Jangan Lupakan Asupan Protein Hewani untuk Mencegah Stunting
protein_hewani_untuk_mencegah_stunting

Jangan Lupakan Asupan Protein Hewani untuk Mencegah Stunting

Jangan abaikan pentingnya asupan protein hewani untuk mencegah stuting. Anak yang kekurangan protein hewani di usia 5 tahun pertama, berisiko mengalami stunting. Meski tentunya, banyak faktor lain yang turut berperan dalam terjadinya stunting.

Seorang anak disebut stunting bila di usia <5 tahun memiliki panjang badan atau tinggi badan yang kurang dibanding standa usianya. “Stunting tidak hanya terjadi pada balita. Bayi pun bisa mengalaminya, bila sejak awal kekurangan gizi,” ungkap Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, Guru Besar Tetap FKM UI Bidang ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat.

Pada bayi, yang diukur adalah panjang badan. Bayi dinyatakan stunting bila angka pada grafik pertumbuhan di bawah -2 dari standar deviasi.

Stunting jadi masalah penting karena tak hanya menyangkut soal perawakan pendek, tapi juga berhubungan dengan kognitif anak. “Bila dalam dua dan lima tahun pertama, pertumbuhan anak terganggu gara-gara stunting, pasti kemampuan otaknya pun terganggu karena pertumbuhan otak dan fisik sejalan,” tegas Prof. Fika, dalam diskusi media yang diselenggarakan oleh JAPFA beberapa waktu lalu di Jakarta.

1000 HPK dan Masa Sebelumnya

Prof. Fika mengingatkan kembali mengenai 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) yang begitu krusial dalam hidup seorang anak. Ini dimulai sejak masa konsepsi, hingga si Kecil berusia 2 tahun. Memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan adalah salah satu upaya pencegahan stunting. Namun akan sia-sia jika ibu kekurangan nutrisi selama menyusui.

Ya, kondisi 1000 HPK turut ditentukan oleh kondisi ibu saat menyusui, selama hamil, sebelum hamil, bahkan saat ia remaja. “Angka anemia pada ibu hamil di Indonesia tinggi sekali, yaitu 49,8%. Jadi satu dari dua ibu hamil mengalami anemia. Pertumbuhan janin pun terganggu karena oksigen yang dibawa oleh darah untuk janin, kurang,” Prof. Fika menyayangkan.

Belum lagi angka KEK (Kurang Energi Kronis) pada remaja putri dan calon ibu. Perbaikan nutrisi pada KEK lebih sulit lagi. Butuh waktu lebih lama agar calon ibu memiliki status nutrisi yang baik, sebelum ia siap hamil. Ibu yang hamil dengan kondisi KEK berisiko mengalami kegawatan saat melahirkan, dan bayi yang dilahirkan pun berisiko kekurangan nutrisi.

Prof. Fika menyambut baik program intervensi stunting dari Kemenkes. Termasuk di antaranya edukasi pada remaja putri, pemberian makanan tambahan (PMT) dan tablet penambah darah pada ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang sejak anak lahir, dan pemberian PMT pada baduta. PMT pada ibu hamil dengan KEK dan baduta meliputi protein hewani seperti telur, daging, ikan, unggas, dan susu setiap hari.

Sayangnya, tidak ada intervensi pada ibu menyusui. “Kondisi ibu selama menyusui juga harus diperhatikan, tapi ini sering kali terabaikan,” sesal Prof. Fika.

Penelitian di Indonesia, banyak bayi usia 6 bulan yang sudah mulai stunting. Sebabnya, status ibu yang kurang saat hamil, dan ketika menyusui tidak ada perbaikan atau bahkan makin turun. “Ibu yang memberikan ASI Eksklusif tapi dia kekurangan gizi, anaknya banyak yang mengalami penurunan. Untuk itu ibu menyusui harus mendapat nutrisi yang baik agar bisa memberikan ASI eksklusif yang cukup untuk bayinya,” tegas Prof. Fika. Selepas ASI eksklusif bayi harus segera mendapat MPASI (Makanan Pendamping ASI) yang berkualitas, tak sekadar bubur dari sayur dan buah.

