Hipertensi Paru: Faktor Risiko hingga Pengobatannya
hipertensi_paru

Hipertensi Paru: Faktor Risiko hingga Tantangan Pengobatannya

Hipertensi sudah sangat familiar di telinga kita. Namun kalau hipertensi paru, belum banyak yang kenal. Apakah faktor risiko hipertensi paru sama dengan faktor risiko hipertensi? Ternyata sangat berbeda.

Siapa saja yang berisiko terhadap hipertensi paru? “Paling sering perempuan. Terutama yang memiliki penyakit jantung bawaan. Atau yang memiliki penyakit autoimun, mulai dari scleroderma, atau lupus,” terang Wakil Ketua Hipertensi Paru Indonesia (INA-PH), dr. Hary Sakti Muliawan, Ph.D., Sp.JP, Subsp.P.R.Kv(K) dalam diskusi media Peringatan Bulan Kesadaran Hipertensi Paru di Jakarta 27/11/2025). Mereka yang memiliki gangguan paru seperti asma dan TB, juga berisiko mengalami hipertensi paru.

Kelompok lain yang juga berisiko yaitu ibu hamil. Saat hamil, terjadi peningkatan volume darah, yang membuat jantung bekerja lebih keras. Selain itu, saat hamil juga terjadi penggumpalan darah scara alami, untuk mencegah perdarahan pasca persalinan. Kondisi-kondisi ini turut meningkatkan risiko terjadinya hipertensi paru.

“Jadi kalau ada orang-orang yang dengan penyakit jantung bawaan, lupus, penyakit paru, sedang hamil, atau habis melahirkan tiba-tiba merasa lebih sesak daripada biasanya, atau bengkak, lebih baik segera periksa,” tegas dr. Hary. Dikhawatirkan, sesak dan bengkak itu gejala hipertensi paru. Lebih baik waspada, daripada terlambat karena mengabaikannya.

Pemeriksaan dan Diagnosis

Hipertensi paru sering salah didiagnosis karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. Tak hanya masyarakat umum kalangan medis pun masih banyak yang belum terlalu sadar dengan penyakit ini. Tak ayal, penyakit terlambat didiagnosis sehingga sudah cukup berat.

Terlebih, mengukur tensi paru tidak semudah mengukur tensi sistemik di lengan. “Pemeriksaan utama dengan kateter. Jadi dimasukkan kateter ke jantung kanan, dan tekanan langsung diukur. Normalnya di bawah 20,” papar dr. Hary.

Baca juga: Batuk Berdarah Belum Tentu TB, mungkin Hipertensi Paru

Untuk skrining awal, bisa dilakukan pemeriksaan USG jantung, bila ada keluhan yang mengarah ke kecurigaan hipertensi paru. USG jantung untuk melihat apakah ada pembengkakan pada jantung kanan.

Menurut dr. Hary, edukasi publik dan peningkatan kapasitas tenaga medis perlu diperkuat agar diagnosis dapat dilakukan lebih dini dan akurat. “Keterlambatan diagnosis ini sering membuat pasien kehilangan waktu berharga untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga kondisi mereka sudah memburuk saat akhirnya terdeteksi,” tuturnya.

Diskusi media Peringatan Bulan Kesadaran Hipertensi Paru di Jakarta / Foto: Foto: R&R Public Relations

Tantangan Pengobatan Hipertensi Paru

Pengobatan harus segera dilakukan setelah diagnosis hipertensi paru ditegakkan. Dijelaskan oleh dr. Hary, kondisi risiko penyandang hipertensi paru dibagi menjadi tiga: ringan (hijau), sedang (kuning), dan berat (merah). “Bila kita lakukan pengobatan dengan baik, pasien yang di level merah bisa kembali ke hijau lagi,” ujarnya. Pada kelompok hijau, angka kesintasan 5 tahun sangat baik.

Berdasarkan rekomendasi, penyandang hipertensi paru seharusnya langsung mendapat dua obat di awal, meksipun kondisinya masih kelompok hijau. “Hipertensi paru itu penyakit yang progesif, sehingga pengobatannya harus agresif. Namun kenyataannya, umumnya pasien dengan penyakit yang ringan hingga sedang-berat, hanya mendapat satu obat. “Di Indonesia, 90% pasien sampai kondisinya berat pun, tetap satu obat,” ucap dr. Hary.

Terbatasnya akses terhadap obat-obatan spesifik, masih jadi salah satu tantangan dalam pengobatan hipertensi paru. “Dari 15 jenis obat Hipertensi Paru yang telah disetujui di dunia, baru ada 5 jenis yang tersedia di Indonesia, dan hanya 2 jenis yang tercakup dalam sistem jaminan kesehatan nasional,” ungkap Arni Rismayanti, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI).

Ia sangat berharap agar semua pihak, termasuk pemerintah, bisa membuka jalan bagi akses pengobatan yang lebih luas dan setara bagi seluruh pasien hipertensi paru. “Ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang kesempatan hidup, karena setiap napas yang diperjuangkan adalah hak untuk hidup, bukan sekadar bertahan,” tegasnya.

Managing Director MSD Indonesia, George Stylianou mengungkapkan hal senada. “Peringatan Bulan Kesadaran Hipertensi Paru mengingatkan kita semua bahwa masih banyak pasien yang setiap hari berjuang untuk sekedar bernapas,” ujarnya.

Ia juga menegaskan komitmen MSD untuk terus mendukung Yayasan Hipertensi Paru Indonesia dan para pasien. “Tidak seorang pun yang seharusnya menghadapi perjuangan ini sendirian. Perlu upaya bersama upaya meningkatkan kualitas dan harapan hidup, sekaligus mendorong edukasi berkelanjutan agar semakin banyak orang memahami dan peduli terhadap penyakit ini,” ucapnya.

Hal ini diamini oleh dr. Hary. Ia menegaskan, edukasi publik dan peningkatan kapasitas tenaga medis perlu diperkuat agar diagnosis hipertensi paru bisa dilakukan lebih dini dan akurat. “Keterlambatan diagnosis ini sering membuat pasien kehilangan waktu berharga untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga kondisi mereka sudah memburuk saat akhirnya terdeteksi,” pungkasnya. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by pressfoto on Freepik