Karena luka setitik, tumbuh keloid sekepalan. Pada bekas luka, tumbuh jaringan/luka parut yang terus menebal dan ukurannya melebihi luka aslinya. Inilah keloid, mimpi buruk bagi kaum Hawa khususnya. Menurut dr. Rachel Djuanda, Sp.KK dari RSU Bunda, Jakarta, keloid termasuk tumor jinak yang cukup sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Menurut AOCD (American Osteophatic College of Dermatology), diperkirakan 10% orang di dunia mengalami keloid. Keloid bisa berwarna daging, pink, merah atau coklat.
“Munculnya keloid harus ada bakat (faktor genetik), diawali dengan trauma atau luka,” terang dr. Rachel. Luka yang bisa memicu keloid yakni luka yang dalam dan kotor. Tanda bahwa luka dalam yakni berdarah. “Kalau hanya baret atau tergores biasanya tidak berdarah,” imbuhnya. Luka bakar yang dalam juga bisa memicu keloid. Adapun bakat keloid biasanya bersifat keturunan.
Lelaki dan perempuan sama berisiko mengalami keloid; tidak ada pengaruh jenis kelamin. “Hanya saja, perempuan lebih banyak risikonya. Misalnya operasi Caesar dan telinga yang ditindik,” ujar dr. Rachel. Orang yang berkulit berwarna memiliki risiko lebih tinggi. Misalnya ras Afrika, Latino dan Asia. Ras Kaukasian lebih jarang mengalami keloid.
Untuk usia, keloid paling sering di usia 10-30 tahun. Pada rentang usia ini, umumnya orang lebih sering mengalami trauma. Kulit pun relatif lebih tegang dan sintesis kolagen lebih besar. Kulit yang tegang bisa menghambat penyembuhan luka. Bagian tubuh tertentu lebih rentan terhadap keloid, karena tekstur kulit cenderung tegang. Misalnya punggung, dada, lengan dan daun telinga. Wajah relatif jarang, meski ada juga yang mengalaminya.
Penyembuhan tidak sempurna
Saat terjadi luka, tubuh akan melakukan perbaikan kulit yang rusak. Lapisan kulit bagian atas (epidermis) dan lapisan di bawahnya (dermis), membentuk barrier yang melindungi tubuh dari lingkungan luar. Saat kulit terluka dan barier ini rusak, terjadilah serangkaian proses untuk memperbaiki. Proses ini terdiri atas empat fase: pembentukan bekuan darah (hemostasis), peradangan (inflamasi), pertumbuhan jaringan (proliferasi) dan remodeling jaringan (maturasi). Luka dinyatakan benar-benar sembuh bila fase maturasi sudah selesai. Ini berarti luka sudah ‘matang’; proses penyembuhan telah selesai sepenuhnya.
Selama proses ini, terdapat kesimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen. Bila sintesis lebih besar daripada degradasinya, akan terjadi penumpukan jaringan kolagen yang berlebihan. Menurut penelitian Prof. Dr. dr. David S. Perdanakusuma, Sp.BP(K) dari Universitas Airlangga, Surabaya, melanin (sel pigmen kulit) turut berperan dalam akumulasi kolagen dengan menurunkan pH (derajat keasaman), yang selanjutnya mengganggu proses degradasi kolagen. Karenanya, keloid lebih banyak dialami ras kulit berwarna dan tidak pernah terjadi pada Albino.
Proses penyembuhan luka juga berpengaruh. “Ada riwayat luka yang sembuhnya tidak sempurna,” ujar dr. Rachel. Luka yang sembuh sendiri tanpa dirawat, lebih berisiko mengalami keloid ketimbang luka yang dirawat dengan baik. Bila luka kotor/terinfeksi, proses penyembuhan akan terhambat. Ini meningkatkan potensi terjadinya keloid.
Bila disimpulkan, keloid melibatkan tiga unsur. Yakni penyembuhan luka, pembentukan kolagen, dan melibatkan kulit normal di sekitar bekas luka.
Tak sekadar masalah estetik
Secara estetik, keloid sangat mengganggu bahkan bisa menurunkan rasa percaya diri (PD). Tetapi, masalah yang dihadapi penderita bukan hanya itu. Memang keloid jarang membahayakan secara langsung. Tidak pula mematikan dan tidak menular, tapi sangat mengganggu dan bisa memicu kondisi lain yang lebih serius.
Keloid kerap menimbulkan rasa gatal dan nyeri, yang membuat orang ingin terus menggaruk dan menggosok. “Ada pasien yang keloidnya sampai seluruh tubuh, karena bekas jerawatnya terus tumbuh menjadi keloid. Bayangkan, seluruh tubuh gatal semua. Sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup,” tutur dr. Rachel. Belum lagi bila keloid terinfeksi; bisa muncul bisul atau borok.
Garukan juga menciptakan trauma pada keloid. Sementara, trauma sendiri merupakan salah satu faktor risiko yang bisa memicu tumor jinak seperti keloid menjadi kanker. Keloid bisa teriritasi akibat gesekan, misalnya gesekan dengan pakaian. Ini bisa membuatnya terluka, dan gesekan akan merangsang pertumbuhan keloid lebih hebat lagi. Keloid menjadi makin tebal dan besar. Bila keloid muncul di daerah persendian, bisa mengurangi fungsi sendi dan menghambat pergerakan.
Keloid yang terpapar sinar matahari akan menjadi lebih gelap daripada kulit di sekitarnya, dan hal ini bersifat permanen. Selain itu, paparan sinar matahari juga meningkatkan risiko terjadinya kanker kulit.
Luka Hipertrofi
Tidak semua bekas luka adalah keloid. Ada bekas luka hipertrofi (hypertrophy scar). Keloid adalah jaringan parut bekas penyembuhan luka, yang menjadi tebal dan lebih lebar dari luka aslinya, sampai menjarah kulit normal di sekitarnya.
“Pada luka hipertrofi, misalnya luka bekas operasi lurus, hanya timbul di garis itu saja dan tidak ada sensasi gatal atau cenat cenut,” papar dr. Rachel. Dengan kata lain, luka hipertrofi adalah bekas luka dengan jaringan parut yang lebih tebal.
Proses penyembuhan luka hipertrofi lebih cepat dibandingkan keloid. Suatu saat luka hipertrofi akan benar-benar sembuh dan berhenti tumbuh. Sedangkan keloid, prosesnya tidak pernah selesai. Biasanya terasa gatal dan nyeri ringan dalam waktu lama. (nid)
Bersambung ke: Pilihan Terapi Keloid