Chiara Lionel Salim, Advokasi Psoriasis Lewat Media Sosial
chiara_psoriasis

Chiara Lionel Salim dan Advokasi Psoriasis Lewat Media Sosial

Melihat unggahan foto riasan wajah di Instagram Chiara Lionel Salim (@chichilionel), orang akan berdecak kagum. Tampak jelas bahwa Chiara adalah seorang seniman tata rias atau MUA (make-up artist) berbakat. Di antara foto-foto riasannya, tampak pula foto-foto kulitnya yang berbercak merah, dan unggahannya tentang psoriasis.

Ya, Chiara Lionel Salim adalah seorang pejuang psoriasis. Perjalanannya hidup bersama psoriasis berawal di 2008, saat ia duduk di kelas 3 SD. Suatu hari ia terjatuh dari sepeda, dan betis sebelah kirinya luka. Siapa sangka, luka kecil itu berujung pada penyakit autoimun. “Biasanya, luka kan sembuh beberapa hari setelah diobati. Tapi ini nggak; malah makin parah,” ujar Chiara. Mulai muncul bercak merah di sekitar lukanya.

Orangtuanya pun khawatir, dan membawa Chiara ke dokter. Bermacam diagnosis disebutkan, pengobatan dijalani, tapi lukanya tak kunjung sembuh. Kemudian bercak-bercak merah di luka mulai menyebar ke area kaki maupun bagian tubuh lain. “Mama berpikir jangan-jangan ini psoriasis. Mama curiga karena bercak di kulitku mirip dengan kakak papa yang psoriasis,” tutur Chiara. Tanpa menunggu lama, sang mama pun menanyakan mengenai kemungkinan psoriasis ke dokter yang merawat Chiara, “Barulah dokter berpikir ke sana, dan akhirnya ketahuan kalau aku psoriasis.”

Apa yang dialami Chiara kemungkinan adalah fenomena Koebner dalam psoriasis. Luka di kulit memicu munculnya lesi psoriasis, pada mereka yang memiliki bakat genetik untuk psoriasis.

Chiara dan karya tata riasnya / Foto: IG Chiara

Terkucilkan, depresi: efek psikososial dari psoriasis

Chiara baru berusia 9 tahun ketika ia didiagnosis psoriasis, penyakit autoimun yang menyerang kulit. Saat itu ia belum bisa memproses kondisi yang dialaminya secara keseluruhan. Namun satu hal yang disadarinya: ia berbeda dengan teman sebayanya. “Teman-temanku bisa punya kulit mulus, sedangkan badanku merah-merah, bersisik, perih, gatal,” ujar Chiara. Kisah ini diceritakannya dalam diskusi bertajuk Psoriasis, Lebih dari Sekadar Penyakit Kulit, Kamis (5/11/20).

Psoriasis sempat meruntuhkan rasa percaya diri Chiara. Ia tak kuasa menahan rasa sedih melihat kondisi kulitnya, yang membuatnya berbeda dengan teman-temannya. “Aku sangat terpukul, bertanya-tanya kenapa harus aku yang kena penyakit ini. Aku merasa jelek, dan tidak bernilai sebagai manusia,” kenang Chiara.

Psoriasis memang bukan penyakit kulit biasa. Bercak merah pada psoriasis disertai dengan kulit yang menebal dan bersisik, membuat orang kerap salah paham dan mengiranya sebagai penyakit kulit yang menular sehingga penyandan psoriasis terisolasi bahkan terkucilkan. Chiara pernah tidak diperbolehkan saat hendak mencoba baju di sebuah pusat perbelanjaan.

Perlakukan seperti ini tak jarang membuat penyandang psoriasis merasa terisolasi, depresi, bahkan ingin bunuh diri. Penelitian menemukan, pasien psoriasis yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri lebih tinggi 20% dibanding populasi umum.

Chiara Lionel Salim pun tak luput dari mental breakdown. Chiara memiliki psoriasis eritroderma, jenis psoriasis yang jarang dan berat. Salah satu cirinya, peradangan yang menimbulkan bercak merah hingga menutupi sedikitnya 75% permukaan kulit. “Kalau lagi kambuh dan sebadan merah, psikis kena banget. Kadang ada episode mini depresi,” ucapnya lirih. Untungnya, tidak pernah ada pikiran untuk mengakhiri hidup. Psoriasis yang menderanya juga sudah berkembang ke arthritis (radang sendi).

