Nina Herlina, Rheumatoid Arthritis si Penyakit Misterius | OTC Digest

Nina Herlina, Rheumatoid Arthritis si Penyakit Misterius

Selama bertahun-tahun, Nina Herlina (50 tahun) tidak tahu pasti apa penyakit yang dideritanya. Sakitnya mulai terasa pada suatu pagi saat bangun tidur, di penghujung tahun 2000. Ketika hendak berdiri dan beranjak dari tempat tidur, ia merasa kedua telapak kakinya sangat sakit seperti tertusuk jarum. Ia berpikir, mungkin ini yang disebut sakit asam urat. Bergegas ia pergi ke dokter umum, dan memang dikatakan bahwa ia menderita asam urat.

Namun, ketika dicek ke labolatorium, kadar asam uratnya dalam batas  normal. Meski begitu, obat asam urat ia minum sampai kira-kira seminggu. Karena sakitnya tidak kunjung hilang, ia dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. “Diagnosanya sama,” katanya.

Merasa tidak puas, Nina meminta pendapat dokter lain. Dikatakan bahwa ia menderita rematik, berdasar ciri-ciri sakitnya dan pegal-pegal di tiap sendi. Ia bingung karena hasil lab dan diagnosis tidak sinkron. Tapi, karena kesakitan, obat rematik ia minum. Suatu saat, sakitnya menjalar sampai ke lutut dan saat mau ke belakang, “Aku merasa sakit luar biasa sampai pingsan dan dilarikan ke UGD,” kenang Nina.

Sakit di kedua lututnya bertambah parah. Ia menjalani tes penyakit lupus, tapi hasilnya negatif. Ia merasa terombang-ambing karena tidak ada kejelasan tentang penyakitnya. Selama sekitar 6 tahun, ia terus berganti-ganti dokter, sementara penyakitnya tak kunjung sembuh.

Saking sakitnya, ia sempat trauma melihat tangga. Menaiki anak tangga merupakan derita baginya. Tekanan pada telapak kaki dan lutut lebih besar saat menaiki tangga, dan itu membuatnya sangat kesakitan.

“Kalau cuma 3-4 anak tangga masih berani. Selama berbulan-bulan saya tidak pernah naik ke lantai atas, entah ada kehidupan apa di sana,” ujar warga di komplek Karyawan DKI Jakarta ini.

Bila hendak berangkat ke kantor, ia naik sepeda motor. Dari berdiri sampai mau duduk di motor, butuh waktu lama. Selama di jalan, kesenggol sedikit saja sudah sangat sakit. Turun di parkiran sampai masuk gedung, butuh perjuangan sendiri karena jaraknya jauh.

Karena tak kunjung sembuh, ada saatnya ia mencapai puncak kesabaran dan merasa imannya sedang diuji. “Pernah saya rasanya ingin mati saja, saking frustasinya. Untung saya sadar, itu godaan setan. Saya berdoa, kalau penyakit ini akan mendekatkan aku dengan-Mu ya Allah, saya terima dengan iklas. Tapi kalau penyakit ini membuatku menjauh dari-Mu, sembuhkanlah. Saya percaya, kalau Allah memberikan sesuatu pasti ada maksud di baliknya,” katanya.

Suatu hari di tahun 2007, Nina check up di RS. Metropolitan Medical Centre (MMC), Jakarta. Ia diminta untuk treatmill. “Saya bilang nggak bisa, karena untuk jalan saja susah,” katanya. Ia dirujuk ke ahli rheumatoid arthritis. Prof. Dr. dr. Harry Isbagyo, SpPD, yang memeriksanya kaget melihat bengkak dan memerah di lutut Nina. Masih untung, penyakitnya belum menjalar dan merusak persendian lain. 

Ia mendapat kejelasan bahwa ia mengidap penyakit rheumatoid arthritis (RA),  jenis rematik yang sebab pastinya belum diketahui karena virus, bakteri atau lainnya. RA disebut juga penyakit autoimun, karena sistem imun tubuh yang harusnya mematikan bakteri menyerang organ tubuh yang sehat.

Sayangnya, obat bagi RA sampai saat ini belum ditemukan. Terapi yang dilakukan adalah untuk mengurangi kekambuhan dan peradangan sendi.

 

Kontinyu minum obat

“Ternyata, banyak penderita RA di Indonesia. Saya ditunjuki foto-foto penderita lain yang lebih parah, sampai jari-jarinya bengkok. Waktu di periksa, laju endap darah (LED) saya 175, padahal normalnya untuk wanita hanya 15. Saya diberi obat yang bisa menekan langsung perkembangan sel imun tersebut,” terangnya.

Dokter menekankan agar pengobatan jangan sampai putus, karena jika putus pengobatan harus kembali ke awal. Sayangnya karena takut akan ketergantungan obat dan berdampak pada ginjal, Nina pernah berhenti beberapa hari. “Ternyata dampaknya lutut saja sakit luar biasa. Kalau dimisalkan progresnya dari 1-10, aku sudah di nomer 4, tapi karena berhenti minum jadi mengulang lagi ke awal,” ujarnya.

Dengan pengobatan,sekitar 60% lulut kanannya membaik dan ia sudah mampu berdiri tegak lurus. Lutut kirinya masih sekitar 50%, belum kuat untuk lurus, dan terasa ada yang mengganjal dan ngilu.

Nina kadang merendam tangannya dalam cairan lilin dan menjalani terapi akupuntur elektrik. “Tangan saya dulu juga sakit. Kedua tangan dimasukkan dalam cairan lilin, panas sebentar, kemudian dikelupas. Kemudian terapi seperti akupuntur, alat ditempelkan di tangan dan dialiri listrik. Ada rasa seperti kesetrum sedikit. Ini sangat membantu, dan sekarang kedua tangan saya sembuh total,” katanya.

Mengatasi stres akibat penyakit adalah penting. Rina memilih refreshing ke alam terbuka.  Sebulan sekali, ia sempatkan pergi ke pemandian air panas di Ciseeng, Bogor. Tujuannya untuk merendam kakinya dalam air belerang. “Setelah berendam, kaki rasanya jadi lebih ringan,” ujarnya.

Kini, ia menjadi inspirasi bagi sesama penderita RA; ia sering diminta berbagi pengalaman. Penyakit boleh ada, tapi semangat dan iman tidak boleh luntur. Dengan dua hal itu ia menapaki hidupnya dengan penuh semangat. (jie)