layanan dialisis untuk pasien gagal ginjal kronis
terapi pasien gagal ginjal kronis

Layanan Dialisis Bagi Pasien Gagal Ginjal dengan BPJS Masih Banyak PR, Ini Tanggapan Dokter

Gagal ginjal masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia. Walau ada peningkatan layanan bagi pasien gagal ginjal, tetap menyisakan banyak pekerjaan rumah. 

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat kejadian gagal ginjal kronik meningkat dari 0,2% pada 2013 menjadi 0,38% pada 2018, atau setara dengan 713.783 jiwa. Faktor gaya hidup, serta penyakit hipertensi dan diabetes adalah penyumbang terbesar gagal ginjal kronik. 

Pasien gagal ginjal kronis membutuhkan terapi pengganti ginjal, berupa hemodialisis (HD; dikenal juga sebagai cuci darah), CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis; cuci darah yang dilakukan mandiri di rumah) dan transplantasi ginjal. 

Dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN, Dokter Kepresidenan RSPAD dan Penasehat Yayasan Jaga GinjaI Indonesia (JGI) menyatakan, gagal ginjal termasuk dalam penyakit katastropik pada program JKN, yang berarti penyakit ini memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menguras biaya yang tinggi. 

Dr. Jonny menambahkan ada peningkatan pelayanan BPJS Kesehatan untuk pasien gagal ginjal yang harus menjalani terapi dialisis. “Banyak perubahan yang dilakukan BPJS dan Kemenkes dalam hal regulasi,” katanya dalam acara Peningkatan Pelayanan JKN Bagi Pasien Dialisis, Rabu (15/2/2023).  

Salah satunya seperti dikeluarkannya aturan terbaru mengenai tarif pelayanan Kesehatan JKN oleh Kementerian Kesehatan (dalam PMK no.3/2023). Saat ini rumah sakit juga mengarah pada penggunaan dialyzer single use untuk pelayanan dialisis.

Namun begitu, dari sisi pasien masih banyak ‘pekerjaan rumah’ yang perlu dibenahi. Beberapa usulan misalnya menghapuskan rujukan berjenjang bagi pasien yang bersifat tetap, seperti yang tengah menjalani terapi HD maupun CAPD. 

“Bagi jenis obat yang digunakan, agar lebih transparan terhadap pasien, ada baiknya segel dialyzer single usedibuka di hadapan pasien. Untuk dosis obatnya pun harus selalu sesuai dengan yang diresepkan, di mana pun rumah sakitnya,” papar dr. Jonny.

Beberapa aturan pun kerap membingungkan pasien. Misalnya, aturan terkait menunggu 7 hari sebelum memeriksakan diri ke dokter yang sama, rawat inap hanya 3 hari, dan perbedaan jenis obat yang diberikan oleh rumah sakit.

“Untuk itu, ada baiknya disediakan wadah pengaduan apabila ada pelanggaran dalam pelaksanaan program bantuan layanan kesehatan ini, apalagi bagi pasien dialisis. Karena sejauh ini, salah satu tantangannya adalah transparansi dari berbagai pihak,” imbuh dr. Jonny. 

Bila ada keluhan terkait pelayanan

Seseorang yang jatuh pada kondisi gagal ginjal kronis memerlukan terapi dialisis seumur hidup secara rutin. Maka, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup pasien, perlu adanya kolaborasi yang baik, khususnya terkait standar pelayanan pada fasilitas kesehatan. 

Lantas apakah layanan dialisis di tiap-tiap rumah sakit sama/berbeda? Dr. Jonny menjelaskan setiap rumah sakit yang memiliki unit dialisis menjalankan SOP (standard operational procedure) HD atau CAPD yang sama. 

“Standar ini diuji dan dinilai saat akreditasi rumah sakit. Dan seharusnya SOP ini sama,” katanya. 

Bila ada keluhan terkait pelayanan hemodialisis, pasien dapat menyampaikan ke care center BPJS Kesehatan, atau menyampaikan keluhan ke Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) selaku organisasi profesi (kedokteran) yang terkait dengan kesehatan ginjal. 

Dr. Aida Lydia, SpPD-KHG, Ketua Pernefri menambahkan, “Sebaiknya pasien berkomunikasi terlebih dulu dengan dokter penanggungjawab atau rumah sakitnya. Seringnya adalah mispersepsi, bukan pelanggaran. Atau, ekspektasi yang lebih tinggi dari pasien.” (jie)