obat covid-19 yang terbukti tidak bermanfaat
obat covid-19 yang terbukti tidak bermanfaat

5 Obat COVID-19 Yang Dulu Ramai, Sekarang Terbukti Tidak Bermanfaat

Pandemi COVID-19 sudah berlangsung dua tahun sejak pertama kali dilaporkan pada Desember 2019 dan kemudian resmi dinyatakan oleh WHO sebagai wabah global pada Februari 2020. Dalam perjalanannya banyak terapi eksperimental, baik obat antivirus atau terapi lain, yang digunakan untuk mempercepat pemulihan.

Seiring berjalannya waktu, saat ini penelitian membuktikan bahwa ada lima obat COVID-19 kontroversial akhirnya terbukti tidak bermanfaat. Lima obat yang dimaksud adalah ivermectin, hidroksiklorokuin (klorokuin), oseltamivir, azithromycin dan plasma konvalesen.

Mengutip akun Twitter Prof. dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM, Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menulis  bila obat-obat tersebut dulu dipakai sebagai terapi COVID-19 dan kini terbukti tidak bermanfaat, bahkan menyebabkan efek samping serius pada beberapa kasus.

Ivermectin

Ivermectin merupakan obat lama yang digunakan untuk infeksi parasit, seperti onchocerciasis dan strongyloidiasis (keduanya disebabkan oleh cacing gelang). Ivermectin telah terbukti memiliki efek antiradang dalam penelitian in vitro dan in vivo sehingga diperkirakan juga bermanfaat untuk COVID-19. Dari sini lah awal mula penggunaan ivermectin untuk obat COVID-19.

(Ivermectin)

Tidak disetujui Badan Pengawas Obat & Makanan (FDA) AS, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan regulator obat Uni Eropa. Banyak laporan pasien yang memerlukan perhatian medis, termasuk rawat inap, setelah konsumsi Ivermectin,” cuit Prof. Beri, demikian ia akrap disapa.   

Perhimpan Ahli Penyakit Menular AS (Infectious Disease Society of America/IDSA) juga tidak merekomendasikan Ivermectin digunakan untuk pengobatan pasien COVID-19 (baik rawat jalan atau rawat inap), kecuali dalam konteks uji klinis.  

Klorokuin

Klorokuin telah digunakan selama beberapa dekade sebagai obat antimalaria dan untuk pengobatan infeksi protozoa lainnya. Penggunaannya juga diperluas dalam pengobatan penyakit lupus dan rheumatoid arthritis. Obat ini digunakan, secara eksperimental, untuk mengobati SARS pada tahun 2003.

Tentang penggunaan pada pasien COVID-19, IDSA menegaskan untuk tidak menggukanan klorokuin. Keputusan ini didasarkan rendahnya kepastian bukti dalam tiga penelitian klinis.

Riset lain yang melibatkan 821 orang di AS dan Kanada menunjukkan bila pemberian klorokuin tidak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan obat plasebo dalam pencegahan COVID-19. Riset ini dipimpin oleh tim dari University of Minnesota, AS, dan telah diterbitkan di New England Journal of Medicine.

Peneliti menemukan 49 dari 414 orang yang mendapatkan hidroksiklorokuin positif COVID-19, dibandingkan dengan 58 pada 407 orang kelompok plasebo. Ini juga berarti 11,83% partisipan yang mendapatkan obat antimalaria tersebut terinfeksi, verus 14,25% dari kelompok plasebo.

Prof. Beri menulis : “(Klorokuin) Memang sudah dipakai oleh ratusan ribu orang di dunia. Namun terbukti malah berbahaya untuk jantung. Manfaat antivirusnya justru enggak ada. Jadi, klorokuin tidak boleh dipakai lagi.”

Oseltamivir

Sebelumnya dalam protokol tatalaksana COVID-19 di Indonesia, oseltamivir (Tamiflu) (dosis 75 mg/12 jam selama 5-7 hari) merupakan salah satu antivirus yang diberikan untuk pasien derajat ringan.

Sejatinya oseltamivir digunakan untuk mengobati influenza tipa A dan B. Lima organisasi profesi di Indonesia, seperti PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia) hingga IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak merekomendasikan pemakaian obat ini untuk pengobatan COVID-19.

Melansir CNN, ketua PDPI Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), menjelaskan "Oseltamivir dapat dipertimbangkan apabila ada kecurigaan infeksi terhadap influenza, itu yang mesti diperkirakan. Organisasi profesi menyimpulkan kajian yang ada pemberian obat itu saat ini tidak pada tempatnya untuk COVID-19," kata Agus.

Azithromycin

Azithromycin termasuk sebagai obat yang tidak direkomendasikan oleh 5 organisasi profesi untuk pengobatan COVID-19, selain oseltamivir.

Obat ini merupakan antibakteri, yang juga dalam penelitian in vitro (di luar tubuh makluk hidup) memiliki aktivitas antivirus untuk virus-virus RNA.

“Obat ini juga tidak bermanfaat sebagai terapi Covid-19, baik skala ringan serta sedang. Kecuali ditemukan bakteri – selain virus penyebab Covid-19 dalam tubuh Anda. Kalau hanya Covid-19, maka obat ini tidak diperlukan,” tulis Prof. Beri.  

Plasma konvalesen

Sebelumnya plasma darah konvalesen ini digunakan sebagai salah satu pengobatan SARS-CoV-2, memakai plasma darah para penyintas yang telah mengandung antibodi virus corona. Harapannya antibodi ini akan menghentikan replikasi virus COVID-19 dan mencegah kerusakan organ tubuh.

Beberapa penelitian yang menguji plasma darah konvalesen menunjukkan tidak ada manfaat yang signifikan saat diberikan pada pasien COVID-19 berat. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dihentikan pada bulan Maret 2021 setelah ditemukan bahwa plasma darah ini juga tidak bermanfaat untuk pasien COVID-19 ringan hingga sedang.

Rekomendasi para ahli tersebut dipublikasikan dalam the British Medical Journal (BJM), berdasarkan bukti dari 16 penelitian yang melibatkan 16.236 pasien COVID-19 ringan hingga kritis. (jie)