Bukan Ketombe, Tapi Psoriasis | OTC Digest

Bukan Ketombe, Tapi Psoriasis

Masa remaja di SMA adalah masa penuh kenangan.” Bagi Mutia Wisnu (kini 42 tahun), sayangnya kenangan itu tidak terlalu membahagiakan. Di masa remaja, kulit kepalanya berketombe. Awalnya, Mutia menganggap hal itu biasa. Terasa menjadi tidak biasa, karena ketombe yang dialaminya ber tambah banyak dan parah. Di pundaknya selalu terlihat ada serbuk putih, juga di baju dan meja serta kursi. Kondisi kulit kepalanya makin penuh ketombe mirip sisik yang mengelupas.

Aneka obat antiketombe dicoba, gangguan di kulit kepalanya tak kunjung sembuh. Kulit kepalanya yang kering, diolesi baby oil oleh ibundanya . Tetap tidak ada efeknya, membuat Mutia frustasi. Maka, untuk beberapa lama, ketombe itu dibiarkan tanpa perawatan. Juga ketika ia menjalani program pertukaran pelajar ke Australia selama satu tahun.

Yang mengkuatirkan karena lama kelamaan, sisik di kulit kepalanya tambah lebar sampai ke belakang telinga, muncul di leher, siku dan punggung. Merasa tidak wajar, Mutia kemudian dibawa ke dokter kulit. Yang diderita Mutia ternyata bukan ketombe, melainkan psoriasis. Yakni penyakit autoimun yang mengenai kulit. Sel imun terlalu aktif dan berbalik menyerang tubuh sendiri. Ditandai dengan sisik berlapis berwarna keperakan, disertai penebalan warna kemerahan dan rasa gatal atau perih. Bila sisik ini dilepaskan akan timbul bintik perdarahan di kulit di bawahnya.

“Yang saya alami adalah psoriasis tipe gutata, yang bintik-bintik. Yang di punggung jenis psoriasis plak. Lebih besar, selebar piring,” papar ibu dua anak ini.

Malu itu pasti. Apalagi saat itu ia masih SMA. Kalau pergi bersama teman-teman cewek suka mandi bareng. “Aku nggak ikutan dan mencoba menjelaskan alasannya,” ujarnya. “Masih untung kalau mereka nanya. Yang nggak enak, kalau mereka hanya diam lalu bisik-bisik.”

Salep obat kortikosteroid (antiradang) tidak bisa benar-benar menyembuhkan. Efek obat membuat kulit bersih. Namun, sebulan kemudian sisik-sisik kembali muncul. Terutama jika daya tahan tubuh sedang menurun atau stres.

Pernah, ia mengalami cacar air. Di tubuhnya, cacar ini hanya meninggalkan jejak dua titik. Namun, psoriasisnya semakin hebat. Penderita psoriasis tidak boleh terkena infeksi baik virus atau bakteri. Dilarang minum obat/suplemen penambah daya tahan tubuh.

Psoriasis yang dialami Mutia sifatnya hilang timbul, sampai saat ini. Ada kalanya istri Wisnu Subroto (42 tahun) ini merasa putus asa, capek dengan penyakit yang selalu datang dan datang lagi. Ibarat pohon, Mutia merasa kulitnya meranggas. Iri melihat kulit orang lain yang mulus. Ia tidak bisa melakukan perawatan kulit seperti luluran, scrub, spa. Juga sebisa-bisa menghindari make up.

“Kulit penderita psoriasis sensitif, nggak bisa pakai maskara atau bulu mata antibadai. Baru kena lemnya saja bisa sakit tiga bulan, bisa jadi badai beneran buat saya, ha ha ha.”

Beruntung ia menikah dengan teman satu sekolah di SMA, yang bisa memahami kondisinya. Walau begitu, ia kadang merasa minder juga.

“Anak saya bilang, kulit saya seperti kulit kentang, warnanya tidak rata. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa mohon pertolongan Tuhan, supaya diberi jalan keluar dan tetap tahan banting,” ucap wanita berdarah Sunda – Betawi ini.

Jika penyakitnya kambuh akibat kulit kering, rasa gatal yang timbul bisa tak tertahankan. Namun penderita psoriasis dilarang menggaruk, karena bisa membuat kulit terkelupas, berdarah dan meradang. Kadang, secara tak sengaja Mutia menggaruk, misalnya saat tidur. “Waktu bangun, ada bekas bercak-bercak darah di baju,” ungkap wanita yang tinggal di Bekasi ini.

Saat ia masih bekerja di perusaan PR agency, stres sering memicu kekambuhan. Kini, ia memilih menjadi freelancer konsultan komunikasi kesehatan, sehingga psoriasisnya lebih ‘jinak’. “Sejak 2013 saya berhijab, psoriasis banyak berkurang. Yang di kepala hilang sama sekali.”

Awalnya sempat ragu berhijab. Takut memperparah psoriasis, karena kulit kepala tertutup, panas, lembab dan tidak kena sinar matahari. Alhamdulillah, yang terjadi justru sebaliknya. “Mungkin karena aku jadi lebih tenang,” ujarnya.

Bila secara skala 1 sampai 10, sebelum menggunakan hijab gangguan psoriasis ada di angka 8. Kini turun menjadi 6, membuat ia lebih percaya diri saat beraktivitas, termasuk bisa berenang.

 

Hipertiroid

Sebagai penyakit autoimun, psoriasis jarang sendirian. Biasanya diikuti komplikasi lain. Pada Mutia, muncul dalam bentuk gangguan hormon tiroid yang terlalu aktif (hipertiroid), membuat jantung berdetak kencang, cepat lelah, napas ngos-ngosan walau aktivitasnya normal.

“Yang paling parah tremor. Saya jadi susah nulis, tidak bisa gendong anak. Berdiri atau turun tangga jadi gamang. Karena berdetak kencang, saya bisa mendengar detak jantung, bahkan saat tidur,” papar ibu dari Raka Arghya (15 tahun) dan Rainendra (12 tahun) ini.

Mengalami hipertiroid tahun 2006 – 2014, ia tidak tahu jika penyakit ini berhubungan dengan psoriasisnya. Pengobatan dilakukan sendiri-sendiri dengan mengonsumsi obat antitiroid. Selama pengobatan hipertiroid, psoriasis tetap hilang timbul.

Mutia berharap, psoriasis tidak menurun ke anak-anaknya. Rainendra, anak kedua, juga mengalami gangguan kulit di areal tubuh yang sama seperti psoriasisnya bercokol. ”Tapi kata dokter, itu dermatitis atopik (eksim), bukan psoriasis, yang lebih dipicu oleh alergi. Belum ada penelitian, apakah eksim bisa berkembang menjadi psoriasis,” terangnya.

Sebagai upaya menjaga agar psoriasis tidak berkembang parah, selama 2 tahun terakhir, Mutia menjaga pola makan. Ia mengurangi konsumsi daging merah (mengandung asam arachidonic) yang bisa memicu peradangan. Ia biasakan minum air putih hangat + lemon, sarapan buah tiap pagi, memperbanyak sayur dan suplemen omega 3. Itu sesuai anjuran ahli gizi bahwa idealnya, penderita penyakit autoimun mengurangi asupan gula/karbohidrat, sea food yang memicu alergi dan daging-dagingan. (jie)