Di masa pandemi COVID-19 terjadi perubahan pola tidur dan semakin banyak orang mengalami gangguan tidur, yang berujung pada penurunan imunitas, peforma kerja dan stres. Gangguan tidur tersebut secara spesifik disebut coronasomnia.
Coronasomnia merupakan istilah baru yang muncul berkaitan dengan pandemi ini. Menurut dr. Andreas Prasadja, RPSGT, praktisi kesehatan tidur dan pendiri Snoring & Sleep Disorder Clinic, coronasomnia ini banyak dialami oleh para penyintas COVID-19.
“Para penyintas COVID-19 banyak mengeluhkan ganguan tidur insomnia,” terangnya. Itu kenapa disebut coronasomnia yang adalah gabungan dari kata ‘coronavirus’ dan ‘insomnia’.
Di Inggris, sebuah studi oleh Universitas Southampton pada Agustus 2020 menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami insomnia meningkat, yang sebelumnya satu dari enam orang, menjadi satu dari empat orang.
Di China, tingkat insomnia naik dari 14,6% menjadi 20% selama puncak lockdown. Journal of Clinical Sleep Medicine (edisi Februari 2021) mencatat pencarian kata ‘insomnia’ di mesin pencari Google selama pandemi COVID-19 meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Survei dari Royal Phillips juga menyatakan 70% dari sekitar 30 ribu responden mengalami satu atau lebih gangguan tidur sejak awal pandemi.
Pada coronasomnia, “bukan karena virusnya, tetapi karena efek isolasi. Ini banyak ditemui pada orang-orang yang habis dirawat panjang di rumah sakit,” ujar dr. Andreas pada peluncuran produk Antangin Good Night dalam rangka Hari Tidur Sedunia, Rabu (17/3/2021).
Gangguan tidur insomnia (coronasomnia) selama pandemi ini salah satunya berhubungan dengan ‘rusaknya’ irama sirkadian tubuh (proses biologis alami yang mengatur siklus tidur-bangun dalam 24 jam). Terjadi gangguan irama sirkadian.
Perubahan rutinitas sehari-hari, ditambah batasan kabur antara kehidupan profesional dan pribadi saat bekerja atau belajar dari rumah, menyebabkan banyak orang bekerja dan tidur pada jam-jam tidak teratur.
Misalnya, pada seseorang yang tidak dapat tidur di malam hari karena bekerja sampai larut, dan sering tidur siang sambil bekerja dari rumah ini akan mengacaukan ritme sirkadian tubuh.
“Work from home (bekerja dari rumah) menyebabkan gangguan irama sirkadian. Orang berada di dalam lingkungan yang sama, bekerja dan tidur tetap di tempat tidur dengan pencahayaan yang sama, atau bahkan piyama yang sama. Padahal irama sirkadian normal berkaitan dengan perubahan pencahayaan seperti saat siang dan malam hari,” urai dr. Andreas.
Spektrum gangguan tidur yang banyak dialami selama pandemi COVID-19 cukup luas, umumnya ditandai dengan rasa mengantuk di siang hari, kesulitan tidur di malam hari, sering terbangun di tengah malam, serta siklus tidur dan bangun tidak teratur.
Menciptakan tidur berkualitas
Untuk mendapatkan tidur yang berkualitas, dr Andreas merekomendasikan 10 langkah:
- Perbaiki waktu tidur dan bangun.
- Jika terbiasa tidur siang, durasi tidak lebih dari 45 menit.
- Hindari konsumsi alkohol berlebih sebelum jam tidur, serta jangan merokok.
- Hindari konsumsi kafein 12 jam sebelum tidur, termasuk kopi, teh, soda dan cokelat.
- Hindari makanan berat, pedas dan manis 4 jam sebelum tidur. Camilan ringan sebelum tidur masih diperbolehkan.
- Olahraga teratur.
- Gunakan alas tidur yang nyaman.
- Atur temperatur yang nyaman untuk tidur dan jaga agar kamar memiliki sirkulasi udara yang baik.
- Jauhkan kebisingan yang mengganggu dan matikan cahaya.
- Gunakan tempat tidur untuk tidur saja, jangan jadikan sebagai ruang kerja atau ruang rekreasi. (jie)
Baca juga : Kurang Tidur, Mendengkur dan Sleep Apnea Pengaruhi Keparahan COVID-19