Andini Pramono, Australian National University
Kementerian Kesehatan mewajibkan seluruh pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan kehamilan dan persalinan untuk menerapkan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM). Namun, hingga kini hanya sekitar 8% rumah sakit pemerintah di Indonesia yang menerapkan kebijakan tersebut. Padahal Menteri Kesehatan telah mewajibkan 10 langkah tersebut sejak 2004.
Program ini penting karena pemberian Air Susu Ibu (ASI) memberi manfaat bagi kesehatan ibu dan anak, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Anak yang tidak disusui memiliki risiko lebih tinggi terkena obesitas, maloklusi (gigi berdesakan), asma, dan IQ lebih rendah. Sementara, tidak menyusui meningkatkan risiko terkena kanker payudara, kanker ovarium, diabetes tipe 2, dan osteoporosis pada ibu.
Beberapa penelitian menunjukkan di negara maju, menyusui bayi dapat mengurangi risiko Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) alias kematian mendadak pada bayi di bawah usia setahun tanpa ditemukan gejala apa pun sebelumnya. Sedangkan di negara berkembang dapat mengurangi risiko diare dan infeksi pernapasan.
Ikatan batin ibu dan anak juga terbentuk secara natural oleh hormon menyusui dan kontak kulit yang terjadi saat menyusui. Beberapa penelitian juga menunjukkan manfaat menyusui secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Meski demikian, angka menyusui secara eksklusif sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya terwujud 40% di seluruh dunia.
Terdapat beberapa tantangan yang menyulitkan implementasi kebijakan tersebut. Tantangan tersebut di antaranya: resistansi tenaga medis terhadap perubahan, kurangnya dukungan dari tenaga medis, dan kurangnya dukungan pendanaan.
Artikel ini akan menjelaskan 10 langkah tersebut supaya masyarakat memahami bahwa rumah sakit wajib mendukung ibu untuk menyusui bayinya sesaat setelah anak lahir. Kita bisa menuntut rumah sakit bila mereka mengabaikan 10 langkah tersebut.
Sejarah 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui
Pada 1989, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) meluncurkan kebijakan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) atau “Ten Steps to Successful Breastfeeding” untuk memastikan seluruh layanan maternitas memberikan dukungan menyusui secara memadai kepada ibu.
Pada April 2018, WHO merevisi kebijakan 10 LMKM. Pemberdayaan, edukasi dan keterlibatan ibu hamil dan keluarganya menjadi poin penting dalam perubahan kebijakan ini.
Di Indonesia, 10 LMKM versi 1989 telah diadopsi dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif dan beberapa peraturan Menteri Kesehatan. Dengan adanya PP ini, seluruh pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan kehamilan dan persalinan wajib menerapkan 10 LMKM.
1. Tingkatkan independensi RS
Dalam 10 LMKM versi 2018, langkah pertama terbagi dalam 3 bagian.
Bagian pertama adalah mematuhi Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI yang dikeluarkan WHO, yang membatasi pemasaran tidak etis oleh produsen produk pengganti ASI (yaitu susu formula dan produk makanan atau minuman lain yang diperuntukkan bagi bayi hingga usia 2 tahun) dan produk lain penghambat pemberian ASI eksklusif (misalnya dot dan empeng).
Ini berarti rumah sakit dilarang bekerja sama dalam bentuk apa pun dengan perusahaan susu formula dan afiliasinya. Contoh dari pemasaran yang tidak etis adalah pemberian bantuan dana pelatihan dari produsen susu formula pada tenaga medis. Ini memunculkan konflik kepentingan pada tenaga medis atau rumah sakit dan dapat mempengaruhi independensi mereka.
Bagian kedua dari langkah pertama adalah membuat kebijakan tertulis tentang pemberian makan bayi dan dikomunikasikan kepada semua staf rumah sakit dan orang tua bayi. Bagian ketiga dari langkah pertama adalah mengawasi dan mengelola data atas penerapan kebijakan ini di rumah sakit secara berkesinambungan.
2. Tingkatkan kapasitas staf RS
Langkah kedua adalah memastikan semua staf rumah sakit memiliki pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan dalam memberikan dukungan menyusui. WHO telah menyusun tiga kategori tenaga rumah sakit dan minimal jam pelatihan yang harus diberikan untuk setiap kategori. Ini berarti semua staf rumah sakit seperti bidan, perawat, dokter, bahkan petugas customer service paham dan mampu menerapkan kebijakan menyusui sesuai kapasitasnya masing-masing.
3. Diskusi dengan ibu
Langkah ketiga adalah mendiskusikan dengan perempuan hamil dan keluarganya tentang manajemen laktasi dan pentingnya menyusui. Perubahan mendasar pada versi 2018 adalah perubahan penggunaan kata “menginformasikan” menjadi “mendiskusikan”, yang mengindikasikan ada komunikasi dua arah. Selain itu, keluarga juga dilibatkan dalam proses diskusi ini.
