Jauh sebelum era COVID-19, diabetes telah menjadi pandemi global. International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021 menyebut setidaknya 1 dari 10 orang atau 537 juta orang di dunia hidup dengan diabetes.
Prevalensi di Indonesia tidak kalah banyak, penderita diabetes meningkat dari 10,7 juta pada 2019 menjadi 19,5 juta di tahun 2021. Ini membuat Indonesia berada di peringkat ke lima dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, naik dari peringkat tujuh tahun lalu.
Sayangnya, sebagian besar penderita diabetes tidak berhasil mencapai target terapi penurunan gula darah. Riset Soetedjo et al, tahun 2018 menunjukkan 70% penderita diabetes dewasa tidak bisa mencapai target HbA1c.
HbA1c merupakan rerata nilai gula darah dalam 3 bulan terakhir. Nilai normal adalah <6,0%, prediabetes antara 6,0 - 6,4% dan diabetes jika > 6,5%. Para ahli sepakat menetapkan target terapi diabetes untuk menurunkan nilai HbA1c hingga <7% (53 mmol/L), untuk mencegah penyakit berkembang dan menimbulkan komplikasi.
Ada banyak terapi menurunkan gula darah, mulai dari terapi gaya hidup, obat-obatan oral hingga suntik insulin. Tetapi diabetes merupakan penyakit yang progresif. Kontrol gula darah akan mengalami kemunduran meski telah diberi obat-obatan oral antidiabetes.
Seiring perjalanan penyakit terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas (yang memroduksi insulin), sehingga suatu saat butuh terapi insulin.
Penelitian Nathan D, et al., menunjukkan bahwa insulin merupakan terapi penurun gula darah yang paling efektif, dibanding terapi lainnya. Pederita diabetes tipe 2 (karena gaya hidup) membutuhkan insulin ketika perubahan gaya hidup dan obat antidiabetes oral tidak mampu mencapai target terapi.
American Diabetes Association tahun 2015, merekomendasikan pemberian insulin basal (insulin kerja panjang untuk menurunkan gula darah puasa) bila target penurunan HbA1c setelah 3 bulan menggunakan obat metformin tidak tercapai.
Bukan akhir dunia
Walau para ahli merekomendasikannya, banyak orang yang takut memakai insulin. Sebagian beranggapan bila sudah menggunakan insulin berarti harus suntik insulin seumur hidup.
Dr. dr. Indra Wijaya, M.Kes, SpPD-KEMD, FINASIM, dari RS Pantai Indah Kapuk, Jakarta membantah tegas anggapan tersebut. “Tidak benar. Beberapa pasien saya bisa lepas insulin, tentunya tergantung respon metabolisme individual,” ujarnya.
Insulin merupakan salah satu penemuan yang menyelamatkan jiwa bagi penderita diabetes, terutama diabetes tipe 1 di mana tubuh tidak bisa memroduksi insulin sendiri.
Insulin akan membantu mengontrol gula darah agar mengurangi risiko komplikasi diabetes. Hal ini telah terbukti sejak insulin ditemukan 100 tahun yang lalu.
Selama satu abad terakhir, sudah ada sejumlah insulin generasi baru yang dikembangkan untuk mengurangi beban pengobatan sehari-hari, dengan prosedur pengobatan yang lebih fleksibel, dan membantu lebih mudah mengontrol gula darah.
Mengendalikan gula darah sesuai target terapi sangat penting untuk menghindari risiko komplikasi. Studi DCCT (Diabetes Control and Complication Trial) mengungkapkan, penurunan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko komplikasi pada mata (retinopati) 38%, ginjal 28% dan 57% serangan jantung/stroke.
Dr. Indra menambahkan sangat memungkinkan bila pemakaian insulin nantinya diganti dengan obat oral lagi. “Asal gula dan HbA1c terkontrol baik, (disertai) jaga pola makan dan olahraga teratur,” terang dokter yang juga praktik di Eka Hospital, BSD, Tangerang.
Hidup normal dengan insulin
Walau harus suntik insulin, pasien diabetes tetap bisa hidup normal dan meminimalkan risiko efek samping insulin, termasuk hipoglikemi. Asal, “jaga pola makan, olahraga konsisten dan kontrol teratur ke dokter sesuai jadwal,” dr. Indra menekankan.
Chatbot diabetes
Diabetes telah menjadi beban besar dalam sistem kesehatan. Data CHEPS FKM UI dan PERKENI tahun 2016 menunjukkan pemerintah menghabiskan 74 % anggaran kesehatan untuk mengobati komplikasi diabetes.
Vice President & General Manager Novo Nordisk Indonesia, Anand Shetty, dalam rangka peringatan Hari Diabetes Sedunia dan 100 tahun ditemukannya insulin mengatakan, “Bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kami akan meningkatkan upaya untuk menyediakan pengobatan diabetes yang berkelanjutan di Indonesia dengan memberikan diagnosis dini dan pengendalian yang optimal.”
“Salah satu kolaborasi kami mendatang adalah chatbot diabetes. Masyarakat bisa mendapatkan informasi mengenai diabetes melalui platform WhatsApp. Kami berharap chatbot ini dapat menjadi sumber informasi utama mengenai diabetes.” (jie)