Melihat foto/video influencer mums di Instagram soal memberi ASI (air susu ibu) eksklusif, serta MPASI (makanan pendamping ASI) buatan sendiri dan betapa lahapnya buah hati mereka makan, kerap bikin hati ciut. Ini salah satu tantangan yang dihadapi millennial mums. Belum lagi komentar bernada menghakimi bila cara kita mengurus anak dianggap “salah” di mata warganet. Jangan melulu terpengaruh oleh media sosial. Lebih baik fokus pada anak sendiri, dengan mendengarkan nasihat dokter dan membaca sumber-sumber yang terpercaya.
“Ibu yang memberi ASI eksklusif harus kita dukung. Tapi tidak perlu menghakimi ibu yang tidak bisa menyusui. Ibu yang memberi anaknya susu formula bukan berarti ibu yang jahat,” tegas dr. Diana F. Suganda, M.Kes., Sp.GK, Spesialis Gizi Klinis. Kondisi tiap anak, ibu, dan lingkungannya berbeda. Ini diungkapkannya dalam diskusi bersama Teman Bumil dan Tokopedia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ibu yang sakit berat dan sedang dalam pengobatan misalnya, tentu sulit memberikan ASI. Atau ibu yang sehat tapi memang produksi ASI ibu tidak terlalu banyak, meski sudah berbagai cara dilakukan.
Selain itu menurut penelitian, banyak bayi yang mulai mengalami kekurangan nutrisi sejak usia 4 bulan, yakni ketika umumnya ibu kembali bekerja. Tidak semua ibu bisa menyimpan stok ASI perah hingga berbotol-botol dan memiliki support system yang bisa mendukungnya memberi ASI perah kepada bayi dengan baik, selama ibu bekerja. “Tidak perlu merasa bersalah bila ternyata si kecil perlu memulai MPASI lebih cepat,” tandas Dr. dr. Damayanti Sjarif, Sp.A(K) dalam kesempatan berbeda. Tentu, ini berdasarkan diagnosis dokter anak, yang memang berkompeten dalam hal ini.
Atau, bisa pula bayi memang tidak bisa menerima ASI. Iya, bayi dengan penyakit langka tertentu harus mendapat makanan khusus, bahkan tidak boleh menerima ASI. Misalnya bayi yang memiliki kondisi galaktosemia, di mana tubuhnya tidak bisa mencerna galaktosa, gula pada ASI.
Zat besi dan MPASI
Jangan juga merasa berdosa dengan memberi suplemen zat besi pada bayi. Jangan salah, bayi yang mendapat ASI eksklusif pun bisa mengalami defisiensi besi, bila asupan nutrisi ibu kurang bagus. “Dalam ASI, ada senjang zat besi sehingga bayi berisiko mengalami defisiensi besi,” ujar dr. Diana. Tanda-tanda anak mengalami defisiensi besi yakni mudah mengantuk, lemas, mudah kena infeksi (misalnya batuk pilek), serta tumbuh kembangnya sedikit berbeda.
Saat masih ASI eksklusif, ibu bisa mengusakan dengan memperbaiki asupan makanan yang kaya akan zat besi. Bila sudah masuk MPASI, bisa saja kita beri hati ayam, daging, dan lain-lain. Tapi, belum tentu semuanya bisa masuk. “Untuk anak usia 6 bulan, butuh lima pasang hati ayam untuk mencukupi kebutuhan zat besi. Banyak sekali, tidak mungkin masuk semua,” tutur dr. Diana.
Brokoli, bayam, dan sayuran hijau lain juga merupakan sumber zat besi. Namun, sumber nabati (non heme) penyerapannya tidak sebaik yang dari sumber hewani (heme).
Bila menurut pemeriksaan, bayi benar mengalami defisiensi zat besi, dokter akan memberi suplemen zat besi bila diperlukan. “Bahkan bayi usia 4 bulan yang masih ASI eksklusif pun tdak apa-apa diberi suplemen zat besi. Itu tidak membuat Anda jadi ibu yang ‘jahat’,” imbuh dr. Diana.
Lanjut ke MPASI, alangkah baiknya bila bisa membuat MPASI sendiri. Namun di saat tertentu misalnya dalam perjalanan, ibu benar-benar repot hingga tak sempat membuat MPASI, atau bahkan kondisi bencana, jangan khawatir untuk memberi MPASI buatan pabrik. “MPASI buatan sendiri bagus, tapi memberi MPASI buatan pabrik pun tidak apa-apa,” ujar dr. Diana menenangkan.
Tekanan di media sosial memang bisa amat besar. “Kalau tidak kuat, berhenti dulu dari media sosial. Tenangkan pikiran, fokus pada anak,” lanjut dr. Diana. Jangan terpengaruh omongan orang lain, karena kondisi anak kita pasti berbeda dengan anak lain. Jangan sampai kesehatan anak kita dikorbankan karena mengikuti saran orang yang belum tentu berkompeten. (nid)
_________________________________