Usia harapan hidup merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai status kesehatan suatu negara. Kita bersyukur, rerata usia harapan hidup di Indonesia terus meningkat; dari 68,5 tahun pada 2012 menjadi 69,1 tahun pada 2016. “Tentu kita mengharapkan penduduk usia lanjut yang produktif,” ujar Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, Sp.M, dalam pembukaan Pertemuan Ilmiah Tahunan InaHEA 2018 kelima di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali belum lama ini mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat 87 dari 157 negara berdasarkan Human Capital Index (HCI), indikator baru untuk mengukur derajat modal manusia. “Kesehatan tetap berperan utama. Produktivitas yang membaik di masa datang pasti juga akan menurunkan biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” lanjut Prof. Nila.
Indonesia kini menghadapi ancaman penyakit tidak menular (PTM). Ditengarai, lima besar PTM akan menelan biaya kesehatan hingga $ 4,47 triliun dari 2012 hingga 2030. “Pertumbuhan ekonomi, modernisasi, dan urbanisasi telah jadi pintu masuk bagi gaya hidup yang tidak sehat,” ucap Prof. Nila.
Program JKN yang mulai diselenggarakan sejak 2014 telah membuka akses pelayanan kesehatan bagi begitu banyak masyarakat. Hingga Oktober 2018, sekira 203 juta jiwa (80% penduduk) telah tercatat sebagai peserta JKN. Namun begitu tingginya angka penyakit katastropik, menimbulkan defisit pada BPJS Kesehatan sebagai badan yang menyelenggarakan JKN. Penyakit katastropik adalah penyakit yang memerlukan biaya tinggi, menimbulkan komplikasi, dan membahayakan jiwa; biasanya merupakan PTM.
Terapi gagal ginjal dan JKN
Salah satu yang menelan biaya JKN begitu besar yakni gagal ginjal kronis (GGK) tahap akhir, yang memerlukan perawatan dialisis. Dialisis menempati posisi kedua kondisi yang menghabiskan biaya perawatan terbanyak; pada 2016 mencapai 3,9 T dan pada 2017 meningkat jadi 4,6 T.
Ada beberapa pilihan terapi untuk kasus GGK tahap akhir. Dari berbagai kajian di seluruh dunia yang terbaik yakni transplantasi (cangkok) ginjal. Namun kendalanya, tentu saja ketersediaan organ. “Yang kedua (terbaik) adalah CAPD. Tapi di Indonesia angkanya masih sangat kecil. Sebagian besar pasien diterapi dengan hemodialisis,” ungkap Ketua Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (PKEKK UI) Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, Ph.D.
Baca juga: Terapi Gagal Ginjal, Jangan Bergantung pada Hemodialisis
Studi oleh Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kementrian Kesehatan dan PKEKK UI mengonfirmasi bahwa CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) atau cuci darah lewat perut secara biaya lebih efektif, dan kualitas hidup pasien pun lebih baik dibandingkan hemodialisis (HD). Namun hingga kini, hanya 3% pasien yang menjalani CAPD; 95% masih mendapat terapi HD.
Ketersediaan suplai masih jadi salah satu kendala. Obat dan fasilitas yang diperlukan untuk CAPD perlu segera dipenuhi. Hambatan lain yakni monopoli. “Sekarang, cuma ada satu penyedia cairan CAPD. Ini berbahaya karena ke depan, harganya bisa lebih mahal,” ujar Prof. Budi. Fresenius Medical Care sebagai penyedia lain untuk cairan CAPD, masih menunggu nomor registrasi cairan CAPD dikeluarkan oleh BPOM.
Kelangkaan obat dan kualitas pengadaan
Penyediaan obat dalam JKN diatur dengan formularium nasional (Fornas) dan sistem tender. Sayangnya, kebijakan ini memiliki konsekuensi negatif. “Obat-obatan yang berdasarkan hasil evaluasi ekonomi tidak cost-effective, apakah harus dihilangkan dari manfaat JKN?” ujar Prof. Budi. Ini misalnya terkait dengan trastuzumab, terapi target untuk kanker payudara dengan HER2 positif, yang pada 1 April 2018 sempat dihentikan penjaminannya oleh BPJS.
Masalah yang terkait sistem tender yakni kelangkaan obat. “Karena yang digunakan adalah sistem tender, basis kriterianya berdasarkan harga; maka harga termurahlah yang masuk,” terang Prof. Budi. Ternyata, penyedia obat tidak mampu menyediakan obat ke daerah-daerah tertentu. “Untuk membenahi sistem tender, ada faktor lain yang harus dipertimbangkan. Tidak hanya kriteria harga, tapi juga kualitas,” tambahnya.
Baca juga: M Aliefka Yanuar Bramantyo Ogah Menyerah Meski Cuci Darah
Masih banyak yang perlu dibenahi dalam BPJS Kesehatan dan sistem JKN. Tidak mudah memng mengelola asuransi nasional di negara sebesar Indonesia, dengan kondisi geografis berpulau-pulau.
Kajian dan temuan empiris oleh PKEKK UI turut menentukan arah kebijakan dalam penyelenggaraan JKN. Semua pemangku kebijakan harus ikut berperan untuk mengimplementasikan rekomendasi berdasarkan temuan tersebut, agar tak cuma berhenti dalam tataran rekomendasi. (nid)