Tahukah Anda bila perempuan ternyata lebih berisiko menderita dibanding pria. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menyatakan prevalensi hipertensi pada wanita dewasa (>18 tahun) adalah 36,9%, lebih tinggi dibanding pria (31,3%).
Hipertensi pada siklus hidup perempuan unik, berbeda dengan laki-laki, terang dr. Siska S. Danny SpJP(K), dari Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Hipertensi pada perempuan mungkin terjadi selama kehamilan, akibat penggunaan kontrasepsi oral dan hipertensi setelah menopause.
“Hipertensi pada perempuan berhubungan dengan berbagai perubahan hormonal yang menyertai perempuan sepanjang siklus hidupnya. Siklus hidup perempuan dimulai dengan masa kanak-kanak kemudian diikuti fase remaja, dewasa muda, menopause serta usia tua.
“Dalam setiap fase, terdapat perubahan spesifik yang dapat menempatkan perempuan pada risiko hipertensi serta komplikasi yang menyertainya,” katanya dalam pembukaan The 16th Annual Scientific meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2022, Jumat (18/2/2022).
Pada masa kehamilan
Hipertensi pada kehamilan cukup umum dijumpai pada sekitar 10% kehamilan, menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian ibu hamil di negara berkembang,
Mereka yang berisiko termasuk ibu hamil berusia < 20 tahun atau >40 tahun, memiliki riwayat hipertensi sebelumnya atau ibu dengan diabetes melitus.
Demikian pula pada ibu dengan kelebihan berat badan/obesitas, kehamilan kembar, punya riwayat gangguan ginjal dan penyakit autoimun.
Hipertensi pada kehamilan berisiko untuk ibu atau janinnya. Ibu lebih berisiko mengalami kejang, stroke, gagal ginjal, pembekuan darah, hingga gagal jantung. Sementara pada janin bisa menyebabkan kelahiran prematur, pertumbuhan terhambat atau kerusakan plasenta.
“Pencegahannya meliputi ANC (antenatal care/ periksa kehamilan) runtin, pola makan rendah garam dan lemak, juga menjaga berat badan ideal,” dr. Siska menambahkan.
Baca: Hipertensi Pada Kehamilan Bisa Berbahaya, Tapi Ada Cara Mengatasinya
Kontrasepsi hormonal
Penggunaan obat kontrasepsi hormonal juga merupakan salah satu pemicu terjadinya peningkatan tekanan darah.
Hipertensi terkait pil kontrasepsi didapatkan pada sekitar 2-5% perempuan dengan tekanan darah yang awalnya normal. Sedangkan pada perempuan hipertensi, peningkatan tekanan darah terjadi pada 9-16% pada pengguna pil kontrasepsi.
“Risiko terjadinya hipertensi ini berhubungan dengan dosis dan jenis kontrasepsi yang digunakan, kebiasaan merokok, usia, adanya riwayat hipertensi di keluarga, serta obesitas,” terang dr. Siska.
Tekanan darah sebaiknya diperiksa sebelum dan setiap 3 bulan sesudah penggunaan pil kontrasepsi. Jika terjadi peningkatan tekanan darah, maka obat dapat diganti jenisnya, atau dihentikan dan diganti dengan metode kontrasepsi lain. Tekanan darah umumnya kembali normal setelah pil kontrasepsi dihentikan.
Hipertensi post menopause
Pada wanita yang sudah menopause, hipertensi diduga berkaitan dengan perubahan hormon pada ovarium yang dapat mempengaruhi tekanan darah.
Penelitian Megan Coylewright, et al, menemukan bahwa perempuan dalam masa menopause lebih tinggi tekanan darahnya, ketimbang perempuan pre-menopause. Memasuki masa menopause, kadar hormon estradiol serta perbandingan rasio estrogen dan testosteron menurun.
Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial (sel pelindung pembuluh darah) dan menambah indeks massa tubuh (IMT). Disfungsi endhotelial ini akhirnya meningkatkan sensitivitas terhadap garam, serta kenaikan endhotelin dan angiotensin. Akibatnya, terjadi penyempitan pembuluh darah dan stres oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi.
“Hilangnya efek relaksasi pembuluh darah yang diperantarai estrogen menjadi salah satu penyebab utama, walaupun bukan satu-satunya,” tukas dr. Siska.
Pengobatan hipertensi pada perempuan
Semua jenis obat hipertensi memberikan manfaat yang sama baik pada laki-laki maupun perempuan.
Pemberian dan pemilihan obat pada perempuan tidak tidak berbeda dengan pria, kecuali pada kondisi khusus seperti kehamilan. Terdapat beberapa jenis obat yang harus dihindari pada kehamilan karena potensi membahayakan janin.
Dari semua golongan obat anti hipertensi, ada 2 golongan obat yang tidak boleh digunakan selama kehamilan, yaitu obat golongan inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor), seperti kaptopril, ramipiril, lisinopril, serta obat golongan angiotensin II receptor blocker (ARB), seperti candesartan, losartan, dan irbesartan. (jie)