Terapi Kanker Paru Terkini: Terapi Target dan Inovasi Operasi ala Jepang
terapi_kanker_paru

Terapi Kanker Paru Terkini: Terapi Target dan Inovasi Operasi ala Jepang

Kanker paru merupakan penyebab kematian nomor satu akibat kanker pada laki-laki di Indonesia, dan peringkat 6 kanker pada perempuan. Secara keseluruhan, kanker paru berada di peringkat ketiga terbanyak di Indonesia untuk kedua jenis kelamin. Gawatnya lagi, 90% kasus kanker paru di Indonesia terdiagnosis saat sudah berada di stadium 4, yaitu saat sel kanker sudah menyebar luas. Ini membuat pengobatan menjadi lebih kompleks, lebih lama, dan lebih mahal.

Dijelaskan oleh dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, Sp.P (K), dokter spesialis paru Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals, ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kanker paru di Indonesia. Salah satunya adalah tingginya prevalensi merokok, terutama pada laki-laki. "Sekitar 67 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif. Tapi yang tak kalah berisiko adalah perokok pasif. Risiko terkena kanker paru pada perokok pasif meningkat empat kali lipat dibandingkan yang tidak terpapar asap rokok," terangnya.

Penggunaan rokok elektrik atau vape juga patut diwaspadai. Banyak yang menganggapnya aman karena tidak menghasilkan asap seperti rokok biasa. Namun faktanya, vape mengandung nikotin dan bahan kimia lain yang berbahaya.

“Efek sampingnya mungkin belum terlihat sekarang, tapi akan muncul 10–15 tahun ke depan,” imbuh dr. Sita. Polusi udara dan paparan bahan kimia berbahaya juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Terlebih lagi, banyak orang terpapar dalam waktu lama tanpa menyadari dampaknya.

Terapi Kanker Paru Terkini

Kita bersyukur, terapi kanker paru telah berkembang, dengan ditemukannya obat-obatan yang lebih canggih. Ini menjadikan angka kesintasan atau usia harapan hidup pasien kanker paru bisa lebih panjang. Pada 2003, hanya ada pilihan kemoterapi setelah diketahui jenis sel kanker paru. Saat itu usia harapan hidup hanya 7-9 bulan.

Pada 2006, ditemukan terapi target setelah ditemukan mutasi gen pada sel-sel kanker paru dan menambah usia harapan hidup pasien menjadi 36-49 bulan. “Dan sejak 10 tahun lalu sudah ditemukan imunoterapi yang membuat median rate survival dalam 5 tahun meningkat sampai 40%,” ujar dr. Sita, dalam salah satu simposium ilmiah di Siloam Oncology Summit ke- di Jakarta, Minggu (18/5/2025).

Selain imunoterapi, obat terapi target juga menunjukkan hasil yan sangat baik untuk kanker paru. Terapi target seperti osimertinib adalah terapi yang lebih tepat sasaran, yang menargetkan mutase pada reseptor EFGR. “Obat ini diberikan pada pasien kanker paru bukan sel kecil (NSCLC) yang memiliki mutasi gen EFGR (Epidermal Growth Factor Receptor) pada sel-sel tumornya,” jelas dr. Sita.

Pengobatan dengan terapi ini membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan terapi dengan obat generasi pertama dan kedua, yakni 18 bulan. Namun demikian, efek samping seperti diare dan kelelahan lebih dapat ditoleransi oleh pasien. Obat ini sudah tersedia di Indonesia, tapi belum ditanggung oleh BPJS.

Inovasi dari Jepang: Mengurangi Operasi Besar

Jepang berhasil menerapkan pendekatan baru dalam pengobatan kanker paru stadium awal, yang lebih minimal risiko tetapi efektif. Salah satunya dengan mengganti operasi besar (lobektomi) menjadi operasi yang lebih kecil, yakni sub-lobar resection.

Prof. Shun-ichi Watanabe, Presiden Japanese Association for Chest Surgery, mengungkapkan bahwa pendekatan ini telah diuji dalam studi berskala nasional JCOG0802. Penelitian tersebut membandingkan efektivitas lobektomi dengan sub-lobar resection pada pasien kanker paru stadium IA.

“Operasi sub-lobar, baik segmentektomi maupun wedge resection, ternyata menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding lobektomi dalam hal kelangsungan hidup pasien,” kata Prof. Watanabe. Menurutnya, sub-lobar resection kini menjadi pilihan utama untuk pasien dengan kanker paru stadium awal yang tumornya berukuran 2 cm atau kurang. Selain hasil yang efektif, pendekatan ini juga lebih menguntungkan pasien dari sisi pemulihan dan kualitas hidup pasca operasi.

Dulu, diyakini bahwa lobektomi adalah satu-satunya pilihan terbaik. “Tapi data terbaru menunjukkan kita bisa memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih baik dengan pembedahan yang lebih konservatif,” tegas Prof. Watanabe.

Studi JCOG0802 yang berlangsung selama lebih dari 10 tahun ini melibatkan 1.106 pasien. Hasilnya, angka harapan hidup lima tahun pasien yang menjalani sub-lobar resection mencapai 94,3%, lebih tinggi dari lobektomi yang berkisar 91,1%. Penurunan komplikasi juga menjadi alasan pendekatan ini makin dilirik. Pasien lebih cepat pulih dan memiliki fungsi paru yang lebih baik setelah operasi sub-lobar.

Inovasi ini menjadi tonggak penting dalam manajemen kanker paru di Jepang dan menjadi rujukan bagi negara lain yang ingin mengadopsi pendekatan serupa. Hal ini juga membuka peluang bahwa operasi besar bukan lagi satu-satunya jalan dalam pengobatan kanker paru stadium awal. Dengan pendekatan yang lebih personal dan minimal invasif, pengobatan dan terapi kanker paru kini lebih ramah pasien tanpa mengorbankan efektivitas. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by freepik