Diabetes tipe-2 merupakan penyakit serius yang dialami oleh lebih dari 10,7 juta orang di Indonesia. Meskipun berbagai pengobatan sudah tersedia, banyak pasien diabetes yang masih menghadapi berbagai masalah seperti kesulitan mengontrol kadar gula, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Penelitian juga menyebutkan tingkat kepatuhan pasien di Indonesia terhadap pengobatan masih rendah.
Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD menjelaskan, “Meskipun sudah mengikuti pedoman klinis dan melakukan kendali glikemik dengan benar, pasien seringkali tidak mampu menurunkan nilai HbA1C hingga mencapai target. Studi menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien diabetes tipe-2 di Indonesia gagal mencapai target HbA1C di bawah 7%.”
HbA1C (hemoglobin A1C) merupakan nilai gula darah rata-rata dalam tiga bulan. Mencapai target nilai HbA1C menjadi penting karena dapat mengurangi komplikasi kerusakan di pembuluh darah, menurunkan risiko penyakit kardiovaskular secara jangka panjang, dan mengurangi angka kematian terkait diabetes.
Tak hanya risiko penyakit kardiovaskular, diabetes juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Indonesian Renal Registry (tahun 2019) mencatat 26% penyakit ginjal kronis disebabkan oleh nefropati diabetik (komplikasi diabetes di ginjal).
Riset PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) menyatakan, nefropati diabetik menjadi penyebab penyakit ginjal kronis tertinggi kedua setelah hipertensi di Indonesia.
Penanganan diabetes tipe-2 memerlukan pendekatan multifaktorial dengan pengobatan yang berbeda-beda pula. Hal ini menyebabkan tingkat kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan menurun.
Riset Davies et al, di jurnal Diabetologia 2018 menunjukkan sekitar 50% penderita diabetes memiliki tingkat kepatuhan yang sangat rendah karena proses pengobatan yang rumit.
Menyederhanakan proses pengobatan merupakan langkah utama untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pasien.
“Berbagai kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi dan kepatuhan pasien yang rendah dalam pengobatan diabetes berisiko menyebabkan komplikasi serius,” Prof. Suastika menyimpulkan. “Kita perlu menetapkan standar baru untuk pengobatan diabetes tipe-2. Ketika kondisinya dikelola dengan baik, risiko komplikasi yang dapat mengancam jiwa dapat dikurangi.”
Obat terbaru diminum seminggu sekali
Novo Nordisk, perusahaan farmasi global meluncurkan GLP-1 RA (glucagon-like peptide-1 receptor agonist) terbaru, obat baru untuk pasien diabetes tipe-2 di Indonesia.
GLP-1 RA digunakan sekali dalam seminggu untuk membantu pasien mencapai target gula darah mereka (HbA1C <7%). Obat ini juga bermanfaat dalam penurunan berat badan dan risiko penyakit kardiovaskular, serta diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.
Prof. Suastika menjelaskan, terapi GLP-1 RA mampu menurunkan kadar HbA1C secara signifikan. Sekitar 80% atau 4 dari 5 pasien yang menjalani pengobatan dengan GLP-1 RA berhasil mencapai tingkat HbA1c <7%.
“Selama uji klinis, obat baru ini mampu mengurangi berat badan secara signifikan. Setidaknya 3 dari 5 pasien berhasil menurunkan berat badan hingga lebih dari 5%. Pengobatan ini juga mengurangi risiko penyakit kardiovaskular sebesar 26% pada pasien diabetes tipe-2 dengan risiko tinggi dan riwayat penyakit kardiovaskular,” terangnya.
Riset dalam New England Journal of Medicine juga mencatat penggunaan GLP-1 RA mengurangi risiko terjadinya gangguan/perburukan fungsi ginjal pada pasien diabetes tipe-2 dengan risiko kardiovaskular tinggi hingga 36%.
Vice President & General Manager Novo Nordisk Indonesia Anand Shetty, dalam keterangan pers menyampaikan “Inovasi terbaru dalam pengobatan diabetes tipe-2 ini memberikan manfaat yang luar biasa dan proses penggunaannya juga lebih sederhana karena cukup satu dosis dalam seminggu. Kami meyakini bahwa GLP-1 RA ini akan membantu memenuhi kebutuhan penting dan serius bagi orang dengan diabetes tipe-2 di Indonesia.” (jie)