga mudah dihirup. Pemberian dengan nebulizer lebih nyaman, saat diperlukan pemberian obat dengan dosis besar. Nebulizer portabel bisa dibeli untuk dipakai sendiri di rumah; memudahkan pemberian obat untuk bayi, anak kecil dan mereka yang kesulitan menggunakan inhaler.
Pada serangan asma berat, dokter kadang memberi injeksi (suntik) kortikosteroid untuk membantu meredakan gejala dengan cepat. Biasanya diberikan usai terapi dengan nebulizer di RS.