Jika kita membaca komentar netizen tentang suatu postingan, baik itu oleh publik figur atau masyarakat biasa, kerap kita temui kata-kata kasar di sana, bahkan bisa berisi pelecehan atau ancaman verbal. Tidak heran bila netizen Indonesia mendapat predikat sebagai yang paling ‘galak’ dan tidak sopan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Para ahli di luar negeri melihat peningkatan kata-kata / pernyataan emosional, tidak rasional bahkan eksplosif dalam wacana publik.
Bonnie Kaplan dan Julia J Rucklidge, peneliti, ahli nutrisi dan kesehatan mental yang juga penulis The Better Brain, menyadari banyak orang mengalami kelaparan otak. Ini merusak fungsi kognitif dan pengaturan emosi mereka.
Produk olahan
Para ahli ini menengarai bila banyak masyarakan yang kekurangan gizi mikro (mikronutrien) seperti vitamin dan mineral. Nutrisi yang sangat kurang dalam produk pangan olahan; mayoritas tinggi kalori, gula, garam dan lemak.
Produk pangan olahan ini termasuk minuman ringan, camilan kemasan, sereal sarapan hingga nugget ayam. “Umumnya mereka hanya mengandung sedikit mikronutrien, kecuali jika difortifikasi, tetapi walau begitu, hanya beberapa mikronutrien yang dalam jumlah tinggi,” ujar Bonnie, melansir Science Alert.
Survei tahun 2004 menunjukkan 48% kalori yang dikonsumsi masyarakat Kanada dari berbagai usia berasal dari produk olahan. Sementara survei 2018 di AS menunjukkan bahwa 67 % anak usia 2-19 tahun mengonsumsi produk olahan dan 57% pada kelompok dewasa.
“Sebagian besar dari kita menyadari bahwa asupan makanan menjadi masalah besar dalam kesehatan fisik karena kualitas makanan dikaitkan dengan kondisi kesehatan kronis seperti obesitas, diabetes dan penyakit kardiovaskular. Tetapi masyarakat kurang menyadari dampak nutrisi pada kesehatan otak,” tekan Bonnie.
Mikronutrien dan kesehatan mental
Mengingat pola makan masyarakat modern lebih banyak mengonsumsi produk olahan, Bonnie dan tim tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh mikronutrien terhadap kesehatan mental, terutama untuk sifat gampang marah, marah yang meledak hingga mood tidak stabil.
Bonnie menjelaskan telah banyak riset, termasuk di Kanada, Spanyol, Jepang dan Australia, yang menunjukkan mereka yang mengonsumsi makanan sehat atau diet makanan utuh memiliki lebih sedikit gejala depresi dan kecemasan, dibanding orang dengan diet yang buruk (sebagian besar pangan olahan).
Studi di Jepang pada 89.000 orang yang diikuti selama 10-15 tahun, angka bunuh diri pada mereka yang mengonsumsi makanan utuh hanya separuhnya, dibanding mereka dengan diet kurang sehat. “Di Kanada temuan yang sama kuatnya menunjukkan bagaimana pola makan anak-anak, serta mengikuti rekomendasi olahraga dan screen time (lama menatap layar gawai), mampu memprediksi anak usia 10-11 tahun mana yang akan didiagnosis gangguan mental dalam dua tahun berikutnya.
“Oleh karena itu, pendidikan gizi harus menjadi salah satu pengobatan lini pertama untuk anak-anak dalam situasi ini,” tegas Bonnie yang adalah profesor di Cumming School of Medicine, University of Calgary, Kanada.
Kemarahan dan mood yang tidak stabil sering menjadi ciri depresi. Mengajari orang depresi untuk mengubah pola makannya ke diet makanan utuh, misalnya diet mediteranian, menghasilkan perbaikan yang signifikan, Bonnie menambahkan.
Ciri khas diet mediteranian adalah mengonsumsi lebih banyak biji-bijian, buah, sayuran, kacang-kacangan, lemak tak jenuh (misalnya minyak zaitun) dan ikan.
Riset Felice N Jacka, dkk di jurnal BMC Medicine menjelaskan sepertiga pasien depresi yang merubah dietnya menjadi makanan utuh selain pengobatan rutin, memiliki kondisi mental stabil hingga 12 minggu. Tingkat kekambuhan pada kelompok kontrol (menggunakan pengobatan standar tanpa perubahan diet) adalah kurang dari satu per 10 orang.
Otak membutuhkan minimal 30 mikronutrien untuk memroduksi neurotransmitter seperti serotonin dan dopamine, juga untuk memecah dan mengangkut sisa metabolisme. “Banyak penelitian tentang terapi multi nutrisi mampu memperbaiki mood, mengurangi iritabilitas dan kemarahan yang meledak-ledak, termasuk penelitian pada anak-anak ADHD dan gangguan mood.”
“Buktinya jelas: mereka yang bergizi lebih baik lebih mampu menahan stres. Kelaparan otak adalah salah satu faktor yang bisa dimodifikasi yang berkontribusi terhadap ledakan emosi, agresi, bahkan hilangnya kesopanan dalam wacana publik,” pungkas Bonnie. (jie)