mengidap epilepsi dan tetap berprestasi

Mengidap Epilepsi, Aska Primardi S.Psi, MA Menghindari 5K

Mengidap epilepsi, ia berprestasi sampai menjadi sarjana dan meraih gelar MA.”Tetap percaya diri dan hindari 5K,” katanya.

Sekelompok anak sedang bermain bola. Kemudian seorang ibu memanggil anaknya, Adi, yang sedang bermain. Kata sang ibu, ““Epilepsi bukan penyakit menular atau keturunan. Epilepsi dapat disembuhkan.”

“Yuk, Di, main bola lagi,” ujar seorang anak sambil melempar bola ke arah Adi.

Iklan di TV tahun 1990-an itu terasa mengena. Sayangnya, hingga kini masyarakat belum benar-benar memahami apa itu epilepsi. “Stigma negatif terhadap penderita epilepsi masih ada,” ujar  Sekertaris Yayasan Epilepsi Indonesia, Aska Primardi S.Psi, MA.

Pria yang tumbuh di Kota Gudeg, Yogyakarta, ini ketika SMA sempat dijauhi teman-teman karena kejang saat jam pelajaran. “Ada yang beranggapan, air liur yang keluar saat kejang itu menular. Masih banyak orangtua yang malu anaknya epilepsy, dikurung di kamar dan diikat.” 

Padahal, si anak tidak salah apa-apa. Dengan menerima dan terbuka pada orang lain,  penderita epilepsi bisa sangat terbantu. “Penderita bisa belajar dan menerima penyakitnya. Pada kasus saya, setelah bisa bersahabat dengan penyakit, kejadian kambuh jauh berkurang,” katanya. 

Bukan hal mudah. Aska butuh waktu 9 tahun, untuk bisa menerima bahwa ia menderita epilepsi. Ia mengamati diri sendiri dan menemukan, ada “5K” yang membuat serangan kejang berpotensi muncul: kedinginan, kepanasan, kecapekan, kepikiran, kelaparan. Maka, sebisa-bisa ia menghindari sehingga aktivitas sehari-hari dan kegiatan belajara tidak terganggu. Buktinya, ia bisa  lulus Fakultas Psikologi UGM, dan melanjutkan studi sampai meraih gelar MA.

Untuk membantu sesama penderita epilepsi, ia menulis di blog sekalian untuk melepaskan uneg-uneg dan mengatasi masalah ‘K’ ke- 4 (kepikiran). “Sebelumnya, saya tidak kenal dengan penderita epilepsi yang lain. Dari blog saya mendapat informasi, epilepsi dapat disembuhkan lewat operasi,” katanya.

Aska mantap menjalani operasi. Saat akan dioperasi, saat batok kepalanya harus dibuka dan bagian otak yang rusak diambil, ia menjalaninya dengan riang. “Saya nothing to lose. Kalau operasi gagal, toh saya sudah biasa me-manage hidup dengan epilepsi,” ujar suami Eldiani Putri ini. Operasi dilakukan tahun 2007 di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, setelah wisuda S1.

Operasi berlangsung pukul 08.00 - 16.00 dan berhasil. Usai operasi, untuk sementara ia tinggal di Semarang, sampai jahitannya dibuka. Setelah semuanya dinilai “oke”,  Aska naik mobil kembali ke Yogyakarta. Ia duduk di belakang dan kepalanya terasa agak pusing.

“Otak saya seperti botol air yang hanya terisi 2/3. Guncangan membuat kepala seperti  koplak,” katanya. Tapi, secara umum kondisinya baik.

Ia mendorong penderita epilepsi lain untuk terbuka dengan menulis di blog-nya. “Kita sebagai ODE (orang dengan epilepsi), perlu menjelaskan kepada semua orang mengenai serangan kejang. Kalau  tidak memberitahu bahwa kita punya epilepsi, bahwa kita akan kena serangan, bahwa epilepsi tidak menular, bagaimana orang lain bisa berperilaku seperti yang kita harapkan,” ia menulis.

