RA Kanya Puspakusumo pendiri Yayasan Multipel Skeloris Indonesia

RA Kanya Puspakusumo “Saya Pernah Buta dan Lumpuh”

RA Kanya Puspakusumo (44 tahun) dan multipel sklerosis (MS); keduanya tak bisa dipisahkan. Kanya adalah Presiden sekaligus pendiri Yayasan Multipel Skeloris Indonesia (MSI).  “Saya mendirikan MSI untuk bisa berbagi dengan sesama penyandang multipel sklerosis,” ucapnya.

Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun langka. Sistem imun tubuh menyerang selubung saraf (myelin) pada susunan saraf pusat (otak dan jaringan syaraf sumsum tulang belakang). Kerusakan myelin membuat kemampuan serabut saraf menghantar pesan ke/dari otak terganggu.

Akibatnya, dari sekedar kesemutan, tubuh kaku, hingga lumpuh, gagal ginjal, dan lainnya. Komedian Pepeng (almarhum) adalah penderita MS dan pernah tercatat sebagai anggota MSI. Saat ini anggota MSI sekitar 60 orang di seluruh Indonesia. Tergolong sedikit, karena MS penyakit langka.  

“Saya yakin banyak yang menderita MS, tapi belum terdiagnosis,” ujar Kanya  yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat. “Sulit mendiagnosis MS, karena gejalanya hilang timbul. Dokter di Indonesia banyak yang belum familiar dengan MS,” imbuhnya. Di negara-negara yang agamanya tidak kuat, MS termasuk penyebab orang bunuh diri.

Saat didiagnosis MS pada 2004, Kanya merasa sendirian. Istilah MS sangat asing di telinga. Belum ada organisasi MS di Indonesia, obat-obatan belum masuk dan tidak ada teman curhat yang mengerti, termasuk orang-orang terdekat.

Ia menemukan ada MS International Federation, yang berdomisili di London. Dilakukan kontak dan baru 3 tahun kemudian ada respon.  Ia menjelaskan ingin mendirikan organisasi MS di Indonesia, dan MI International Federation mendukung.

Berbekal informasi awal tentang penyakit MS, ia bergerilya mencari teman senasib. Ia menulis tentang MS di koran dan majalah. “Saya ajak mas Pepeng. Tahun 2008, MSI pun berdiri.  Dari situ kami mulai ketemu dokter dan banyak orang lain,” tutur perempuan yang berprofesi sebagai penulis, penerjemah dan editor di beberapa media ini.

MSI  tidak semata memberi informasi kepada penyandang, tapi juga kepada keluarganya. Itu karena orang-orang terdekat /keluarga kerap tidak memahami apa itu MS. “Mereka mungkin menganggap kami nyebelin, tapi itu bukan mau kami,” katanya. Penderita MS mudah mengalami mood swing (perubahan emosi), seperti tanpa sebab ingin menangis dan susah dikontrol.  Solusinya adalah nrimo. Dengan menerima keadaan yang dialami, penderita akan mampu mengelola stres yang adalah penyebab tersering kekambuhan.

“Perlu waktu untuk bisa menerima keadaan MS. Juga, butuh waktu untuk membangkitkan semangat untuk tetap survive,”  ujarnya. Ia tidak menyangka akan koma, dan buta beberapa saat. “Kami belajar untuk memperbaiki kualitas hidup, meski harus duduk di kursi roda,” terang Kanya yang berdarah ningrat Keraton Yogyakarta. 

 

Lumpuh sampai koma

Tahun 1997, Kanya mendadak lumpuh selama sepekan. Lewat CT scan dan pemeriksaan fungsi lumbal, tidak diketahui pasti penyebabnya. Dokter berkesimpulan, ia kena stroke ringan. Ajaib, ia bisa kembali berjalan dan beraktivitas. Ia mengira sudah sembuh.

Saat masih mengajar di STBA Yapari Bandung, ia mengikuti program pertukaran dosen di Shizuoka, Jepang, tahun 2001. Serangan itu terulang kembali. Tanpa ragu, dokter mendiagnosis bahwa Kanya menderita MS. “Bingung waktu pertama kali mendengar tentang MS,” ujarnya.

MS membuat dunia Kanya jungkir balik. Selama satu bulan ia lumpuh. Harus belajar hidup di kursi roda, belajar berjalan lagi dan menjalani fisioterapi. Selanjutnya, ia menjalani pengobatan dan terapi di Singapura, Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kembali ke Indonesia pada 2004, ibu dari Mohammad Rayhan Candraditya Pramesti ini menyadari bahwa hidup dengan MS di Indonesia tidak mudah. Masih sangat sedikit informasi tentang MS. Obat pun harus beli di Singapura. Saat ia bercerita pada suami dan teman-teman tentang MS, mereka mengira MS sama dengan osteoporosis atau sirosis.

Mood swing yang tiba-tiba, membuat hidupnya tambah berat. Perempuan yang mahir berbahasa Inggris, Jepang, Prancis, dan memahami bahasa Italia, Belanda serta Jerman ini kerap dianggap berbohong, karena satu saat ia tampak sehat, tiba-tiba menjadi sangat lemah. Yang menyakitkan, penyakitnya dianggap menular – padahal tidak –  sehingga ia dijauhi.

“Tahun 2004, saya koma 5 hari. Awalnya sakit kepala yang amat sangat, lantas saya tidak sadar. Bangun-bangun sudah di Amerika. Pengobatan di sana sekitar setahun,” terangnya. Bangun dari koma, segalanya memburuk. Suami dan teman-teman meninggalkannya. Ia bercerai tak lama setelah didiagnosis MS.

Marah, sedih, benci, semua campur aduk.  Kondisi ini membuat penyakitnya gampang kambuh. Ia lalu berpikir, daripada bermuram durja lebih baik menghadapi penyakit dengan berani. Ia ingin menunjukkan bahwa  penderita MS tetap bisa bermanfaat bagi orang lain. Ia berketetapan untuk mengubah atmosfer di Indonesia, dengan menulis informasi tentang MS dan kemudian mendirikan Yayasan MSI.  

Saat berobat di AS, Kanya sempat menjadi kelinci percobaan dengan menjalani terapi stem cell (sel punca). “Sebenarnya tidak disarankan, karena tingkat keberhasilannya sangat kecil. Kebetulan saya berhasil, tapi orang lain belum tentu. Maka, saya tidak menyarankan untuk orang lain,” terangnya.

Selain stem cell, Kanya disuntik obat interferon  3 kali sebulan. Ia juga meditasi untuk menyeimbangkan tubuh dan jiwa/pikiran. Olahraga seperti jogging dan yoga bagus, sekaligus sebagai pelepas stres.

Kini, kadang MS masih suka kambuh. “Misalnya lagi nulis, tahu-tahu jari kaku. Lagi jalan, tidak kesandung tahu-tahu jatuh. Pegang barang tiba-tiba terlepas,” ujarnya. “Alhamdulillah, sejak 2010 saya bisa lepas obat.” (jie)