Kurang zat besi bisa memunculkan PMS (pre mestrual syndrome), membuat suasana hati cepat berubah (mood swing), sensitif, mudah marah, nyeri perut dan sakit kepala. PMS, menurut Dr. dr. Inge Permadhi, Sp.GK dari FKUI/RSCM, terkait dengan status nutrisi.
Kebutuhan zat besi pada perempuan usia produktif berdasarkan AKG (angka kecukupan gizi) 2014 yakni 26 mg/hari, atau 2x lipat kebutuhan laki-laki. Ini karena perempuan menstruasi setiap bulan. Terjadi peluruhan dinding rahim bagian dalam (endometrium), yang banyak mengandung pembuluh darah. Selama periode haid, perempuan bisa kehilangan 30-80 cc darah; setara dengan 135.000 juta – 360.000 juta sel darah merah dan 30-80 mg zat besi.
Tiap keping sel darah merah mengandung hemoglobin (Hb), protein yang memberi warna merah pada keping sel darah, tempat zat besi menempel. Zat besi inilah yang mengikat oksigen untuk dialirkan ke seluruh sel tubuh, “Bila tidak ada zat besi, oksigen tidak bisa diangkut.” Zat besi juga berperan sebagai koenzim (penunjang kerja enzim) yang berperan dalam neurotransmitter (hubungan antar saraf). Kondisi neurotransmitter yang baik, membuat regulasi hormon berjalan lancar sehingga lonjakan atau penurunan hormon tidak terlalu drastis.
Survei oleh Fakultas Kedokteran (FK) di beberapa universitas di Indonesia (2012) menunjukkan, 40% perempuan usia produktif mengalami anemia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak Kementrian Kesehatan (2012) mencatat, 1 dari 2 perempuan pekerja di Indonesia berisiko anemia. Disebut anemia bila Hb <12 g/dl. Penyebab paling sering karena kekurangan zat besi.
Kehilangan zat besi saat haid menyebabkan lemas, letih, lesu, tidak bertenaga dan pusing berkunang-kunang. “Bila kehilangan sel darah merah dan zat besi digantikan, tubuh akan tetap fit selama haid,” ujar Dr. dr. Inge. Studi oleh Chocano-Bedoya PO, dkk (2013) menunjukkan hal ini. Sebanyak 1.057 perempuan dengan PMS diteliti pola makannya. Mereka yang mengonsumsi banyak sumber zat besi non-heme (>20 mg/hari), berisiko lebih rendah PMS hingga 30-40%, ketimbang yang lebih sedikit mengonsumsi.
Sumber zat besi ada heme dan non-heme. Heme berasal dari sumber hewani seperti daging merah dan unggas, hati dan telur, meski sumber hewani juga mengandung zat besi non-heme. Sumber zat besi non-heme yakni makanan nabati berupa sayur warna hijau gelap seperti bayam dan brokoli. “Heme iron lebih mudah diserap tubuh dibandingkan yang non-heme,” terang Dr. dr. Inge.
Bahan-bahan dalam makanan nabati seperti serat, asam oksalat dan tanin cenderung membuat endapan besi tidak larut, sehingga sulit diserap tubuh. Untuk membantu penyerapan, perlu vitamin C. Maka disarankan mengonsumsi vitamin C, ketika atau setelah mengonsumsi sayuran yang kaya zat besi. Sebaliknya, hindari konsumsi zat besi berdekatan dengan kopi/teh yang mengandung tanin. (nid)
Ilustrasi: Woman photo created by freepik - www.freepik.com