parosmia gejala baru covid-19 membuat mencium bau tak sedap

Benarkah Parosmia Gejala Baru COVID-19 dan Bisakah Normal Kembali?

Baru-baru ini publik dibingungkan dengan munculnya gejala baru COVID-19 berupa parosmia, yakni kondisi yang membuat pasien mendeteksi bau tak sedap. Parosmia membuat seseorang seakan-akan mencium bau menyengat seperti amis, bau belerang atau bau manis yang tidak enak.

Parosmia kadang disalahartikan dengan phantosmia, di mana seseorang mencium bau ‘hantu (phantom)’ saat tidak ada aroma. Parosmia berbeda, karena penderita dapat mendeteksi bau yang ada, tetapi salah. Misalnya bau wangi roti yang baru dipanggang bagi mereka tercium seperti bau busuk dan menyengat.

Salah satunya dialami oleh Jennifer Spicer, dokter penyakit infeksi di AS yang sembuh dari COVID-19. Ia menyebutkan kopi, anggur dan makanan lain terasa seperti bensin. Nicola Watt, yang juga baru saja sembuh mengatakan gejala yang mirip. “Tiba-tiba semuanya berbau dan terasa seperti tempat sampah,” kata Watt, dilansir dari Times.

Parosmia dianggap sebagai salah satu gejala dari long COVID, istilah untuk menggambarkan efek virus corona yang terus dirasakan beberapa minggu bahkan bulan setelah dinyatakan sembuh. Di antara ribuan pasien COVID-19 yang mengalami anosmia (hilangnya penciuman) di seluruh Inggris, beberapa mengalami parosmia.

Apakah ini sesuatu yang baru?

Ternyata kekacauan indra penciuman ini bukan hal yang baru. The BMJ menulis parosmia tidak spesifik disebabkan oleh COVID-19.

Parosmia biasa terjadi pada semua jenis kehilangan bau pasca infeksi virus, dan lebih dari separuh orang yang kehilangan penciuman karena infeksi virus akan mengalaminya.

Dilansir dari fifthsense.org.uk, mekanisme terjadinya parosmia dan phantosmia belum dipahami benar, tetapi para ahli berpendapat bahwa virus merusak neuron reseptor penciuman (sel-sel di rongga hidung yang mendeteksi molekul bau). Sangat memungkinkan juga bila kerusakan terjadi di area lain sistem penciuman, seperti olfactory bulbs di otak bagian depan.  

Para peneliti di AS, Inggris dan Jerman – dipimpin oleh Harvard University – menerbitkan serangkaian penelitian pada hewan yang menunjukkan reseptor ACE-2, protein utama tempat masukkan virus COVID-19, tidak ada di neuron sensorik penciuman.

Percobaan mereka menunjukkan kemungkinan besar virus merusak sel-sel pendukung di rongga hidung, yang memungkinkan neuron pendeteksi bau aktif. Ketika sel-sel pendukung ini terinfeksi, tubuh menghasilkan peradangan untuk mencoba mengisolasi dan melawan virus.

Jika kerusakan sel pendukung minimal, indra penciuman akan pulih dengan cepat. Tetapi jika cukup banyak sel yang rusak, atau jika ada cukup banyak peradangan, neuron juga dapat mati atau berubah fungsinya. Ini menyebabkan hilangnya bau dan parosmia dalam jangka panjang.

Dr. Sandeep R. Datta, penulis utama studi tersebut dan ahli saraf di Harvard, mengatakan: “Kemunculan parosmia yang meluas mencerminkan fakta bahwa pada beberapa pasien, neuron pasti sekarat. Kemungkinan utamanya adalah bahwa neuron-neuron ini dibunuh melalui mekanisme tidak langsung.”

Bisakah normal kembali?

Kabar baiknya adalah indra penciuman secara bertahap kembali normal seiring tubuh memperbaiki kerusakan saraf yang disebabkan oleh virus.

Neuron penciuman yang rusak atau mati dapat meregenerasi dan membangun kembali indra penciuman melalui transmitter (pemancar) seperti sulur yang disebut akson, yang terhubung dengan otak melalui lubang mikroskopis di bagian tengkorak yang disebut lempeng cribriform.

Para ilmuwan percaya parosmia adalah hasil dari proses “coba-coba” yang dimulai ketika neuron penciuman yang baru tumbuh terhubung kembali ke otak, tempat bau diproses dan diinterpretasikan.

Prosesnya rumit karena ada sekitar 350 jenis reseptor yang terkait dengan pendeteksian bau, dan otak menafsirkan bau sebagai kombinasi dari sinyal yang berbeda. "Jika pola sinyal ini tidak lengkap, pesan yang diterima otak tidak akan dapat ditafsirkan," kata Dr. Nancy Rawson, ahli biologi molekuler di Monell Institute di Philadelphia, mengutip The Wall Street Journal.

Saat ini para peneliti sedang fokus untuk memahami mengapa parosmia begitu umum terjadi pada pasien COVID-19. (jie)