Masduki Baidlawi “Jangan Maksa, Jangan Merasa Sakit”

Masduki Baidlawi “Jangan Maksa, Jangan Merasa Sakit”

Dengan 4 ring di dalam dada, ia mendaki bukit, kail disambar ikan tuna seberat 37 kilo di laut Alor dan bersepeda menempuh jarak 120 Km. “Saya belum pernah kena serangan, jantung saya masih bagus,” katanya.

 

Tiga bulan menjelang Ramadhan lalu, kesibukannya luar biasa. Dari Jakarta ia terbang ke Bengkulu, lalu ke Wonosobo, Magelang, Nusa Tenggara Barat (NTB), Padang, kembali ke Bengkulu, kemudian mengikuti pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Puncak, Jawa Barat. Pulang sebentar ke rumah, jadwal lain sudah menanti. Menempuh perjalanan marathon seperti itu, Masduki Baidlawi (58 tahun) tak kelihatan lelah. Padahal, di dadanya sudah terpasang 4 (empat) ring karena pembuluh darah ke jantung tersumbat.

                “Alhamdulillah, kata teman-teman sekarang saya tambah sehat dan fit,” ujar  Wakil Sekjen PBNU dan mantan anggota DPR dari PKB ini. Banyak kesibukan karena ia juga Ketua Komisi Infokom MUI, Pemimpin  Redaksi majalah Mimbar Ulama dan Direktur MMD Initiative. Seringnya ke luar kota belakangan ini, antara lain karena ia menjadi salah satu juri Fran Seda Award 2016 dan harus menemui para nominator di beberapa daerah.

                Di luar kesibukan formal, ia punya hoby yang memerlukan ketahanan fisik dan psikhis prima: menjelajah alam termasuk mendaki bukit, memancing di laut lepas dan bersepeda menempuh jarak 100 Km lebih.

Mei 2016, ia bersama Prof. Totok Amin Soefijanto dari Universitas Paramadina masuk hutan lindung dan mendaki gunung di Pariaman, untuk melihat air terjun hutan belantara Gamaran dan air terjun Lubuak Nyarai. Medannya berat. Dari kampong terdekat sekitar 5,5 Km, jalannya naik turun disertai menyeberang sungai, 4 jam kemudian baru sampai di tempat tujuan. Saat turun relatif agak cepat, sekitar 2 jam.

Beberapa hari sebelum itu, bersama sahabat lama tour ke Wonosobo. Jalanan macet sejak keluar Jakarta dan baru sampai Wonosobo jam 02.30. Setengah jam kemudian, ia ikut mendaki bukit Sikunir di daerah Dieng untuk melihat sunrise. Masih belum puas, dini hari esoknya ia mendaki bukit Punthuk Setumbu di Magelang yang kini ramai dikunjungi, setelah Dian Sastro meninggalkan jejak kakinya lewat shooting film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2.

                “Awalnya saya ragu bisa melakukan itu semua,” kata ayah 3 anak ini.

                Sejak operasi pemasangan 4 (empat) ring di pembuluh darah yang menuju jantung, dokter wanti-wanti agar jangan berolahraga atau melakukan kegiatan fisik terlalu berat. Olahraga cukup jalan kaki atau bersepeda di sekitar rumah. Masduki mencoba patuh. Apa mau dikata. Sudah menjadi aktivis sejak  muda, setelah 4-5 tahun menuruti nasehat dokter ia merasa bosan dan mencoba kembali menimati hidup dengan melakukan berbagai aktivitas.

                 

Hadiah ulang tahun ke-50

                Ketika masih menjadi jurnalis, usai deadline kurang tidur dan salah makan ia tumbang dan masuk rumah sakit, karena terserang diare sampai BAB (buang air besar)-nya berdarah. Isteri datang membesuk sambil menuntun ketiga anak mereka yang masih kecil.

                “Ya, Allah, “ katanya. “Saya seperti diingatkan. Anak saya masih kecil-kecil. Kalau saya meninggal, bagamana?”

                BAB berdarah karena disentri. Cak Duki menganggap  itu sebagai “tanda-tranda kematian” . Ia tak ingin mati muda. Keluar rumah sakit, kebiasaan merokok sejak usia 6-7 tahun (terakhir 2 bungkus /hari) dihentikan. Itu tahun 2000.

