7 Film Ghibli yang Mengajarkan Feminisme pada Anak
totoro_mengajarkan_feminisme_ghibli

7 Film Ghibli yang Mengajarkan Feminisme pada Anak

Film-film Studio Ghibli umumnya menampilkan karakter perempuan yang kuat dan pemberani. Ini bisa menjadi cara yang menyenangkan untuk mengajarkan feminisme pada anak sedari kecil. Feminisme bukanlah menguasai atau mengalahkan laki-laki, melainkan menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Pada dasarnya, semua orang seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama, tanpa memandang gender.

Berikut ini 7 dari sekian banyak film Studio Ghibli yang mengajarkan feminisme. Usai menonton, Ayah dan Ibu bisa membuka pembicaraan soal feminisme, dan mengapa nilai-nilai feminisme penting bagi kita.

1. Tonari no Totoro

Siapa yang tidak kenal film legendaris ini. Film yang diproduksi pada 1988 ini bercerita tentang dua orang kakak beradik perempuan (Satsuki dan Mei) yang baru pindah ke rumah baru di tengah hutan bersama ayah mereka, sementara ibu sedang dirawat di RS. Di rumah baru ini, Satsuki dan Mei bersahabat dengan roh penjaga hutan, Totoro. Sikap ayah, ibu, dan nenek penjaga yang tidak pernah meremehkan anak kecil, menghadapi masalah dengan cara jenaka, serta mengajak anak-anaknya untuk membantu pekerjaan rumah tangga dengan cara yang menyenangkan, membuat Satsuki dan Mei menjadi pemberani, mandiri, dan pantang menyerah.

2. Kiki’s Delivery Service

Di dunia Kiki, gadis penyihir harus meninggalkan rumah di usia 13 tahun untuk memulai hidup baru secara mandiri. Bersama kucing hitamnya Jiji, ia tiba di Koriko, sebuah kota modern dan sibuk di tepi laut. Bermodalkan sapu terbangnya, Kiki membuka jasa pelayanan untuk mengantar barang, Kiki’s Delivery Service. Petualangan demi petualangan dialami Kiki. Namun kekecewan yang dialaminya nyaris menghilangkan kemampuan sihir Kiki. Ia tidak bisa berkomunikasi dengan Jiji, bahkan tidak bisa lagi terbang dengan sapunya. Sahabat-sahabat membantu Kiki menjadi lebih kuat. Keberanian, dan keyakinannya akan kekuatan sihirnya pun kembali saat ia bertekad menolong sahabatnya yang sedang dalam bahaya. Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Eiko Kadono.

Mononoke Hime (Princess Mononoke)

3. Mononoke Hime

Film ini menampilkan dua karakter perempuan yang sangat kuat. Di satu sisi ada San (Putri Mononoke) sang penjaga hutan, di sisi lain ada Eboshi, pemimpin Desa Besi. San mewakili kelompok pecinta lingkungan, sedangkan Eboshi mewakili modernis. Keduanya bermusuhan, dan masing-masing memiliki kebaikan serta sisi gelapnya sendiri. Eboshi yang tampak sebagai tokoh antagonis karena merusak hutan, ternyata begitu peduli pada penderita kusta yang pada masa itu dibuang dari masyarakat. Baik San maupun Eboshi menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin yang dihormati. Tanpa rasa takut, mereka memperjuangkan prinsip hidup mereka. Film yang meraih berbagai penghargaan bergengsi ini sangat layak direkomendasikan untuk mengajarkan feminisme pada anak.

4. Spirited Away (Sen to Chihiro no Kamikakushi)

Tersesat ke dunia para dewa, menyaksikan kedua orang tuanya berubah menjadi babi, dan melihat tubuhnya sendiri hampir menghilang. Lalu menghadapi Yubaba, penyihir berwajah seram pemilik rumah mandi. Petualangan menakutkan yang sangat bisa meruntuhkan semangat hidup. Namun tidak bagi Chihiro. Gadis berusia 10 tahun ini menjalaninya dengan tabah, kuat dan berani. Ia bertekad membebaskan orang tuanya dari kutukan babi, dan kembali ke dunia manusia bersama mereka. Persahabatannya dengan Rin, Kamaji, Haku sang siluman naga, dan Kaonashi yang awalnya muncul sebagai sosok yang mengerikan, memunculkan sisi terbaik Chihiro.

5. Howl’s Moving Castle

Dikutuk menjadi nenek tua tidak membuat Sophie patah arang dan frustasi. Justru ia merasa nyaman dengan penampilannya ini. Sosok nenek pada tubuhnya membuat Sophie merasa lebih bijak, dan tidak lagi berkecil hati lantaran ia tidak secantik kakaknya. Howl yang tampan dan flamboyan tidak membuatnya baper; malah Sophie makin kuat, berani, dan tegas. Kisah cintanya dengan Howl tumbuh seiring tekad mereka untuk saling menjaga. Mengajarkan feminisme pada anak bisa sangat menyenangkan kan.

Ponyo, si gadis ikan pemberani yang menggemaskan

6. Ponyo

Nama asli Ponyo adalah Brunhilde, seekor anak ikan di laut. Saat terjebak di pantai, seorang anak laki-laki bernama Sosuke menyelamatkannya. Jari Sosuke terluka saat melakukan ini, lalu Ponyo menjilat luka itu dan darah yang keluar seketika berhenti. Darah Sosuke memberi kekuatan magis bagi Ponyo sehingga ia mampu mengubah dirinya menjadi seorang gadis kecil seumur Sosuke. Ayah Ponyo yang dulunya adalah manusia, melarang Ponyo berhubungan dengan Sosuke, lalu mengembalikan Ponyo menjadi ikan dan mengurungnya. Tekad Ponyo begitu besar untuk kembali bersama Sosuke, hingga akhirnya ayah dan ibu Ponyo merelakan pilihannya.

7. Arrietty The Borrower

Di kolong rumah, hiduplah Arrietty bersama ayah dan ibunya. Mereka adalah manusia mini, yang di malam hari mengendap-endap ke rumah manusia untuk “meminjam” barang-barang yang tidak akan disadari kalau hilang. Arrietty begitu bersemangat ketika tiba saatnya ia diperbolehkan ikut ayah untuk “meminjam”. Namun ia gagal melaksanakan tugasnya karena Sho, anak lelaki yang baru pindah ke rumah itu, melihatnya. Manusia mini menyembunyikan diri mereka dari pandangan manusia, karena mereka takut keselamatan mereka akan terancam. Pengurus rumah mengetahui keberadaan keluarga Arrietty, lalu menyekap ibu Arrietty dalam toples. Arrietty yang akhirnya bersahabat dengan Sho, bekerja sama dengan anak lelaki itu untuk membebaskan ibunya. Tanpa rasa takut dan pantang menyerah, meski bahaya mengancam. (nid)