Serangan jantung bisa terjadi pada ibu hamil atau pascapersalinan, berisiko tinggi menyebabkan kematian. Disebut kardiomiopati peripartum (PPCM).
Serangan jantung ini biasanya terjadi di akhir kehamilan atau pada tahap awal pascapersalinan. Sayangnya kerap terjadi salah diagnosis, menyebabkan penanganan terlambat dan bisa berakibat fatal.
Kehamilan adalah suatu proses yang besar, menyebabkan perubahan mulai dari hormon, fisik, hingga mental ibu. Kehamilan juga bisa berdampak pada sistem kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah).
Gejala paling umum serangan jantung pada kehamilan adalah sesak napas dan pembengkakan, mirip tanda-tanda kehamilan tahap akhir. Atau, kelelahan pada ibu yang baru saja melahirkan. Ini serupa dengan gejala kelelahan akibat kurang tidur pascamelahirkan. Membuatnya sulit dikenali sebagai serangan jantung.
Menurut Michael Givertz, MD, profesor kardiovaskular di Harvard Medical School, Boston (AS), sering kali pasien sudah bolak-balik ke UGD dengan diagnosa asma atau bronchitis, bahkan yang lebih buruk: gangguan kecemasan, sebelum akhirnya mendapatkan diagnosa serangan jantung.
Paper di Journal of the American College of Cardiology menyebutkan gejala yang lebih spesifik adalah gangguan napas seperti sesak napas saat beraktivitas, saat berbaring atau tidur.
Prof. Givertz menjelaskan seseorang dicurigai mengalami serangan jantung pada kehamilan jika memenuhi tiga kriteria berikut:
- Pasien sedang hamil, umumnya pada trimester ketiga atau pasien baru saja hamil, biasanya dalam 5 bulan sebelumnya.
- Pasien menunjukkan gejala khas gagal jantung dan memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) <45%. LVEF adalah ukuran proporsi darah yang dikeluarkan dari ventrikel (bilik) kiri jantung setiap kali kontraksi. Jika nilai LVEF <45% berarti bilik kiri tidak memompa cukup darah ke seluruh tubuh dengan efektif.
- Tidak ada penjelasan lain untuk gejala tersebut.
Penyebab masih abu-abu
Dalam sebuah tinjauan di The BMJ disebutkan faktor risiko serangan jantung ini termasuk preeklamsia (hipertensi pada kehamilan), kehamilan usia lanjut dan kehamilan berulang.
Penyebab pasti PPCM masih belum diketahui. Namun, beberapa pasien mungkin sudah memiliki masalah kardiovaskular sebelumnya. Sementara Prof. Givertz berpendapat serangan jantung ini mungkin disebabkan oleh peradangan virus atau disfungsi autoimun.
Pandangan umum saat ini berdasarkan studi pada hewan yang menyatakan perubahan hormonal selama kehamilan menciptakan semacam gangguan kardiovaskular.
“Hormon laktasi prolaktin entah bagaimana berubah, kemudian menjadi berbahaya bagi otot jantung, menyebabkan apoptosis (kematian sel terprogram secara otomatis),” terang Afshan Hameed, MD, profesor obgyn di UC Irvine School of Medicine, melansir Medscape. “Kadar prolaktin jauh lebih tinggi saat kehamilan dan pascapersalinan.”
Faktor genetik berpengaruh?
Ada pula penelitian yang menyoal apakah faktor genetik mempengaruhi kecenderungan terhadap kondisi kardiovaskular ini.
Prof. Givertz dan tim dalam risetnya yang diterbitkan dalam The New England Journal of Medicine menemukan bahwa 15% dari 172 wanita dengan PPCM memiliki profil genetik mirip dengan orang dengan kardiomiopati dilatasi, dibandingkan dengan 4% dari kontrol tingkat populasi yang cocok dengan kelompok kardiomiopati dilatasi.
Kardiomiopati dilatasi adalah kondisi medis di mana jantung menjadi membesar dan tidak memompa darah secara efisien.
Riset tersebut menunjukan bahwa wanita dengan PPCM memiliki kecenderungan genetik yang lebih tinggi untuk mengalami kondisi yang serupa dengan kardiomiopati dilatasi, dibandingkan populasi umum.
Pengobatan
Pengobatan untuk serangan jantung pada kehamilan hampir sama dengan perawatan untuk gagal jantung, meskipun pada kasus ibu menyusui perlu mengubah regimen obat (menyesuaikan kondisinya).
“90% atau lebih wanita ini akan benar-benar membaik, mengalami peningkatan fungsi jantung selama 6-12 bulan, dan kemudian di masa mendatang mungkin dapat berhenti minum obat, dan bahkan memiliki bayi lagi dengan aman,” pungkas Prof. Givertz. (jie)