                Sekitar akhir tahun 2006, ia merasa ada yang tidak beres. Saat naik tangga, nafasnya ngos-ngosan. Periksa ke dokter diketahui, tiga pembuluh darah ke jantung mengalami penyempitan 60-70%. Disarankan untuk dipasang ring. Kata dokter spesialis jantung, kondisi yang dialami itu berbahaya; ibarat macan tidur, kita tidak tahu kapan macan itu akan mengaum. Karena belum siap pasang ring, ia menolak. Lagi pula, pasang ring atau tidak, “Kata dokter saya harus tetap minum obat, meski kalau pasang ring kondisi lebih aman.”

                Setahun berlalu, tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan. Dalam perjalanan ke luar kota, tiba-tiba dada kirinya terasa nyeri. Dilakukan pemeriksaan dan diketahui penyumbatan bukan hanya tiga tetapi di empat titik. Cak Duki tak bisa mengelak untuk kateterisasi dan pemasangan ring. Jadwal ditentukan: hari Jum’at jam 10.00. Ternyata harus ditunda sampai besok, karena Dr. dr. M. Munawar, SpJP, yang adalah dokter kepresidenan mendadak dipanggil ke istana.

                Cak Duki tegang. Apalagi esok harinya, ia genap berusia 50 tahun. Hari Sabtu, akhirnya alat kateter yang berkamera dimasukkan via kaki. Selain penyumbatan di 4 titik, tampak ada sejumlah titik-titik kecil. Dan di luar dugaan,  “Operasi tidak sedrasmatis yang saya bayangkan. Hampir tidak terasa. Pemasangan ring berjalan lancar.” Tiga hari kemudian ia sudah boleh pulang, dengan nafas yang terasa plong.

 

Komunitas sepeda

                Selain merokok, Cak Duki menduga masalah kesehatan yang dialami karena, “Kalau makan saya ngawur.” Banyak aktivitas di luar rumah, makan sering tidak terkontrol. Ia suka daging kambing, juga durian, yang kurang baik untuk kesehatan, apalagi bila dikonsumsi berlebihan. Setelah pasang ring, kedua jenis makanan itu hampir tak pernah disentuh.

                Mengenai olahraga, ia ingat dokter lain yang punya pendapat berbeda: silakan olahraga sampai jauh dari rumah, asal jangan maksa. Kalau merasa capek berhenti, nanti dilanjutkan lagi. Kebetulan, di lingkungan tempat tinggalnya di Pamulang ada komunitas penggemar olahraga bersepeda. Mereka umumnya sudah pension. Usia kepala 5, 6 bahkan 7, mereka sudah biasa bersepeda jarak jauh.

                Cak Duki mengutarakan kondisi kesehatannya.

                “Tidak masalah,” ujar yang dituakan di komunitas sepeda. “Malam sebelum bersepeda harus cukup istirahat. Bapak akan kami kawal.”

                Begitulah. Minggu pertama Cak Duki menempuh jarak 10 Km. Minggu berikutnya naik menjadi 20 Km, dan karena asyik dilakukan sampai 3x seminggu. Setelah 4 bulan dalam pengawalan, dan ternyata tidak ada masalah, Cak Duki dinyatakan “lulus”. Tak ada lagi yang mengkhawatirkan tentang kesehatannya, termasuk Cak Duki sendiri.

                “Jangan merasa sakit dan seperti kata dokter: jangan maksa,” katanya.

                Maka, bersepedalah Cak Duki menempuh jarak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Bersama 8 sampai belasan anggota komunitas sepeda lainnya, mereka bersepeda dari Pamulang sampai Puncak. Kadang ke Gunung Bunder, pintu air Katulamba, ke Sifor yaitu hutan penelitian milik IPB yang  ada danaunya. Pada kesempatan berikutnya mereka ke Pasir Angin, Gadog dan melewati bekas peternakan sapi Pak Harto di Tapos. Jarak 50-60 Km sudah biasa.

Pernah menempuh 120 Km. “Berangkat pagi jam 07.00, jam 15.00 sudah kembali ke rumah. Di jalan kami sholat, wisata kuliner dan beristirahat  sambil melihat pemandangan.”

