Kepanikan atas COVID-19 menyebabkan masker sulit didapatkan. Kondisi ini membuat orang-orang mulai beralih membuat masker sendiri. Bahan yang dipakai mulai dari kertas tisu, serbet, kain katun, bahkan dari jeruk. Sebuah penelitian telah mengevaluasi bahan-bahan di rumah yang paling baik untuk masker bila dibandingkan dengan masker bedah.
Seyogyanya masker buatan sendiri tetap bisa mencegah masuknya bakteri, virus atau partikel-partikel kecil lainnya di udara ke saluran napas. Untuk tujuan itu para peneliti dari University of Cambridge, Inggris menguji coba beberapa bahan yang banyak ditemui di rumah seperti kain kantong penyedot debu, serbet, kain katun capuran, kaus dari katun, kain linen, sampai sutra.
Untuk mengukur efektivitas bahan, peneliti menyemprotkan bakteri Bacillus atropheus (berukuran 0,93-1,25 mikron) dan virus Bacteriophage MS (0,0023 mikron) pada bahan-bahan masker yang berbeda.
Mereka mengukur berapa persen bahan-bahan tersebut bisa menangkap mikroba dan membandingkannya dengan masker bedah. Tidak mengejukan, masker bedah mempunyai efektivitas paing baik. Memerangkap 97% bakteri berukuran sekitar 1 mikron.
Bahan lain rata-rata mampu menyaring partikel bakteri sebanyak 50%. Yang paling baik (setelah masker bedah) adalah bahan kantong penyedot debu (95%), kain serbet (83%), katun campuran (74%) dan kain katun 100% menyaring hingga 69%.
Masker buatan sendiri vs. virus
Pengetesan pada partikel bakteri menunjukkan hasil yang memuaskan, tetapi untuk virus lain cerita. Ukuran virus yang jauh lebih kecil membuatnya tidak mudah disaring.
Bisakah virus disaring? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anna Davies, dkk., menggunakan virus Bacteriophage MS2 yang berukuran 0,02 mikron (5 kali lebih kecil dari virus corona). Rata-rata masker buatan sendiri menangkap partikel virus 7% lebih sedikit dibanding partikel bakteri.
Secara umum bahan-bahan masker rumahan tersebut bisa menangkap 50% partikel virus, jika dibandingkan dengan masker bedah yang bisa menahan virus hingga 89%.
Bila diurutkan, kantung penyedot debu 86%, kain serbet 73%, kain katun campuran 70%, sarung bantal antibakteri 68%, kain linen 62%, sarung bantal biasa 57%, sutra 54%, kain katun murni 51% dan bahan scarf 49%.
Apakah efektif bila dirangkap?
Merangkap bahan-bahan pembuat masker seharusnya membuat masker lebih efektif menyaring partikel udara. Berangkat dari asumsi tersebut, peneliti lantas menguji daya saring serbet, sarung bantal dan kain katun yang dirangkap untuk virus.
Secara umum, masker berbahan rangkap tersebut tidak signifikan mampu menambah proteksi terhadap virus. Masker dari sarung bantal rangkap hanya menyaring 1% lebih banyak partikel, sedangkan kain katun rangkap hanya 2%. Tetapi pada serbet yang dirangkap bisa menambah proteksi hingga 14%.
Harus tetap mempunyai sirkulasi udara yang baik
Berdasarkan data tersebut kain serbet dan kantong penyedot debu menjadi material yang paling baik, tetapi peneliti tidak menganjurkan memakainnya sebagai bahan masker. Melainkan merekomendasikan sarung bantal biasa atau kain 100% katun.
Alasannya adalah kemampuan sirkulasinya untuk bernapas. Seberapa gampang kita bernapas ketika memakai masker juga faktor penting. Ini berpengaruh pada lamanya kita betah memakai masker.
Untuk mengujinya, peneliti mengukur penurunan tekanan pada tiap kain tersebut. Walau bahan kantong penyedot debu dan kain serbet adalah yang paling efektif, tetapi justru paling sulit untuk bernapas. Sebaliknya, masker dari sarung bantal, kain katun, linen, scarf lebih gampang untuk bernapas.
Berdasarkan kemampuanya menyaring partikel dan kemudahan sirkulasi udara, riset yang dipublikasikan dalam jurnal Disaster Medicine and Public Health Preparedness (2013) ini menyimpulkan kain katun dan sarung bantal adalah pilihan terbaik untuk dibuat sebagai bahan masker.
Mereka memberikan catatan, membuat masker dengan bahan rangkap dua hanya sedikit menambah efektivitasnya memerangkap partikel virus atau bakteri di udara. (jie)