Awas, Stres bisa Memicu Infertilitas pada Laki-laki | OTC Digest

Awas, Stres bisa Memicu Infertilitas pada Laki-laki

Jangan anggap sepele dampak stres terhadap tubuh, terutama bila laki-laki usia reproduktif yang tengah mendambakan momongan. Stres bisa mengganggu kesuburan (infertilitas) dalam berbagai cara. Salah duanya, meningkatkan radikal bebas ROS (reactive oxygen species), dan mengganggu keseimbangan hormon.

Pemeriksaan profil hormon umumnya menjadi pemeriksaan yang pertama kali dilakukan saat laki-laki datang ke dokter dengan keluhan belum juga punya anak padahal telah sekian tahun menikah. “Ketidak seimbangan hormon sering ditemukan pada laki-laki usia 35 tahun, tapi sudah menikah selama tiga tahun tidak punya anak,” ungkap dr. Nur Hafiz Ramadhona, Sp.And dari RS YPK Mandiri, Menteng, Jakarta.

Tak hanya stres psikis, tapi juga stres jaringan. Stres pada jaringan bisa terjadi tanpa kita sadari. Misalnya saat jam tidur berkurang, yang sayangnya kerap dialami oleh banyak orang, karena harus terjaga hingga larut menyelesaikan pekerjaan, lalu bangun pagi keesokan harinya. “Mungkin orang merasa tubuhnya tetap segar meski cuma tidur tiga jam. Walaupun pikiran tidak stres, tapi selular tubuh menglami stres. Dampaknya, prolaktin naik. Ini sering tidak disadari,” tutur dr. Rama.

Baca juga: Kebiasaan Buruk Ini Mengancam Kesuburan Laki-laki

Kadar prolaktin yang terlalu tinggi (hiperprolaktinemia) berdampak negatif pada produksi sperma. Selain itu juga mengganggu motilitas (pergerakan) sperma, hingga menurunkan kualitas sperma. Angka hiperprolaktinemia cukup tinggi, diperkirakan 1% pada populasi umum di seluruh dunia. Laki-laki dinyatakan mengalami hiperprolaktinemia bila kadar prolaktin serum mencapai >15µg/L.

Ketidak seimbangan hormon berarti terganggunya keseimbangan berbagai hormon yang mengatur produksi sperma. Mulai dari GnRH, LH, FSH, hingga testosteron. Kecukupan testosteron krusial dalam pembentukan sperma; bila kadarnya terlampau rendah, sperma tak bisa diproduksi. “Namun bila dalam pemeriksaan, ditemukan kadar testosteron rendah, terapinya bukan dengan injeksi testosteron,” tegas dr. Rama.

Melalui serangkaian mekanisme yang kompleks, LH akhirnya merangsang pembentukan testosteron di testis; testosteron inilah yang kemudian memproduksi sperma. Selain itu, juga diproduksi testosteron yang dialirkan ke darah, untuk mengirimkan sinyal balik ke hipotalamus dan pituitary bahwa kadar testosteron untuk produksi sperma sudah cukup, sehingga pelepasan hormon-hormon yang memicu produksi testosteron perlu dibatasi.

Baca juga: Semangka, Anti-Hipertensi dan Anti-Impotensi

Maka, dalam kasus infertilitas akibat ketidak seimbangan hormon, yang dibutuhkan adalah testosteron di testis untuk produksi sperma. “Injeksi testosteron akan langsung masuk ke darah, dan meningkatkan kadar testosteron darah. Ini akan mengirimkan sinyal ke otak bahwa kadar testosteron dalam tubuh sudah cukup, sehingga sinyal untuk menghasilkan testosteron di testis dihentikan. Akibatnya, testosteron pada testis yang sudah sedikit, ditekan jadi makin sedikit,” papar dr. Rama.

Injeksi testosteron memang bermanfaat untuk menghilangkan keluhan fisik akibat rendahnya testosteron seperti berkurangnya kekuatan otot dan tulang, perut buncit, kebotakan, turunnya libido dan kemampuan berhubungan intim, dan lain-lain. Namun tidak bisa digunakan untuk mengembalikan kesuburan akibat ketidakseimbangan hormon.

Pemeriksaan hormon bermanfaat untuk melihat, di mana letak gangguan yang menyebabkan penurunan produksi testosteron. “Produksi testosteron dipengaruhi oleh hormon-hormon lain. Dengan pemeriksaan hormon, kita bisa melihat hormon apa yang perlu dimodifikasi, agar produksi testosteron kembali lancar,” terang dr. Rama.

Baca juga: "Memanen" Likopen dari Tomat untuk Kesehatan Prostat

Jadi yang dimodifikasi bukan testosteron langsung, melainkan hormon yang memicu pembentukan testosteron. “Tubuh harus dikondisikan untuk menghasilkan testosteron sendiri; tidak bisa digunakan testosteron dari luar,” tambahnya.

Selain mengonsumsi obat dari dokter, perbaiki pula pola hidup. Memang tidak mungkin menghindari stres, tapi belajarlah cara mengelolanya. Perbaiki pola tidur; bila mungkin, ‘curi’ waktu untuk bisa mencukupi kebutuhan tidur. Tak kalah penting, lakukan latihan fisik secara teratur dan terukur untuk memperbaiki metabolisme tubuh dan mengurangi stres.

Makanan yang bisa meningkatkan kadar prolaktin juga harus dibatasi. “Misalnya makanan yang bagus untuk ibu menyusui seperti daun katuk dan daun pepaya. Biasanya daun-daunan yang pahit dan bergetah,” ujar dr. Rama. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by freepik - www.freepik.com