Ada trek yang hanya sekitar 30 Km, tetapi tidak semua bikers mampu melewati karena medannya sangat berat. Trek Cidampit sepanjang 30 Km ini terletak di pinggir hutan di Provinsi Banten. Untuk sampai ke sana, para bikers dan sepedanya diangkut naik truk.

Sampai di atas gunung, mereka diturunkan dan segera berhadapan dengan medan berat berupa jalan setapak penuh genangan air, rawa, gerumbul perdu, lumut, akar besar, kayu yang melintang dan di beberapa titik pepohonan dengan daunnya yang lebat tak bisa ditembus sinar matahari. Bertemu ular dan binatang hutan saat melintas, hanya menambah serunya petualangan. Lelah? “Hal yang berat, kalah sama senang,” katanya.

 

Dikejar badai

                Kegiatan gila-gilaan berupa olahraga berat dan menantang, dilakukan sejak sekitar dua tahun terakhir. Selain mendaki bukit dan bertualang dengan  sepeda, CaK Duki melanjutkan hoby lama: memancing di laut lepas. Ia pernah memancing di perairan Alor. Dari Jakarta ke Bali lalu NTT. Dari NTT naik pesawat kecil menuju Kalabahi, dekat Laut Timor. Kali lain  ia memancing di perairan Pulau Marasende, Majene, Sulawesi. Atau ke perairan sekitar Pulau Bali. Kadang ke Bengkulu. Kepulauan Seribu?

                “Pulau Seribu sudah nggak banyak ikannya,” katanya.

                Di perairan Teluk Semangka daerah Tanggamus, Lampung Barat, ikannya masih lumayan banyak. Juga di Pulau Tunda, Banten lama, yang berjarak tempuh 4 jam dari pelabuhan Karangantu. Berangkat malam hari. Istirahat di kapal kemudian memancing, mulai jam 02.00 sampai jam 14.00. Secara garis besar, laut dihuni dua jenis ikan yakni ikan tinggal (rumahan) seperti kakap, kerapu dan ikan ekor kuning. Ikan jenis ini tinggalnya karang-karang.

                Para pemancing umumnya mengincar ikan pemburu seperti tongkol, tuna dan marlin. Ikan ini tak punya tempat tinggal, selalu mengembara di perairan bebas antar Negara. Ikan pemburu yang menyambar umpan tak mudah menyerah. Untuk menaklukkannya butuh waktu lalu. Sebelum menyerah, ikan marlin yang menjadi favorit para pemancing, akan terbang lalu menyelam lagi ke laut dalam. Begitu berulang kali. Cak Duki pernah bertarung selama satu jam untuk menundukkan ikan tuna 37 kilo.

                “Tarikannya luar biasa,” katanya.

                Memancing  di laur Alor 4 tahun lalu, ia antara senang dan sedih. Senang karena banyak mendapat ikan; paling kecil beratnya 8 kilo. Ikan dipotong-potong dan ditaruh dalam boks. Apa mau dikata, karena pesawatnya kecil maka bagasi yang bisa dibawa sangat terbatas.

                “Sedih melihat hasil pancingan tak bia dibawa pulang,” katanya.

Pengalaman mendebarkan saat memancing di Lampung selatan, dengan gunung-gunung karang di bawah laut. Sore hari ketika asyik memancing,  kapten kapal melihat tanda-tanda akan ada badai besar. Tak mau ambil resiko, kapal diarahkan ke Pulau Krakatau sampai terpontal-pontal. Di belakangnya badai dan hujan deras mengikuti. Beruntung perahu bisa berlindung di balik pulau.

                “Alhamdulillah, kami selamat,” ujarnya.

                Ia juga bersyukur kesehatannya dirasakan makin membaik. Kuncinya: teratur minum obat dari dokter; antara lain obat pengencer darah, obat anti kolesterol dan obat jantung. Ia tak tertarik mencoba obat herbal atau alternative. Alasannya, “Obat dokter sudah teruji secara ilmiah. Saya percaya.”

                Ia banyak minum air putih, kadang diberi irisan jeruk (infuse water). Kopi kadang-kadang, minum teh selalu tanpa gula. Nasinya nasi jagung. Sudah dipasangi 4 ring, kata Cak Duki, “Saya belum kena serangan jantung. Jadi, jantung saya masih bagus.”