Masih banyak anggapan yang berseliweran di media sosial yang menyatakan bila vaksin justru sebabkan munculnya berbagai varian baru COVID-19. Bagaimana sebenarnya yang terjadi?
Anggapan ini muncul setelah ahli virus dari Prancis Luc Montagnier mengemukakannya dalam sebuah sesi wawancara untuk tayangan dokumenter berjudul “Hold-Up”.
Dalam video wawancara tersebut – tersebar lewat Facebook – Montagnier mengkalim bila virus corona ini tidak mati saat berhadapan dengan antibodi yang diproduksi oleh vaksin. Melainkan, mereka menemukan ‘solusi baru’, yakni dengan bermutasi menciptakan varian-varian baru.
Montagnier – yang pernah menerima hadiah Nobel di bidang kesehatan karena berhasil mengidentifikasi HIV – menjabarkan klaimnya. Berkata, “Anda lihat di setiap negara, kejadiannya sama: kurva vaksinasi diikuti oleh kurva kematian.”
Namun, bukti-bukti ilmiah menunjukkan hal yang sebaliknya. Peter Stoilov, PhD, professor biokimia di West Virginia, AS, mengatakan anggapan vaksin sebabkan varian baru COVID-19 benar-benar keliru.
“Mutasi dan varian terjadi secara acak dan berdiri sendiri dari vaksinasi atau proses seleksi lainnya,” tegasnya, melansir Healthline.
Bahkan, tukas Stoilov, mutasi yang memicu varian baru COVID-19 yang digolongkan sebagai variant of concern (varian yang perlu diwaspadai) oleh WHO, muncul sebelum vaksin dibuat atau tersedia secara luas.
Di seluruh dunia, mutasi atau varian baru ini muncul pada beberapa individu yang tidak divaksinasi. Dan akan terus muncul kembali secara acak dalam ‘garis keturunan’ virus yang tidak terkait.
Dr. RA. Adaninggar, SpPD, dokter yang juga pegiat media sosial dalam akun instagramnya menjelaskan timeline (waktu) munculnya variant of concern di negara asal mendahului sebelum dilakukannya vaksinasi.
Varian Alpha (B.1.17) ditemukan di Inggris pada September 2020, sementara vaksinasi mulai dilakukan pada 8 Desember 2020. Demikian pula varian Beta (B.1.351) dari Afrika Selatan, terdeteksi sejak Mei 2020 sementara vaksinasi massal digalakkan pada Februari 2021.
Varian Gamma pertama kali pada November 2020, tetapi proses vaksinasi di Brasil dimulai 17 Januari 2021. Varian Delta (B.1.617.2) dari India mulai menyebar di Desember 2020, dan vaksinasi dimulai pada 16 Januari 2021.
Varian Lambda ditemukan di Peru Agustus 2020, vaksinasi mulai dilakukan pada Februari 2021. Yang terbaru, varian MU ditemukan di Kolombia Januari 2021, sementara vaksinasi baru mulai 17 Februari 2021.
“Mutasi ini terjadi secara acak dan alami, bisa kapanpun saat virus berkembang biak di dalam sel. Peluang mutasi dan terbentuknya varian baru akan meningkat selama penularan masih terjadi,” jelas wanita yang akrab disapa dr. Ningz ini.
Bagaimana mutasi ini terjadi?
Kartik Chandran, PhD, profesor dibidang mikrobiologi dan imunologi di Albert Einstein College of Medicine, AS, menjelaskan mutasi terjadi karena virus ‘ceroboh’ dalam menyalin informasi genetiknya sendiri, dan membuat kesalahan setiap kali membuat salinan.
“Kesalahan acak ini adalah mutasi, dan semakin banyak salinan yang dibuat virus, makin banyak mutasi yang didapatkan,” katanya.
Sebagian besar mutasi ini tidak melakukan apa-apa, atau berbahaya bagi virus karena mereka membuatnya ‘pincang’.
“Namun sesekali, mutasi memiliki semacam keuntungan, baik membuatnya bisa berkembang dalam tubuh manusia, menyebar dari orang ke orang, dan/atau lolos dari antibodi yang dibuat orang tersebut. Mutasi yang seperti ini berhasil mengalahkan virus lain dalam populasi dan menjadi variant of concern,” tegasnya.
Penting untuk dicatat, sebagian besar sistem imun dari orang yang tidak divaksin tampaknya mendorong munculnya varian-varian yang dapat lolos dari beberapa antibodi.
“Vaksin COVID-19 sangat efektif meningkatkan respon imun, sehingga dapat menekan sebagian besar varian yang beredar saat ini,” imbuhnya, seraya menekankan bila semakin banyak orang yang divaksinasi, kemungkinan penyebaran virus akan sangat berkurang. (jie)