Jauh sebelum COVID-19 menjadi pandemi, diabetes lebih dulu diderita oleh jutaan orang di seluruh dunia. Pengobatan diabetes bersifat ‘tailored’ atau disesuaikan dengan kondisi tiap pasien. Namun pada umumnya ada beberapa jenis obat antidiabetes oral yang biasa diresepkan dokter.
Sebagai gambaran, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan ada sekitar 422 juta orang menderita diabetes dan 1,6 juta kematian akibat diabetes setiap tahunnya. WHO memperkirakan kasus diabetes akan semakin meningkat, mencapai 629 juta pada tahun 2045.
Di Indonesia data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 6,9% menjadi 8,5%. Ini berarti 22,9 juta orang diperkirakan menderita diabetes. Sayangnya 3 dari 4 penderita diabetes tidak tahu dirinya terkena diabetes hingga muncul komplikasi.
Peningkatan jumlah kasus diabetes melitus tentunya akan semakin membebani kesehatan nasional. Terlebih di masa pandemi, diabetes salah satu komorbid yang memperburuk infeksi COVID-19. Riset Singh AK, et al., menyatakan pasien diabetes dengan COVID-19 cenderung lebih berat dan lebih banyak meninggal.
Rekomendasi PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) menyatakan penderita diabetes dianggap terkontrol bila nilai HbA1c (rerata kadar gula dalam 3 bulan) kurang dari 7%. Tetapi lebih dari 70% penderita diabetes di Indonesia kesulitan untuk mencapai target terapi (HbA1c <7%), sebagian besar karena kompleksnya terapi.
Survei juga mencatat bahwa 50,4% penderita diabetes di Indonesia tidak rutin meminum obat atau suntik insulin karena merasa keadaan tubuh mereka sudah membaik sehingga yakin tidak membutuhkannya lagi.
Pasien diabetes mellitus tipe 2 – diabetes yang dipicu oleh gaya hidup – umumnya mendapatkan obat antidiabetes oral, seperti :
- Metformin yang bekerja mengurangi produksi glukosa di hati. Dosis metformin berbeda-beda tiap pasien tergantung keparahan diabetes. Obat ini dikonsumsi bersamaan atau sesudah makan.
- Sulfonylurea dengan meningkatkan produksi insulin di pankreas. Dikonsumsi sebelum makan. Obat golongan ini adalah glibenclamide, glimepiride dan gliclazide.
- Penghambat DPP-4, untuk menghambat penyerapan glukosa kembali di ginjal dan meningkatkan hormon insulin. Dikonsumsi sesuai jadwal yang ditentukan dokter (tidak bergantung pada jadwal makan).
- Tiazolidindion yang berperan dengan meningkatkan sensitivitas sel tubuh dalam menggunakan insulin, sehingga glukosa bisa digunakan lebih efektif. Dikonsumsi juga sesuai rekomendasi dokter.
- Acarbose untuk menghambat penyerapan glukosa dari saluran pencernaan. Diminum bersamaan suapan pertama saat makan.
- Penghambat SGLT-2 (inhibitor sodium-glucose cotransporter-2) yang bekerja menghabat penyerapan kembali glukosa ke ginjal, untuk kemudian dibuang lewat urin.
Kombinasi SGLT-2 dan metformin
Penghambat SGLT-2 diberikan sebagai terapi tambahan bila target penurunan gula darah tidak tercapai setelah 3 bulan. Obat ini juga direkomendasikan untuk pasien diabetes dengan komplikasi penyakit kardiovaskular.
Sejauh ini beberapa jenis penghambat SGLT-2 yang telah disetujui FDA seperti canagliflozin (Invokana, Janssen), dapagliflozin (AstraZeneca) dan empagliflozin (Jardiance, Boehringer Ingelheim). Obat ini diberikan secara oral sekali sehari.
Penghambat SGLT-2 terbaru adalah enavogliflozin (Daewoong Pharmaceutical). Dalam pertemuan American Society for Clinical Pharmacology and Therapeutics, 12-17 Maret 2021 lalu dipaparkan hasil uji klinis fase 1 terapi kombinasi SGLT-2 (enavogliflozin) dan metformin saat dikonsumsi secara bersamaan, dibandingkan jika dikonsumsi secara terpisah.
"Selama uji klinis, tidak terjadi interaksi obat saat enavogliflozin dan metformin dikonsumsi secara bersamaan. Keamanan kedua kandungan obat tersebut terjamin apabila dikonsumsi secara bersamaan karena tidak ada perbedaan tingkat penyerapan obat,” ujar Prof. Jang In-Jin, penanggung jawab studi dari Department of Clinical Pharmacology and Therapeutics, Seoul National University Hospital, dalam siaran pers yang diterima OTC Digest.
Selanjutnya uji klinis fase-2, enavogliflozin diberikan pada pasien DM2 yang gula darahnya sulit dikontrol. Hasilnya membuktikan bahwa enavogliflozin memiliki efek penurunan tingkat gula darah dan pengurangan hemoglobin terglikasi (HbA1c) yang lebih baik dibandingkan dengan inhibitor SGLT-2 yang ada.
Saat ini Enavogliflozin masih dalam uji klinis terapi kombinasi metformin fase 3 di 30 rumah sakit besar di Korea. Targetnya enavogliflozin, mulai ada di pasaran pada tahun 2023. (jie)