Sejauh ini, kasus infeksi COVID-19 pada anak rendah, sehingga ada anggapan bahwa anak lebih tahan terhadap corona. “Kalau ada infeksi baru, kuman penyebab infeksi itu belum dikenal tubuh manusia. Memang pertama kali akan menyerang dewasa dulu. Teorinya begitu,” ujar Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K).
Bilapun anak terinfeksi COVID-19 dan mengalami sakit, secara klinis gejalanya lebih ringan. “Belum diketahui kenapa. Namun memang reseptor COVID-19 lebih banyak pada paru orang dewasa yang sudah sempurna. Mungkin ini pula yang membuat dewasa lebih rentan,” imbuh Dr. dr. Anggi, dalam diskusi yang diselenggarakan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Senin (16/3/2020).
Namun demikian, Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis ini menegaskan, bukan berarti kita boleh lengah. Bisa saja sebenarnya infeksi pada anak cukup banyak. Tapi karena gejalanya ringan atau tidak bergejala maka tidak diperiksakan, sehingga kasus pada anak terlihat sedikit. “Bisa saja anak dianggap sakit batuk pilek biasa, padahal itu COVID-19. Yang kita harapkan adalah pemeriksaan seluas-luasnya,” ucap Dr. dr. Anggi.
Yang jadi masalah, meski anak lebih tahan terhadap corona, mereka bisa menularkan COVID-19 ke orang dewasa. Dampaknya bisa fatal bila yang tertular adalah kakek nenek (orang lanjut usia). Karenanya meski secara umum kasus infeksi COVID-19 pada anak rendah, tetap tak boleh disepelekan.
Sejauh ini, kasus COVID-19 pada anak paling banyak ditemukan di Korea Selatan. “Angkanya mencapai 5,2%, karena skrining di sana luas sekali. Banyak anak yang juga diperiksa,” ujar Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon). Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) ini melanjutkan, memang bila dibandingkan dengan kasus pada dewasa, persentasi anak yang terinfeksi COVID-19 relatif kecil. “Tapi jumlah anak di Korea Selatan tidak sampai 9 juta sebanyak di Indonesia. Jangan sampai kita lengah karena menganggap hanya sedikit anak yang kena,” tegasnya.
Gejala pada anak
Secara umum, gejala harian COVID-19 pada anak, sama dengan dewasa. “Gejala awalanya di saluran napas atas. Yakni batuk, pilek,” terang dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp.A(K), perwakilan UKK Respirologi. Itu adalah gejala lokal. Adapun gejala sistemik antara lain demam, rasa ngilu di badan, dan nafsu makan berkurang. Semua gejala ini bisa membuat anak rewel.
Penelitian di ebrbagai negara menemukan, tidak semua anak mengalami demam. “Anak yang cuma batuk dan pilek, begitu diperiksa ternyata positif COVID-19. Sekitar 30-40% tidak ada gejala demam,” tambahnya.
Untuk penyembuhannya, belum bisa diketahui dengan pasti seperti apa karena laporan kasusnya memang belum banyak. Yang pasti, pengobatan meliputi dua hal: meringankan gejala, dan membunuh virus. Dokterlah yang memiliki kompetensi, obat dan pengobatan apa yang dibutuhkan.
Mendukung sistem imun agar anak lebih tahan terhadap corona
Social distance atau pembatasan interaksi sosial krusial untuk menekan penyebaran COVID-19. “Selama kegitatan belajar di sekolah ditiadakan selama dua minggu ini, jangan dipakai jalan-jalan. Apalagi mengunjungi kelurga di luar kota. Nanti virusnya menyebar ke mana-mana. Kalau tidak perlu sekali, jangan keluar rumah,” tutur Ketua Bidang 3 PP IDAI Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K).
Agar anak lebih tahan terhadap corona, sistem imunnya perlu diperkut dan dipelihara. Asupan nutrisi dan pola istirahat harus diperhatikan. Nutrisi meliputi makronutrisi (karbohidrat, protein lemak) serta mikronutrisi (vitamin dan mineral). “Vitamin yang penting antara lain vitamin A untuk mendukung kesehatan sel-sel di saluran napas, agar tidak mudah terinfeksi,” jelas Prof. Hartono.
Vitamin C dan D juga penting untuk daya tahan tubuh. “Kita beruntung tinggal di negara tropis. Cukup berjemur 5 – 10 menit setiap hari untuk mengaktifkan vitamin D dengan sinar UV,” imbuhnya. Selama masa 2 minggu ini memang disarankan tidak keluar rumah. Namun boleh berjalan-jalan atau bersepeda di sekitar rumah bersama, asalkan hanya bersama anggota keluarga. Untuk vitamin C, “Bisa cukupi dari berbagai buah dan sayur.”
Ajarkan pula anak etika batuk dan bersin, yakni menutup mulut dan hidung dengan lipatan lengan, atau dengan selampai/tisu. Setelahnya, tisu harus lngsung dibuang ke tempat sampah tertutup. Biasakan anak untuk sesering mungkin mencuci tangan. Tidak perlu membeli hand sanitizer yang sekarang sangat sulit dicari, dan mahal. Cukup dengan air mengalir dan sabun. “Dan, ingatkan anak untuk tidak mengucek-ngucek mata, menyentuh hidung, atau memasukkan jari ke mulut,” lanjut Prof. Hartono.
Belum ada vaksin untuk COVID-19. Namun, penyakit ini sering pula disertai dengan infeksi virus influenza. Vaksinasi efektif mencegah infeksi influenza. “Memang vaksin influenza tidak melindungi dari COVID-19. Namun akan melindungi anak dari influenza, yang bisa menjadi pintu masuk bagi COVID-19,” terang Prof. Hartono. Dengan mencegah influenza, diharapkan anak lebih tahan terhadap corona.
Bagaimana dengan vaksinasi rutin untuk anak, apakah bisa tetap dilakukan selama masa social distancing ini? “Untuk imunisasi pertama seperti hepatitis B, DPT, dan polio, seilakan dilakukan. Namun untuk vaksinasi lanjutan bisa ditunda hingga dua minggu mendatang,” tuturnya. (nid)
___________________________________________