Ikan, sumber protein hewani yang baik untuk anak / Foto: Freepik.com

Protein Hewani untuk Mencegah Stunting

Protein hewani untuk mencegah stunting bukanlah isapan jempol. Secara umum, protein penting untuk mendukung pertumbuhan, daya tahan tubuh, penyembuhan, massa otot, dan perkembangan otak. Memang, protein memang bisa didapatkan dari sumber nabati, selain hewani. “Tapi tidak bisa hanya dari nabati tanpa hewani, karena proteinnya berbeda,” ucap Prof. Fika.

Lebih lanjut, Prof. Fika menjelaskan bahwa tubuh membutuhkan 20 asam amino, termasuk 9 asam amino esensial. “Asam amino esensial lengkap hanya terdapat pada protein hewani. Karenanya untuk medapatkan semua asam amino esensial lengkap, tidak cukup hanya dari protein nabati saja,” paparnya.

Selain itu, pangan hewani juga mengandung berbagai mineral yang kualitasnya lebih baik dibandingkan pangan nabati. Misalnya zat besi, yang penting untuk mencegah dan mengatasi anemia. Zat besi yang terkandung dalam daging merah lebih mudah diserap tubuh ketimbang yang ada pada sayuran. Demikian pula dengan kalsium. Kalsium pada susu lebih mudah diserap daripada yang ada di sumber nabati.

Penyerapan yang baik menjadi hal yang penting pada anak, mengingat kapasitas lambung anak lebih kecil daripada dewasa. Pastinya kita ingin nutrisi dari makanan yang diasup si Kecil bisa diserap sebaik mungkin.

Penelitian menemukan bahwa konsumsi telur berkaitan dengan peningkatan asupan energi, dan berbagai nutrisi penting lainnya di samping protein, yaitu asam lemak esensial, vitamin B12, vitamin D, fosfor, dan selenium. Anak-anak itu pun memiliki pnjang badan yang lebih tinggi.

Apa yang terjadi bila anak kurang mendapat protein hewani? “Anak akan mengalami gangguan fungsi hormonal, gangguan regenerasi sel, hingga penurunan kekebalan tubuh dan massa otot,” tutur Prof. Fika.

Kekurangan protein yang berlanjut akan menghambat pertumbuhan fisik anak, yang berujung pada stunting dan gangguan kognitif. Sebagai informasi, protein berperan untuk membawa hormon pertumbuhan atau growth hormone (GH), yang penting untuk pertumbuhan tulang. Bila tidak ada protein, pertumbuhan tulang pun akan terganggu.

Asupan Protein Hewani pada Anak

Berdasarkan Survei Konsumsi Makanan Individu (2014), hanya 2% anak usia 7-11 bulan yang mengonsusmi protein hewani (telur, susu, dan olahannya). “Sisanya 98% berupa serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan buah. Padahal untuk pertumbuhan, hanya protein yang bekerja,” tandas Prof. Fika. Pada kelompok usia 1-3 tahun, angka asupan protein hewani bahkan lebih kecil lagi: hanya 1%.

Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia 6-23 bulan harus mengonsumsi protein hewani (daging, unggas, ikan, telur, atau susu) setiap hari atau sesering mungkin. Sejak anak usia 6 bulan, dianjurkan memberi protein 1,1 gr per berat badan bayi/anak. “Jadi sejak anak mendapat MPASI, harus ada protein hewaninya,” ujar Prof. Fika.

Tentunya, tidak hanya protein hewani untuk mencegah stunting. Si Kecil juga harus mendapat asupan nutrisi lain, baik makronutrisi (karbohidrat, protein, lemak) dan juga mikronutrisi (vitamin, mineral) secara simbang. Bagaimanapun, anak membutuhkan semua nutrisi untuk mendukung tumbuh kembangnya. Dengan asupan nutrisi yang cukup dan berimbang, tubuh si Kecil bisa menggunakan protein untuk mendukung pertumbuhan fisik dan otaknya.

Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting, hingga menjadi 14% pada 2024. Butuh upaya luar biasa untuk mencapai target tersebut. “Bayi yang sudah selesai mendapat ASI eksklusif harus segera diberi MPASI yang mengandung protein hewani untuk mencegah stunting. Untuk mendukung anak-anak dari kelompok ekonomi lemah, bisa menggunakan Dana Desa untuk memberikan satu telur dan susu setiap hari,” pungkas Prof. Fika. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by zirconicusso on Freepik