Bagi pekerja di kota-kota besar, lembur dianggap biasa. Terlebih sejak pandemi COVID-19, di mana sebagian kantor memberlakukan WFH atau bekerja dari rumah. Jam kerja yang menjadi tidak terbatas, menimbulkan stres serta mengganggu pola makan dan istirahat. Akhirnya, risiko penyakit yang berkaitan dengan asam lambung seperti dispepsia dan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) pun mengintai. Jangan dibiarkan karena dispepsia dan GERD mengurangi produktivitas.
Budaya kerja ekstrim (hustle culture) tampaknya sudah menjadi “standar” pekerjaan. Survei oleh The Finery Report, 83% responden menganggap kerja lembur adalah hal yang normal. Tak kurang dari 69% juga mengaku bahwa bekerja di akhir pekan merupakan aktivitas yang rutin dijalani. Bahkan, 60% di antaranya “merasa bersalah” jika tidak menambah jam kerja di luar jam kantor. Padahal, budaya ini justru bisa menurunkan produktivitas.
Dispepsia dan GERD Mengurangi Produktivitas
Beberapa penelitian di dunia menunjukkan bahwa dispepsia dan GERD mengurangi produktivitas kerja. Analisis retrospektif terkait GERD yang dilakukan di Eropa menemukan, GERD menyumbang beban yang signifikan pada pasien perawatan primer. Yaitu dalam hal ketidakhadiran kerja dan penurunan produktivitas, baik saat bekerja maupun dalam kehidupan sehari-hari. Analisis tersebut dilakukan di 134 tempat perawatan primer di enam negara Eropa (Jerman, Yunani, Norwegia, Spanyol, Swedia, dan Inggris), dengan subjek sebanyak 373.610 orang berusia 18 tahun ke atas.
Adapun penelitian di Brazil menunjukkan, dispepsia telah menyebabkan ketidakhadiran kerja pada minggu sebelumnya dan penurunan produktivitas kerja pada pekerja aktif di negara tersebut. Kedua studi tersebut menunjukkan, betapa besar pengaruh penyakit yang berkaitan dengan asam lambung terhadap produktivitas kerja.
Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan statistik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014—2018, dispepsia dan gastritis termasuk dalam 10 penyakit terbanyak baik pada rawat jalan tingkat pertama maupun rawat inap tingkat pertama.
Tren serupa juga disadari oleh tim medis internal Good Doctor. “Terdapat peningkatan kasus konsultasi dispepsia dan GERD yang cukup besar di Good Doctor. Penyakit GERD telah menjadi kasus konsultasi top kedua tertinggi, setelah kasus penyakit ISPA, selama bulan Ramadan tahun ini,” tutur dr. Adhiatma, Head of Medical Good Doctor Technology Indonesia dalam siaran pers yang diterima otcdigest.id.
Kondisi ini telah diprediksi oleh Good Doctor, sebagai penyedia telemedicine bagi banyak perusahaan di Indonesia. “Sehingga, kami telah menyiapkan ketersediaan stok obat di mitra farmasi kami dan melakukan beberapa kegiatan edukasi kesehatan kepada orang awam mengenai dispepsia dan GERD,” lanjut dr. Adhiatma.
Beda Dispepsia dengan GERD
Dispepsia adalah keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut, yang berlangsung terus menerus atau berulang, yang berpusat di perut bagian atas. Dispepsia bisa disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya luka pada lambung yang kita kenal sebagai maag, bisa juga akibat GERD.
Lalu, apa yang dimaksud dengan GERD? Melansir Medscape, GERD adalah kondisi di mana isi dan asam lambung naik (refluks) ke kerongkongan. Gejalanya yang paling khas yaitu heartburn atau dada terasa panas. GERD juga bisa menimbulkan keluhan batuk dan suara serak, karena asam lambung mengiritasi kerongkongan, yang sebenarnya tidak dikondisikan untuk bersentuhan dengan asam lambung.
Melihat fakta bahwa dispepsia dan GERD mengurangi produktivitas, ada baiknya kita tidak memaksakan diri dalam bekerja. Hentikan kebiasaan menunda makan, dan secara perlahan, tidurlah lebih awal jangan lagi begadang. Jangan sampai keinginan untuk bekerja lebih giat akhirnya malah menurunkan produktivitas kerja akibat gangguan asam lambung. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Freelancer photo created by DCStudio - www.freepik.com