Pemerintah berkomitmen untuk mengeliminasi hepatitis C pada 2030. Ini sangat mungkin terjadi, mengingat kini telah tersedia obat DAA (Direct-Acting Antivirus) yang efektif membasmi virus hepatitis C. Namun jangan lengah, risiko hepatitis C pada pasien hemodialisis masih cukup tinggi.
Memperingati Hari Hepatitis Sedunia pada 28 Juli, alangkah baiknya kita meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemahaman yang tepat soal hepatitis, deteksi dini, serta akses pengobatan yang optimal. “Akses terhadap pengobatan yang optimal dan deteksi dini, berperan besar dalam menurunkan angka hepatitis C dan risiko penularannya,” tutur George Stylianou, Managing Director Merck Sharp & Dohme (MSD) Indonesia.
Hepatitis adalah penyakit peradangan hati. Bisa disebabkan oleh virus, alkohol, hingga obat-obatan tertentu. Penyebab terbanyak yakni infeksi virus hepatitis, khususnya hepatitis A, B, dan C. Hepatitis yang disebabkan oleh virus perlu diwaspadai karena bisa menular.
Hepatitis A sangat jarang menimbulkan kematian. Adapun hepatitis B berbahaya dan bisa menimbulkan kematian, tapi sudah bisa dicegah dengan vaksinasi. Hepatitis C masih menjadi sorotan karena sama berbahaya dengan hepatitis B, dan belum ada vaksinnya.
Hepatitis C pada Pasien Hemodialisis
Hepatitis C utamanya ditularkan melalui darah. Misalnya melalui jarum suntik yang digunakan bergantian pada pengguna narkoba suntik, tato, dan tindik. Dulu, penggunaan narkoba suntik merupakan faktor risiko penularan hepatitis C nomor wahid. Namun ditengarai angkanya mulai turun. Yang kini jadi masalah adalah hemodialisis. Risiko penularan hepatitis C pada pasien hemodialisis mencapai 15,16%.
Tingginya prevalensi hepatitis C pada pasien hemodialisis disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pasien tersebut memiliki kecenderungan untuk menularkan virus hepatitis C ke pasien hemodialisis lainnya. Kedua, pasien hemodialisis dengan hepatitis C jarang mendapatkan pengobatan yang optimal.
Apalagi, jumlah pasien PGK yang membutuhkan hemodialisis terus meningkat di Indonesia. Pada 2018 saja, total anggaran dari BPJS Kesehatan untuk membiayai hemodialisis mencapai Rp 4,8 T. Bisa dibayangkan betapa banyaknya masyarakat yang membutuhkan hemodialisis. Makin banyak prosedur hemodialisis yang dilakukan, risiko penularan hepatitis C pun akan makin meningkat di antara pengguna hemodialisis.
Pengobatan Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C menemukan angin segar dengan ditemukannya obat antivirus golongan DAA (Direct-Acting Antivirus). Obat ini telah terbukti secara klinis mencapai respons kesembuhan hingga >95%.
Sayangnya, beberapa jenis DAA tidak dianjurkan pada pasien dengan filtrasi ginjal <30. Sebabnya, obat ini dibuang melalui ginjal, sehingga tidak bisa diberikan kepada mereka dengan fungsi ginjal yang jelek. Namun demikian, ada kombinasi dua jenis DAA yang aman diberikan kepada pasien hepatitis C dengan gangguan ginjal kronis. Dengan terapi ini, pengobatan hepatitis C pada pasien hemodialisis pun bisa menjadi lebih optimal.
Di samping itu, tentunya berbagai upaya pencegahan infeksi Hepatitis C bagi pasien hemodialisis juga penting dilakukan. Yaitu dengan menjalani standar prosedur pengendalian infeksi meliputi perilaku higienis, yang telah terbukti efektif mencegah penularan melalui darah dan cairan yang terkontaminasi di antara pasien. Tenaga medis juga perlu melakukan upaya disiplin dalam menjaga kebersihan tangan, keamanan injeksi, dan pembersihan lingkungan. (nid)