Ia tak menduga, perlemakan hati (fatty liver) yang diderita, ternyata telah menimbulkan gejala sirosis, yang bisa berujung pada kanker hati. Kabar yang tak mengenakkan itu mengguncang hati dan pikiran dr. Iwan Arjanto, Sp.KJ, M.Kes (48 tahun). Sebagai dokter ia paham, penderita kanker hati yang dialami di usia 40 tahun kala itu (2008), usianya paling tinggal beberapa bulan lagi.
Sebagai dokter jiwa (psikiater), ia mencoba tabah. Bagaimanapun, “Saya stres berat menghadapi kenyataan itu.”
Hasil USG perlemakan hati menunjukkan 2 marker utama: CeA (carcinoembryonic antigen) dan globulin sudah di atas normal, yaitu 4 (normalnya 3,4 dan 3,3). Upaya menekan sirosis belum berhasil, indikasi adanya kanker hati muncul. Hal itu terlihat dari nilai alfavetoprotein 6,76 (normal 5,8).
Sebagai dokter ia tahu persis, sirosis secara medis belum ada obatnya. Tawaran transplantasi hati dari teman ia tolak. Pasalnya, selain mahal pasien harus minum kortikosteroid seumur hidup, agar lever baru tidak diserang sistem imun tubuh sendiri karena dianggap benda asing. Dan lagi, seorang teman yang melakukan transplantasi hati, ternyata kena sirosis dan kanker hati lagi. Dengan pertimbangan itu, dr. Iwan memilih terapi lain.
Terapi Herbal
Jauh sebelum terkena sirosis dan kanker hati, ia sempat mendalami pengobatan herbal. Ia tertarik untuk mencoba. Berbagai jenis herbal seperti temulawak, pegagan, keladi tikus, daun mimba dan temu putih digunakan dengan dosis berbeda. Ia mengonsumsi dalam bentuk kapsul atau rebusan. Setiap minggu, cek laboratorium dan hasilnya cukup bagus. Nilai CeA, globulin, gama GT, alfavetoprotein dan Ca turun. Untuk meningkatkan hasil pengobatan, ia juga menjadi vegetarian.
Pantangan makan cukup banyak. Yang paling dihindari yaitu sambal (cabe), karena membuat herbal tidak bekerja dengan baik. Ia sempat ‘kecolongan’ makan daging sapi, hingga alfavetoprotein meningkat. Maka, dietnya diperketat. Gula diganti madu, minyak goreng dihindari.
Ia menghindari penggunaan herbal dalam dosis tinggi dan jangka waktu lama, karena bisa membuat kadar kreatinin naik dan mengganggu fungsi ginjal. Dosis herbal yang tinggi, menurutnya perlu pengawasan khusus.
“Tanpa herbal, saya mungkin tidak bisa bertahan sampai sekarang,” katanya. Diakui, penggunaan herbal belum maksimal hasilnya. Hal itu terlihat ketika kadar CeA dan Ca turun, namun marker lain seperti globulin meningkat. Begitu juga sebaliknya. Semuanya belum pernah bisa normal secara bersama-sama “Itu terjadi berulang-ulang. Saya tidak paham, mengapa bisa begitu,” katanya.
Kekuatan pikiran
Dokter Iwan kemudian membaca buku tentang teori psikoneuroimunologi, yang ditulis Prof. M. Sholeh dari Kediri. Psikoneuroimunologi adalah terapi kekuatan pikiran, dilakukan melalui solat tahajud yang dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang. Ia tertarik mencoba. Karena kondisinya belum memungkinkan pergi jauh, sang istri yang datang dan mengikuti pelatihan solat tahajud di Kediri. Ia mempraktekkan solat tahajud mulai jam 03.00 dan tanpa diet.
Riset ilmiah menunjukkan, hormon kortisol turun setelah 2 bulan terapi. Mekanismenya melalui kekuatan pikiran, ditangkap susunan saraf yang akhirnya mempengaruhi korteks adrenal untuk menurunkan pengeluaran kortisol. Jika hormon ini turun, maka imunitas tubuh meningkat. Sebaliknya, saat kortisol naik daya tahan tubuh menurun.
Perbaikan Signifikan
Pertama mencoba terapi solat tahajud, hasilnya belum maksimal. Anjuran melepas diet, justru meningkatkan kadar CeA, globulin dan gama GT.
“Saya sempat bimbang dan berpikir, apakah ada yang salah?” ia bertanya-tanya. Akhirnya, diputuskan untuk bertemu langsung dengan Prof. Sholeh. Dia datang ke Kediri, Jawa Timur. Dokter Iwan “dirawat” selama 2 hari di sana. Dia kaget saat mengetahui bahwa solat tahajud yang dilakukannya selama ini, berbeda dengan yang diterapkan Prof. Sholeh.
“Kualitasnya berbeda. Prof. Sholeh melakukan solat tahajud mulai jam 01.30-03.30 dan hanya 2 rakaat. Tapi, bacaan dalam solat begitu sempurna, diresapi dan diulang ulang,” katanya.Gerakan ruku diulang tak kurang dari 100 kali. Ia menyadari, bahwa saat “dirawat” tidak mengonsumsi herbal, bahkan sempat makan daging ayam. Dan, dia baik-baik saja.
Pulang ke Bandung, sempat terpikir bahwa kalau terapi solat tahajud gagal, dia akan kembali ke terapi herbal. Selama 10 hari, diterapkan metode terapi solat tahajud secara total tanpa herbal dan diet. Hasilnya mengejutkan. Saat cek ke laboratorium, semua marker tumor normal. Satu minggu kemudian, kondisinya semakin baik.
“Saya bersyukur, kondisi yang tidak stabil dulu itu, bisa terjawab dengan solat tahajud,” katanya Untuk membantu meningkatkan fungsi lever, ia tambahkan temulawak. (her, jie)
Baca Juga : HERBAL UNTUK PENGOBATAN KANKER
KANKER MEMATIKAN JULIA PEREZ BISA DICEGAH