4. Menyusu dini dalam 60 menit pertama
Memfasilitasi kontak kulit segera setelah lahir dan tanpa interupsi, serta mendukung ibu untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini merupakan langkah keempat. Ini berarti rumah sakit wajib melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 60 menit setelah bayi lahir, jika kondisi ibu dan bayi memungkinkan. Ini juga berarti rumah sakit wajib melaksanakan IMD tanpa melihat status pendanaan (apakah pasien yang ditanggung BPJS Kesehatan, pasien asuransi swasta atau pasien umum), tanpa melihat kelas perawatan (kelas 1, 2, atau 3).
5. Mempertahankan menyusui
Langkah mendukung Inisiasi Menyusu Dini, diikuti langkah kelima yaitu mendukung ibu untuk menginisiasi, mempertahankan menyusui, dan membantu menangani tantangan yang umum dihadapi ibu di awal masa menyusui. Ini berarti rumah sakit wajib membantu semua ibu untuk menyusui bayinya, dan ketika bayi butuh penanganan medis lanjutan sehingga terpisah dari ibunya, RS wajib membantu ibu untuk bisa mempertahankan menyusui. Misal pada kasus bayi baru lahir yang perlu difototerapi karena angka bilirubin yang tinggi, biasanya akan terpisah dari ibunya.
RS wajib memberikan bantuan agar ibu dapat terus menyusui anaknya meski terpisah, contohnya dengan mengajarkan ibu cara memerah ASI dan memberikan ASI perah tersebut kepada bayinya dengan menggunakan media selain dot.
6. Menghindari asupan selain ASI kecuali atas indikasi medis
Langkah keenam adalah tidak memberikan asupan selain ASI, kecuali atas indikasi medis seperti bayi dengan penyakit galaktosemia, maple syrup urine disease atau kelainan fenilketonuria yang menyebabkan bayi membutuhkan suplementasi susu formula baik untuk jangka waktu sementara maupun permanen.
7. Rawat gabung ibu dan anak
Berikutnya, rumah sakit wajib memberikan bantuan dan edukasi agar ibu mau dan mampu merawat bayinya sepanjang 24 jam selama dirawat di RS. Artinya, RS wajib mengizinkan bayi bergabung di kamar rawat inap ibunya sepanjang 24 jam selama ibu berada di bawah perawatan fasilitas kesehatan. Kenyataannya di Indonesia, banyak RS yang tidak mengizinkan atau hanya mengizinkan rawat gabung apabila ibu memilih kamar perawatan kelas 1 atau di atasnya sehingga ibu yang memilih kamar perawatan kelas 2 atau 3 tidak bisa melakukan rawat gabung.
Ibu perlu memahami pentingnya dirawat gabung dalam satu kamar. Dengan rawat gabung, ibu dapat lebih cepat mempelajari tanda lapar bayinya sehingga dapat lebih sering menyusui bayinya dibandingkan jika bayi dirawat di kamar bayi.
8. Bantu ibu kenali tanda lapar bayi
Langkah kedelapan adalah mendukung ibu untuk mengenali dan merespons tanda lapar bayinya. Tanda lapar bayi selama ini hanya diartikan bila bayi menangis, padahal menangis adalah tanda paling akhir. [Tanda awal bayi lapar] antara lain tangan bayi mengepal, kepala menoleh kiri kanan, dan bibir mulai mencecap. Dikombinasikan dengan langkah ketujuh, ibu yang rawat gabung akan lebih mudah mempelajari tanda lapar bayinya.
9. Beri konseling tentang risiko penggunaan dot pada ibu
Rumah sakit wajib memberikan konseling ibu atas risiko penggunaan dot, botol susu dan empeng. Meski yang diberikan adalah ASI, tapi tidak direkomendasikan untuk menggunakan dot. Penggunaan dot dapat mengintervensi daya hisap bayi sehingga mempengaruhi produksi ASI. Selain itu di negara berkembang di mana tempat ketersediaan air bersih tidak merata, dot lebih sulit untuk dibersihkan.
10. Dukungan menyusui setelah keluar dari RS
Langkah terakhir adalah mengkoordinasikan kepulangan ibu dari RS sehingga ibu dan anaknya mendapat dukungan menyusui yang berkelanjutan meski telah keluar dari RS.
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai analisis biaya dalam penerapan kebijakan ini. Karena, meski kebijakan 10 LMKM telah diadopsi pemerintah Indonesia, dalam pelaksanaannya masih terdapat tantangan. Pemerintah perlu mengintegrasikan program Inisiatif Rumah Sakit Sayang Bayi dalam program akreditasi nasional RS, sehingga program ini dapat berjalan berkesinambungan.
Bagi masyarakat, kebijakan ini sangat penting untuk diketahui agar dapat memilih rumah sakit yang mendukung ibu menyusui bayi.
Andini Pramono, PhD Candidate in Health Services Research and Policy Department, Research School of Population Health, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.