Kematian akibat dengue paling banyak terjadi pada anak, khususnya usia 0-14 tahun. Ini karena daya tahan tubuh pada anak lebih rendah dibandingkan dewasa, sehingga lebih berisiko mengalami gejala dengue berat yang bisa berujung pada kematian.
“Kalau anak demam dan tidak ada batuk pilek, langsung curiga dengue. Sekitar 30% demam pada anak disebabkan oleh dengue,” papar Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Terlebih bila disertai gejala lain seperti sakit kepala, sakit di belakang mata, mual, muntah, nyeri tulang, nyeri otot.
Sulitnya pada anak-anak, terutama yang masih kecil, mereka tidak bisa mengungkapkan keluhan yang mereka rasakan. “Jadi kuncinya kalau demam tidak turun dalam tiga hari, segera bawa berobat untuk diperiksa di lab apakah ada virus dengue,” tandas Prof. Sri di Jakarta dalam acara peresmian Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025).
Tak ayal, vaksinasi dengue digalakkan untuk kelompok usia anak. Indonesia mendapat hibah sebanyak 30.000 vaksin dengue dari PT Takeda Innovative Medicine. Pemberian vaksinasi tersebut dilaksanakan melalui kolaborasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dinas Kesehatan DKI Jakarta, serta akademisi dan pemerintah daerah. Ini merupakan salah satu upaya kolaboratif untuk menekan kematian akibat dengue di Indonesia.
Dalam program vaksinasi tersebut, akan dibagikan 20.000 dosis vaksin dengue kepada murid kelas 3 dan 4 SD di tiga kota di Indonesia. Sebanyak 10.000 diberikan di Jakarta Selatan, dan masing-masing 5.000 di Palembang dan Banjarmasin. Vaksin akan diberikan dalam dua dosis (dua kali suntikan) dalam rentang tiga bulan. Vaksin yang digunakan vaksin dengue kuadrivalen, yang memberikan proteksi terhadap keempat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4).
"Programnya akan dimulai Oktober 2025, jadi di bulan Desember mereka akan dapat suntikan kedua. Kalau bisa memang jangan lebih dari tiga bulan karena di awal tahun angka infeksi dengue mulai naik," terang Prof. Sri, yang juga Ketua Program Vaksinasi Nasional.
DKI Jakarta sebagai provinsi dengan mobilitas penduduk yang tinggi membutuhkan strategi berlapis agar perlindungan terhadap masyarakat dapat lebih diperkuat. Wilayah Jakarta Selatan dipilih karena menyumbang kasus dengue terbanyak di wilayah DKI Jakarta. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di sembilan puskesmas dan 106 sekolah di Jakarta Selatan.
Memantau Keberhasilan Vaksinasi
Diharapkan, bila vaksinasi sudah selesai dilakukan sebelum musim puncak dengue, akan terlihat apakah vaksinasi mampu memberikan perlindungan yang diharapkan terhadap dengue. Selanjutnya, anak-anak akan dipantau selama tiga tahun untuk melihat seberapa efektif vaksin dengue mencegah penyakit maupun kematian akibat dengue.
Bagaimana bila ada anak yang tidak mau divaksin? “Tidak apa-apa. Mereka akan menjadi kelompok kontrol. Jadi di Jakarta, total ada 15.000 anak yang akan dipantau selama tiga tahun. Sebanyak 10.000 yang mendapat vaksin, dan 5.000 sebagai kontrol yang tidak divaksin,” paparnya. Total, ada 30.000 anak di 3 daerah yang akan dipantau, dengan rincian:
- 15.000 anak di Jakarta Selatan (10.000 divaksin, 5.000 sebagai kontrol)
- 7.500 anak di Palembang (5.000 divaksin, 2.500 sebagai kontrol)
- 7.500 anak di Banjarmasin (5.000 divaksin, 2.500 sebagai kontrol)
Selama pemantauan tiga tahun, anak-anak penerima vaksin akan diikuti dan dilihat apakah mereka terlindungi dari risiko sakit dengue. “Kalau tidak sakit (dengue), berarti vaksin ini bermanfaat besar untuk mencegah kasus berat bahkan kematian,” ujar dr. Nina Dwi Putri Sp.A, koordinator program vaksinasi wilayah Jakarta di acara yang sama.
Kita berharap, program vaksinasi efektif menekan kasus dengue dan kematian akibat dengue. Meski sudah berbagai cara diupayakan, angka kejadian dengue masih saja tinggi di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI mencatat, sampai dengan 22 September 2025, terdapat 115.138 kasus dengue secara nasional dengan 479 kematian. Dari jumlah tersebut, 57% terjadi di Pulau Jawa, yang menunjukkan tingginya konsentrasi beban penyakit di wilayah dengan populasi padat. (nid)