Praktik sunat perempuan sejatinya banyak dilakukan di berbagai negara Afrika, seperti Cameroon, Kongo dan Ethiopia. Juga di Timur Tengah, seperti Yemen, Oman, Iraq atau Palestina. Sementara Indonesia, India, Malaysia, Pakistan dan Sri Lanka merupakan negara Asia yang juga mempraktikkan sunat perempuan.
Dari beberapa literatur, motivasi melakukan sunat perempuan berbeda-beda. Salah satu pendapat mengatakan untuk mengontrol gairah seksual perempuan. Pendapat lain mengatakan sunat perempuan dilakukan untuk mempermudah perempuan mencapai orgasme saat berhubungan intim dengan pasangannya.
Namun, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melarang tindakan segala tindakan yang melukai area genital perempuan, bahkan dinyatakan melanggar hak asasi perempuan. Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC) menurut WHO adalah seluruh proses yang mengubah atau menyebabkan perlukaan pada area genital luar perempuan karena alasan non-medis.
FGM dianggap dapat menyebabkan perdarahan dan gangguan kecing. Dalam jangka panjang bisa menyebabkan kista, infeksi, kemandulan dan komplikasi saat bersalin (meningkatkan risiko kematian bayi baru lahir).
Data dari WHO menyatakan sekitar 140 juta perempuan (dewasa dan anak-anak) di seluruh dunia hidup dengan akibat buruk dari FGM, karena sebagian besar dilakukan secara tradisional.
Beberapa jenis sunat menurut WHO antara lain eksisi, di mana seluruh atau sebagian klitoris dan labia minora diangkat; klitoridektomi yang mengangkat sebagian atau seluruh klitoris termasuk bagian lipatan kulit sekitar klitoris; dan prosedur infibulasi yang bertujuan menyempitkan lubang vagina, dengan menjahit labia menjadi satu.
Bagaimana di Indonesia?
Indonesia telah melakukan praktik sunat bertahun-tahun sebagai bagian dari ajaran agama atau tradisi kebudayaan.
“Sunat perempuan di Indonesia dilakukan dengan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) tanpa melukai klitoris,” jelas dr. Valleria, Sp.OG, dari Rumah Sunatan dr. Mahdian, dalam acara bertajuk Memahami Sunat Perempuan dari Sisi Medis, Hukum dan Syariat, yang diadakan di Jakarta (25/4/2018).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan menyatakan khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki izin praktik.
Penorehan tudung klitoris akan membuat klitoris lebih terbuka saat si kecil menjadi dewasa. “Kebersihan vagina, terutama di sekitar klitoris menjadi lebih terjaga,” tambah dr. Valleria.
Tindakan tersebut mirip dengan prosedur hoodectomy, suatu prosedur bedah estetik yang bertujuan “mempercantik” tampilan area genital. Elastisitas kulit di area klitoris (termasuk tudung klitoris) seiring bertambahnya usia akan menurun, sehingga dalam beberapa kasus akan mengganggu sensasi seksual. Beberapa orang merasa perlu untuk melakukan “permak” di area genital.
Dr. Valleria menambahkan, dari sisi medis, memang belum banyak penelitian tentang manfaat sunat perempuan (yang dilakukan sesuai prosedur yang aman). Manfaatnya secara pasti belum diketahui, tidak seperti sunat pada pria yang diketahui bisa mencegah infeksi saluran kemih atau menurunkan risiko penyakit menular seksual. Namun begitu, sunat perempuan tidak dilarang pemerintah. (jie)