Dengan bercerita kepada teman/orang lain mengenai epilepsi dan serangannya, khalayak bisa mengerti dan memahami apa itu epilepsi. “Respon buruk dari teman-teman selama ini umumnya hanya dalam pikiran saya, bukan di dunia nyata. Ketika teman-teman memahami, perilaku mereka lebih bersabahat.”

Mengidap Epilepsi, Aska Primardi S.Psi, MA Bisa Berkarir di Perusahaan Swiss

Serangan epilepsi pertama dialami Aska di SMP saat mengikuti Jambore Pramuka tahun 1998. Saat itu, ia bersama teman-teman sedang mendengarkan ceramah usai sholat magrib.

“Saya merasa seperti tidur sebentar, terus sadar lagi. Setelah ceramah, teman saya bertanya: kenapa tadi teriak-teriak?” kenangnya.

Serangan kedua menghantarkannya ke rumah sakit. Tahun 1999, di SMP kelas 3, Aska kembali tidak sadarkan diri ketika diabsen guru saat mulai pelajaran. “Saya disuruh angkat tangan, tidak bisa. Anehnya, ketika diminta maju bisa. Tapi, kemudian saya pingsan.”

Antara sadar dan tidak, ia merasa digotong dan memberontak. Ketika membuka mata, ia sudah berada di rumah sakit depan sekolah. Sejak itu, ia mengalami serangan setiap minggu. Dalam 10 hari, ada serangan kejang selama 3 hari, dan dalam satu hari bisa 2-3 serangan. Serangan biasanya didahului aura rasa takut, cemas, jantung berdegup kencang, napas cepat. .

“Saya cerita ke dokter: seperti ada orang mengikuti dari belakang. Hasil tes EEG (Electroencephalography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)menunjukkan mirip gejala kejang, namun tidak jelas,” papar bapak satu putri ini.

Selama 10 tahun, Aska terombang-ambing tanpa tahu kejelasan penyakitnya. Diberi obat epilepsi 3 macam dengan trial error, berganti-ganti obat dan dosis naik turun, karena dokter hanya berasumsi kejang mengarah ke epilepsi. 

“Dokter bingung, saya juga bingung, apa benar epilepsi,” ujar pria yang jago main piano ini.

Masuk SMA, di lingkungan baru, serangan terjadi lagi. Karena teman barunya tidak mengerti, Aska dihindari. Sebagai kompensasi, Aska giat belajar dan berusaha mendekati teman-teman dengan prestasi.

“Waktu itu, ada soal matematika yang satu kelas tidak bisa. Kebetulan nilai saya 100. Sejak itu teman-teman mau mendekat dan bertanya mengenai  pelajaran,” kenang Aska. Selama di SMA, ia langganan juara kelas. Tahun 2006, saat mengerjakan skripsi, ia mulai bisa berdamai dengan masalah kejang. Ia konsentrasi mengerjakan tugas sebanyak mungki saat kondisi fit, meski dead line masih jauh. Tujuannya, jika sewaktu-waktu kejangnya kambuh dan harus istirahat, tugas-tugasnya tidak terbengkalai.

Ia mendapat kepastian tentang kondisinya setelah periksa ke spesialis bedah saraf di Semarang, yang bisa mengoperasi otak penderita epilepsi.

“Kepada dokter spesialis bedah saraf, saya utarakan tentang aura yang saya alami. Ia menerima itu sebagai hal yang relevan. Dinyatakan bahwa yang terganggu adalah bagian otak yang mengontrol pendengaran, maka akan muncul gangguan di pendengaran,” paparnya.

Sekali lagi ia menjalani tes EEG, “Kali ini dalam kondisi serangan. Ternyata benar. Ada masalah di otak bagian kiri. Bagian itulah yang dioperasi.”

Aska bersyukur. Setelah menjalani operasi, hanya pernah stu kali ia diserang kejang. Secara umum, kondisinya kini baik, sehingga diteritama bekerja di perusahaan Swiss. Untuk  mengantisipasi kejang kembali menyerang, ia rutin mengonsumsi obat anti-epilepsi. (jie)