Retinopati Diabetik sering Tidak Bergejala, Ini Pentingnya Deteksi Dini
retinopati_diabetik

Retinopati Diabetik sering Tidak Bergejala, Ini Pentingnya Deteksi Dini

Kadar gula darah yang tidak terkontrol pada penyandang diabetes bisa menimbulkan komplikasi berupa gangguan penglihatan, yang disebut retinopati diabetika (RD). Sebabnya, kadar gula yang terus menerus tinggi di dalam darah merusak pembuluh darah retina. Akibatnya, mulai muncul bintik hitam melayang atau penglihatan samar. Kondisi ini bisa dialami oleh penyandang diabetes tipe 1 maupun 2.

RD merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling sering dijumpai, dan menjadi penyebab gangguan penglihatan utama di dunia. Di Indonesia, RD saat ini menjadi masalah kesehatan mata prioritas karena menimbulkan berbagai beban. “Tak hanya beban penyakit, tapi juga beban sosial dan pembiayaan. Terlebih dengan semakin meningkatnya jumlah penyandang diabetes,” ungkap Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K), M.Epi, Ph.D, dalam wawancara secara daring (10/10/2024).

Penelitian oleh Prof. Bayu, dkk menemukan, peningkatan kasus RD diperkirakan akan mencapai 5 juta orang pada 2025. Bila tidak ditangani, penyakit ini tentu akan menjadi beban bagi sistem kesehatan akibat kebutaan dan hilangnya produktivitas. Diperkirakan, beban pembiayaan total akibat RD akan meningkat jadi Rp 138 triliun pada 2025, dari sebelumnya Rp 38 triliun atau 2% dari total biaya kesehatan di 2017.

RD Tidak Bergejala – Perlu Upaya Deteksi Dini

Pada tahap awal, retinopati diabetik biasanya tidak menunjukkan gejala apapun. “Pandangan dan penglihatan masih bagus, tapi sebenarnya sudah ada retinopati. Kalau sudah tahap berat, penglihatan bisa turun mendadak,” jelas Prof. Bayu.

Guru Besar dan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) tersebut menekankan perlunya skrining dan deteksi dini agar RD bisa cepat ditemukan, meski tanpa gejala. “Yang perlu dilakukan adalah deteksi dini dan tatalaksana dini, sehingga walaupun kasusnya bertambah, tapi jumlah kasus yang ringan lebih banyak sehingga tatalaksananya lebih murah,” tegasnya.

Ia melanjutkan, bila pengobatan dilakukan di awal, biayanya masih murah dan hasilnya cukup efektif. “Namun kalau retinopati sudah telanjur berat, pengobatannya mahal, berulang, bahkan bisa seumur hidup. Itu yang membuat beban pembiayaan jadi mahal,” imbuhnya.

Prof. Bayu mengingatkan agar penyandang diabetes melakukan pemeriksaan mata rutin setidaknya satu kali dalam setahun, meskipun tidak merasakan keluhan apapun pada mata. Ia sangat menyayangkan, sering kali pasien datang terlambat, karena tidak ada gejala di awal.

Peta Jalan sebagai Strategi Menanggulangi Retinopati Diabetik

Pada Hari Penglihatan Sedunia 2024 yang diperingati 10 Oktober, Kementrian Kesehatan bersama pemangku kepentingan meluncurkan Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan 2025-2030. Peta jalan tersebut merupakan revisi dari versi sebelumnya, dan akan menjadi panduan bagi upaya penanganan masalah kesehatan mata di Indonesia, dengan salah satu fokus utama adalah retinopati diabetika (RD).

Prof. Bayu menjelaskan, peta jalan yang baru ini fokus pada penemuan awal melalui deteksi dini, sehingga retinopati bisa diobati di awal. Ini tidak mudah karena akan membutuhkan kolaborasi pentaheliks dengan berbagai pihak. “Oleh karena itu, suatu bentuk konsorsium yang mempertemukan berbagai elemen mulai dari para ahli, pemangku kebijakan pusat dan daerah, peneliti, pelaksana sektor kesehatan publik dan swasta, serta masyarakat,” tuturnya.

Konsorsium kesehatan mata diabetes ini akan merupakan suatu inisiatif dan juga bentuk komitmen untuk mengintegrasikan kegiatan promotif, preventif, skrining, deteksi dini, dan tatalaksana penyakit mata diabetes ke dalam strategi kesehatan nasional yang ditujukan untuk menurunkan beban gangguan penglihatan akibat diabetes yang terus meningkat di Indonesia.

Deteksi dini menjadi kunci untuk menekan beban akibat retinopati diabetik. “Perlu ada konsorsium yang peduli dan bisa mulai bergerak, baik dari atas bawah maupun dari bawah ke atas. Tidak bisa hanya mengandalkan komando, tapi kita harus ikut bergerak, baik praktisi maupun masyarakat sendiri,” pungkas Prof. Bayu. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: https://www.freepik.com/free-photo/man-having-eye-sight-check-ophthalmol...