Upaya mempercepat vaksinasi COVID-19 terus digenjot pemerintah. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat atau Emergency Used Authorization /EUA untuk vaksin produksi Sinopharm.
Sebagaimana diketahui vaksin COVID-19 produksi Sinopharm, China ini akan digunakan dalam program vaksinasi gotong royong.
Izin penggunaan darurat ini diterbitkan pada 21 April 2021 dengan nomor EUA 215000143A2. Vaksin ini disuntikkan dua kali dengan selang waktu 21 hari hingga 28 hari.
"Sudah diberikan EUA untuk vaksin produksi Beijing Bio Institut Biological Product, yang merupakan salah satu unit dari Sinopharm, yang merupakan anak perusahaan China National Biotech Group. Vaksin Sinopharm ini dengan platform inactivated virus atau virus yang dimatikan," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/4/2021).
Ia menambahkan, berdasarkan hasil uji klinis fase III yang dilakukan di Uni Emirat Arab, dengan subyek sekitar 42 ribu orang, vaksin Sinopharm mempunyai efikasi 78%.
Dalam uji klinis tersebut dapati imunogenositas 14 hari setelah suntikan kedua, terbentuk antibodi penetralisir 99,92% untuk dewasa, dan lansia 100%.
Tim ahli bersama ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) dan para ahli klinis telah memastikan bila dua dosis vaksin Sinopharm menunjukkan profil keamanan yang baik.
Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) yang ditimbulkan oleh vaksin Sinopharm bersifat ringan, seperti bengkak, kemerahan, sakit kepala, diare, nyeri otot, batuk dan sebagainya.
“Jadi dari aspek keamanan adalah baik kategorinya, dapat ditoleransi dengan baik,” imbuh Penny.
Efikasi disebut kurang tinggi
Beberapa waktu lalu Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China Gao Fu mengatakan efikasi vaksin COVID-19 produksi China kurang tinggi, jika dibandingkan vaksin yang dikembangkan dengan teknologi baru mRNA untuk memicu respons imun.
Vaksin CoronaVac produksi Sinovac pada uji klinis fase III di Indonesia memiliki efikasi 65,3% (uji klinis di Brazil mencatat efikasi vaksin 78%), sementara vaksin Sinopharm 78%. Berbeda dengan vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna dengan rerata efikasi 97% dan 94%.
Dilansir dari New York Times, distributor vaksin Sinopharm di Uni Emirad Arab mulai menawarkan vaksinasi dosis ketiga pada sedikit orang yang antibodinya tidak cukup terbentuk setelah pemberian dua dosis vaksin.
G42 Healthcare (distributor) menemukan, “pada beberapa orang tidak benar-benar responsif terhadap vaksin Sinopharm,” kata Walid Zaher, kepala peneliti perusahaan.
Walau begitu perlu dipahami bila efikasi kurang tinggi bukan berarti tidak efektif. Dr. Dirga Sakti Rambe, MSc, SpPD, spesialis penyakit dalam yang juga vaksinolog, menegaskan sangat penting untuk menggunakan vaksin yang ada.
Walau efikasi vaksin hanya 65% atau 78%, bukan berarti masih ada sekitar 35% atau 22% masyarakat yang berisiko terinfeksi virus corona.
“Orang yang divaksinasi memiliki kemungkinan hampir 3 kali lebih rendah untuk mengalami COVID yang bergejala. Bahkan, gejala berat sampai menyebabkan kematian, lebih rendah lagi kemungkinannya,” katanya dalam Pandemic Talks beberapa waktu lalu.
Vaksin dengan efikasi yang lebih rendah bukan berarti lebih buruk dibanding vaksin dengan efikasi lebih tinggi. Selama memenuhi standar minimal yang ditetapkan WHO (>50%), vaksin COVID-19 layak dipakai.
Walau dengan efikasi 65% atau 78% akan sangat bermanfaat untuk mengurangi beban pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pasien COVID-19 bergejala sedang, bahkan sampai di rumah sakit, harapannya akan berkurang dengan vaksin. (jie)