Keluarga yang sangat suportif, dan selalu ada untuknya melewati masa-masa sulit, sangat berarti. Mama dan papanya selalu mengatakan pada Chiara bahwa psoriasis bukanlah sesuatu yang memalukan. Kedua orangtuanya pun tak bosan mengedukasi pihak sekolah, teman-teman Chiara, dan lingkungan sekitar mengenai psoriasis, sehingga mereka paham. “Ini yang membuatku bisa sangat terbuka dengan kondisiku. Aku sangat bersykur,” ujar Chiara Lionel Salim.

Menengok ke belakang, Chiara belajar banyak dari psoriasis. Ia belajar menerima diri sendiri apa adanya, dan mencintai diri seutuhnya. “Walaupun kurang, berbeda, tidak sempurna, tapi itu tidak menjadi keterbatasan. Ini pembelajaran seumur hidup,” ujarnya berefleksi.

Perjalanannya memang sulit dan luar biasa melelahkan. Banyak naik turun, banyak ketidakpastian. “Ini melatihku sejak kecil untuk gak gampang menyerah dan putus asa. Kalau satu hal gak bekerja, cari jalan lain. Kalau jatuh, belajar bangkit lagi,” tuturnya. Semakin dewasa, ia belajar untuk mengasihi diri dan orang lain.

Sudah 12 tahun Chiara hidup bersama psoriasis. Hingga kini penyakitnya masih suka kambuh, “Terutama kalau stres atau kecapekan.” Semua pengobatan untuk psoriasis sudah dicobanya, berbagai fase pun sudah dilaluinya. Kini ia menjalani terapi dengan suntikan agen biologis.

Salah satu unggahan Chiara terkait kampanye psoriasis / Foto: IG Chiara

Advokasi lewat media sosial

Chiara sadar, masih banyak kesalahpahaman tentang psoriasis di masyarakat umum. Kepedulian dan pemahaman tentang kondisi ini pun masih sangat kurang. “Masih banyak teman-teman psoriasis yang dibilang kena black magic, di guna-guna, dikucilkan, dibilang jorok, orang-orang merasa jijik, takut tertular, ditolak dari kerjaan, tidak memiliki teman, merasa depresi hingga memiliki suicidal thoughts,” tuturnya.

Usai menyelesaikan kuliahnya tahun lalu, Chiara mulai membangun platform seputar psoriasis. Salah satunya melalui Instagram @psoriasis_id. Di akun ini, bisa ditemukan informasi lengkap mengenai psoriasis, hingga pilihan pengobatan yang ada, dan pola hidup yang dianjurkan bagi penyandang psoriasis. Ada pula cerita dari teman-teman psoriasis, “Aku percaya dengan kekuatan komunitas. Platform di media sosial membuat kita merasa tidak sendirian.”

Kampanye #CeritaPsoriasisKu di Instagram mendorong para pejuang psoriasis untuk lebih terbuka bercerita. “Kalau sudah cerita, kita jadi lebih lega,” ujar Chiara. Kini tengah dikampanyekan #PahamiPsoriasis agar tidak ada lagi salah paham soal psoriasis.

Chiara dan pejuang psoriasis lain membuat support group sejak Oktober 2019. Berawal dari sekitar 20 orang penyandang psoriasis, sekadar untuk saling curhat dan mengeluarkan uneg-uneg. “Kadang kita malu cerita ke orang lain, dan mereka mungkin juga tidak mengerti. Support group adalah safe place untuk bercerita,” ungkapnya. Di masa pandemi ini, sesi support group diadakan secara daring. Sisi baiknya, lebih banyak penyandang psoriasis yang bisa ikut, dari berbagai daerah.

Yuk, pahami psoriasis lebih baik. “Bantuanmu mengedukasi akan membantu jutaan pasien psoriasis untuk hidup lebih baik dengan kondisi mereka,” pungkas Chiara Lionel Salim. (nid)