LGK, Leukemia di Usia Dewasa | OTC Digest

LGK, Leukemia di Usia Dewasa

Andrian Rakhmatsyah menyangka dirinya masuk angin. “Perut terasa begah dan agak membesar. Dulu perut saya nggak buncit begini,” katanya saat berbagi cerita di sebuah acara di Jakarta. Andrian periksa ke dokter umum dan dinyatakan infeksi usus. Ia juga disarankan untuk periksa darah ke lab. Hasilnya, kadar leukosit (sel darah putih) tinggi, sekitar 79.000/µl. Ia tidak terlalu menghiraukan; dipikirnya biasa saja.

Dosen universitas swasta di Bandung ini melakukan terapi bekam dan akupresur, seperti yang biasa dilakukan kalau masuk angin. “Biasanya, habis itu segar lagi. Kali itu kok agak lama,” ujarnya. Akhirnya ia konsulasi dengan seorang kawan yang berprofesi sebagai dokter. Melihat hasil lab, si kawan curiga dan menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan morfologi darah. Hasilnya menunjukkan, Andrian mengalami CML  (chronic myelogenous leukemia) atau LGK (leukemia granulositik kronis).

Itu tahun 2011, usianya 34 tahun. Andrian kini menjadi Sektraris Jenderal ELGEKA untuk wilayah Bandung dan Jawa Barat. LGK adalah kanker darah. Umumnya terjadi di usia dewasa atau tua. LGK muncul karena terjadi gangguan proses pematangan sel myeloid di sumsum tulang. Sel induk darah di sumsum tulang terdiferensiasi menjadi dua: sel induk myeloid atau sel induk lymphoid. Myeloid kemudian terdiferensiasi lagi menjadi sel darah merah, platelet dan myeloblast yang kemudian berkembang menjadi sel-sel granulosit (salah satu jenis sel darah putih).

Granulosit inilah yang berubah sifat. “Karakteristiknya ditandai sel yang memiliki banyak inti,” terang dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM dari Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam (Perhompedin). Pertumbuhan granulosit tidak terkendali sehingga bila diperiksa, kadar leukosit sangat tinggi, jauh di atas normal 5.000-10.000/ µl.

LGK termasuk penyakit langka; insidennya di dunia 1,6/100.000 orang. Di Kanada, ditemukan sekitar 500 kasus baru/tahun. Di dunia, penyakit ini umumnya menjangkiti usia tua, rerata 53 tahun. “Di Indonesia, banyak yang terdeteksi di usia 30-an,” ujar dr. Hilman. Secara umum, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan, meski perbedaannya tidak besar.

 

Perpindahan kromosom

Sel-sel granulosit berkembang tidak terkendali; diduga terjadi mutasi pada sel induk di sumsum tulang. Dalam setiap nuckeus (inti sel) di tubuh kita terkandung 23 pasang kromosom. LGK dipicu oleh terjadinya translokasi (perpindahan tempat) antara kromosom 9 dan kromosom 22. Sepersekian bagian dari kromosom 9 dan 22 lepas dan saling bertukar tempat.

Terbentuklah penggabungan (fusi) antara kromosom 9 dengan potongan kromosom 22 dan sebaliknya. Kromosom 22 yang bergabung dengan potongan kromosom 9, disebut kromosom Philadelphia. Pada kromosom ini terbentuk fusi antara gen BCR dari kromosom 22 dan gen ABL dari kromosom 9, menghasilkan protein BCR-ABL dengan tirosin kinase yang teraktivasi. Hal ini memicu sumsum tulang terus memproduksi sel-sel darah putih abnormal, yang terlihat pada pasien LGK.

“Penggabungan gen hingga bermanifestasi menjadi penyakit bukan proses yang singkat; butuh waktu,” terang dr. Hilman. Karenanya, LGK bersifat kronik atau menahun; penyakit berjalan pelan-pelan. Sel-sel leukemia terus berkembang dan membelah, menumpuk di sumsum tulang lalu mengalir ke darah. Dalam perjalanannya, sel-sel leukemia bisa mengendap di organ, termasuk limpa.

Tidak diketahui pasti, mengapa bisa terjadi translokasi antara kromosom 9 dan 22. Factor risiko LGK antara lain bahan kimia seperti polusi, merokok/asap rokok, pestisida; radiasi; imunitas (kekebalan) tubuh rendah; kegemukan; penyakit Crohn dan kolitis ulseratif.

 

Gejala tidak khas

Karena bersifat kronis, gejala LGK sering tidak kentara, seperti yang dirasakan Andrian. “Perut terasa begah karena limpa membesar sehingga menekan lambung,” terang dr. Hilman. Akibatnya, penderita LGK sulit menerima makanan. Gejala lain misalnya berat badan (BB) turun drastis tanpa sebab yang jelas, wajah pucat, tulang terasa nyeri, anemia, berkeringat di malam hari dan sering demam.

Gejala-gejala ini tampak sepele sehingga pasien hanya menganggapnya masuk angin atau kecapekan. Namun bila sering muncul, ada baiknya periksa ke dokter. Pemeriksaan darah rutin merupakan cara yang bisa dilakukan untuk melihat ada tidaknya kelainan. “Penyakit ini asal muasalnya dari sumsum tulang. Media sumsum tulang adalah darah, jadi paling gampang, periksa darah,” tuturnya.

Kadar leukosit tinggi dan Hb rendah sehingga muncul gejala anemia, bisa menjadi awal kecurigaan. Menurut dr. Hilman, tidak ada patokan, berapa kadar lekosit yang bisa menunjukkan kecurigaan LGK. “Bila ada gejala dan beberapa kali periksa darah, leukosit di atas rata-rata, harus diperiksa lebih lanjut,” tegasnya. Apalagi bila saat pemeriksaan, tampak leukosit didominasi sel-sel tertentu yang mugkin menjadi cikal bakal LGK.

Bila ditemukan kejanggalan, disarankan konsultasi ke dokter spesialis darah (hematolog). Sayangnya di Indonesia, baru ada sekitar 120 hematolog dan mayoritas di kota-kota besar. Maka setidaknya, konsultasi ke dokter penyakit dalam (internis).

Untuk hasil yang lebih spesifik, dilakukan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction). Dengan mesin ini, gen spesifik yang dicurigai sebagai penanda LGK dari contoh darah akan diperbanyak, sehingga mudah dideteksi. “Ini ujung tombak untuk diagnosis,” papar dr. Hilman. Selanjutnya, pasien LGK perlu melakukan pemeriksaan PCR secara berkala, biasanya 3 bulan sekali, untuk menilai keberhasilan terapi. Biaya pemeriksaan PCR masih relatif mahal dan hanya bisa dilakukan di RS di kota-kota tertentu. (nid)

 

Bersambung ke: Tiga Fase LGK