cegah anak menjadi antisosial selama pandemi

Takut Anak Jadi Antisosial Selama Pandemi? Ini Saran Psikolog

Selama pandemi COVID-19 ini pemerintah menerapkan metode pembelajaran daring, ditambah anjuran untuk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah membuat anak-anak tidak kerap bertemu orang lain. Hal ini kerap membuat orangtua khawatir jika anak menjadi antisosial.

Ketakutan sebagian besar orangtua bila anaknya menjadi antisosial gara-gara tidak boleh ke luar rumah, terutama terasa di kota-kota besar, misalnya pada mereka yang tinggal di apartemen.

Menjawab hal ini psikolog anak dan keluarga, Pritta Tyas Mangestuti, M.Psi, mengatakan kemampuan sosialisasi anak bisa dilatih dengan banyak cara. Anak bisa diajarkan agar tidak menjadi antisosial, walau tidak bertemu dengan teman sebayanya.  

“Kemampuan sosialisasi salah satunya adalah kemampuan untuk bergantian atau menunggu giliran. Ini bisa distimulasi dengan bermain bersama orangtuanya. Misalnya main bola, anak harus menunggu giliran melempar setelah orangtua,” terang Pritta, dalam konferensi pers virtual peluncuran susu pertumbuhan S-26 Procal Nutrissentials rasa madu, Rabu (7/7/2021).

Aspek penting agar anak tidak antisosial adalah melatih kemampuan empati. Pritta menyarankan menggunakan metode bermain peran. Misalnya dengan menggunakan hand puppet (boneka tangan) bermain menjadi dokter.

“Atau melatih (empati anak) dengan orangtua lebih sering mengomunikasikan apa yang ia rasakan pada si kecil, misalnya: wah mama capek banget nih, kira-kira apa yah yang bisa bikin capeknya hilang?” imbuh Pritta.

“Permasalahan anak-anak jarang melihat orang asing. Tenang, anak-anak punya kemampuan adaptasi yang baik. Kalau nanti semuanya sudah normal, (awalnya) anak akan agak takut bertemu orang, tetapi nanti lama-kelamaan akan terbiasa.”

Periode sensitif anak

Selain kemampuan sosialisasi, orangtua juga perlu memerhatikan tahapan tumbuh kembang si kecil dan memberikan stimulasi yang tepat.

Dalam periode tumbuh kembang, menurut Metode Montessori si kecil akan mengalami beberapa periode sensitif. Ini merupakan suatu masa di mana si kecil tidak butuh usaha keras/waktu lama untuk menguasai sesuatu.

Setidaknya ada enam aspek periode senstif yang dilalui anak, yakni:

  1. Periode sensitif keteraturan. Biasanya periode sensitif ini dialami pada usia 2 tahun. Maka, orangtua perlu membantu anak untuk menghadapi keteraturan, misalnya dengan menciptakan rutinitas yang jelas.
  2. Periode senstif bahasa. Ditunjukkan dengan si kecil sangat aktif bicara, bubbling (ngoceh) atau menyanyi, walau tidak jelas kalimat yang diucapkannya. Kenalkan dengan lagu-lagu sederhana.
  3. Periode sensitif gerak. Bila anak lebih aktif secara fisik. “Ajari ia bermain gerak seperti hewan, main estafet bola dengan mengelompokkan sesuai warna atau bermain petak umpet di dalam rumah,” terang Pritta.
  4. Periode sensitif sensorial. Si kecil mungkin mulai senang memegang benda-benda yang lengket atau basah. Stimulasi yang bisa diberikan, misalnya dengan memberikan pasir kinetik, mengecat dengan cat air atau dengan bermain playdough.
  5. Periode sensitif pada benda-benda kecil. Masa ini ditandai dengan rasa ingin tahu anak terhadap benda-benda kecil, menyentuh dan merasakan benda-benda yang ia temukan di sekitarnya. Orangtua sebaiknya berhati-hati dengan menyimpan benda-benda yang berpotensi bahaya. Sebaliknya, sediakan media / mainan yang sesuai ukurannya.
  6. Periode sensitif bersosialisasi. Mulai usia 2 tahun ke atas anak-anak akan mulai menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya. Kebutuhan bersosialisasi anak juga cenderung tinggi. “Berikan ia mainan seperti hand puppet. Berikan kesempatan ia mengkreasi cerita. Bisa untuk mengajar cara sikat gigi, bahkan toiled training. Saat memakai hand puppet tatap mata si kecil, duduk sejajar dengan anak, beri kesempatan ia untuk bercerita, selipkan materi pembelajaran sesuai umurnya,” terang Pritta. (jie)