Ketersediaan obat inovatif, obat baru yang berkualitas tinggi, berkhasiat, dan aman, merupakan aspek penting dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif dan berkualitas bagi masyarakat. Faktanya ketersediaan obat inovatif di Indonesia adalah yang terendah ke tiga se-Asia Pasifik.
Data The Pharmaceutical Research and Manufacturer of America (PhRMA) pada Oktober 2022 menyebutkan di antara obat-obatan baru yang telah diluncurkan antara 2012 – 2021, hanya sembilan persen (41 obat baru) yang tersedia di Indonesia. Jauh di bawah rata-rata negara Asia Pasifik sebesar 20%.
Indonesia menjadi negara ketiga terendah di Asia Pasifik terkait ketersediaan obat inovatif, setelah Sri Lanka (1%), Pakistan (5%) dan setara dengan Bangladesh. Studi ini juga menemukan bahwa hanya satu persen obat-obatan baru yang tersedia di Indonesia dalam waktu satu tahun setelah peluncuran pertama kali secara global.
Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan dalam menangani penyakit, termasuk penyakit katastropik (mematikan dan membutuhkan biaya besar), dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.
Obat inovatif – menurut WHO - secara umum mengacu pada produk farmasi baru atau lebih baik, yang menawarkan pendekatan baru dalam pencegahan, diagnosis, pengobatan atau pengelolaan penyakit. Diartikan juga sebagai obat yang mengandung bahan aktif atau kombinasi bahan aktif yang belum pernah disetujui di suatu negara.
Masyarakat Indonesia perlu menunggu lebih dari tiga tahun untuk obat-obatan inovatif. Data juga menunjukkan bahwa 3 - 4 tahun waktu yang dibutuhkan bagi obat baru untuk kanker dan penyakit langka hingga dapat diakses masyarakat.
Rendahnya ketersediaan obat-obatan inovatif di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk rendahnya prevalensi penyakit, permintaan yang rendah, kurangnya peran produsen di Indonesia, terbatasnya akses ke pasar, isu pasien dan ketidakpastian regulasi.
Menurut Ani Raharjo, Direktur Esekutif IPMG, persyaratan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) untuk produk yang diproduksi di Indonesia juga menjadi salah satu kendala. ”Dari kendala itu menyebabkan obat baru dan inovatif butuh waktu lama masuk ke Indonesia,” katanya dalam dialog peringatan Hari Kesehatan Nasional, di Jakarta Convention Center, Jumat (10/11/2023).
Ait-Allah Mejri, Ketua IPMG (Indonesian Pharmaceutical Manufacturers Group) dalam laporan tahunan IPMG 2022 menjelaskan, negara terus merugi sekitar USD 50 miliar per tahun akibat warganya yang berobat ke luar negeri, akibat kurangnya kepercayaan pada sistem lokal dan rendahnya ketersediaan obat-obatan baru (inovatif).
”Kami percaya bahwa mengurangi hambatan untuk mengakses obat-obatan baru merupakan prioritas bagi para pembuat kebijakan di Indonesia,” Ait-Allah menambahkan.
Memperkuat sistem FORNAS
Skema pembiayaan dan mekanisme koordinasi pemberian manfaat dalam program Jaringan Kesehatan Nasional diharapkan dapat menjadi solusi rendahnya obat inovasi di Indonesia.
Staf Khusus Menteri bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Prastuti Soewondo, SE, MPH, PhD, mengungkapkan, "Berdasarkan data BPJS Kesehatan dan klaim pasien di rumah sakit, kebanyakan kematian tertinggi berasal dari penyakit seperti kanker, jantung, stroke dan nefrologi, kemudian juga kesehatan ibu dan anak (KIA). Ini merupakan penyakit tidak menular yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa dan membutuhkan biaya tinggi.”
”Untuk penyakit-penyakit ini, adopsi obat inovatif yang dapat membantu mengurangi beban pasien, dilakukan secara bertahap dan sesuai kemampuan. Semua obat inovatif yang akan masuk ke JKN harus masuk di FORNAS dan ada rekomendasi dari health technology assesment (HTA),” urainya.
Prastuti Soewondo menambahkan, HTA sendiri sudah mempunyai strategi perbaikan pelaksanaan kajian HTA untuk meningkatkan jumlah kajian, sehingga lebih banyak rekomendasi yang bisa dihasilkan. Metode analisisnya menggunakan adaptive HTA dan dalam prosesnya akan memperbanyak kerjasama dengan universitas dan pusat studi sebagai agen HTA, melalui MOU.
Dalam kesempatan yang sama Roy Himawan, Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan skema pembiayaan untuk memperluas akses masyarakat pada obat-obat inovatif. Skema pembiayaan tersebut dilakukan melalui mekanisme koordinasi pemberian manfaat (COB).
Skema ini dapat dilakukan dengan menambah atau top up atas biaya pelayanan yang tidak ditanggung dalam program JKN-KIS. Dengan skema ini, seseorang dapat menerima manfaat dari dua atau lebih asuransi kesehatan. (jie)