WHO Global Breast Cancer Initiative (GBCI) menargetkan penurunan angka kematian akibat kanker payudara global sebesar 2,5% per tahun. Dengan target ini, bisa dicegah 2,5 juta kematian akibat kanker payudara di dunia sepanjang 2020-2040. Diharapkan terjadi penurunan mortalitas akibat kanker payudara sebesar 25% pada perempuan usia <70 tahun di 2030, dan 40% penurunan pada 2040.
Tentu bukan hal mudah untuk mencapai target tersebut. Menurut data Globocan 2020, kanker payudara masih menduduki peringkat pertama kanker terbanyak pada perempuan Indonesia, dengan proporsi 16,6% dari total kasus kanker. Terdapat 65.858 kasus baru, dan 22.430 kematian pada 2020. “Sebagian besar pasien datang dalam stadium lanjut, yaitu stadium 3 dan 4,” ungkap dr. Walta Gautama ST, Sp.B(K)Onk, Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI).
Kondisi ini diperburuk dengan pandemi COVID-19 yang melanda sejak awal 2020. Akibat pandemi, pelayanan kesehatan kanker jadi lebih terbatas, baik untuk diagnostik maupun pengobatan. Terutama setelah merebaknya varian Delta, di mana banyak tenaga medis yang terinfeksi. Pasien pun makin takut untuk ke RS. “Terlihat sekali di lapangan bahwa angka berobat pasien stadium 3-4 makin meningkat. Artinya untuk mengejar target akan sulit,” lanjut dr. Walta.
Rekomendasi SEABCS untuk Menekan Angka Kematian akibat Kanker Payudara
Pada 31 Juli - 1 Agustus 2021 lalu diselenggarakan symposium SEABCS (The Southeast Asia Breast Cancer Symposium) ke-5. Mengusung tema “Putting Patients to the Hearts of Breast Cancers Control,” atau menempatkan pasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker payudara, acara tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi penting. Rekomendasi disampaikan oleh Dr. Benjamin Anderson, dan meliputi tiga pilar. Ketiga pilar yang dimaksud yaitu promosi kesehatan untuk deteksi dini, diagnosis kanker payudara, dan tatalakasana kanker payudara yang komprehensif.
Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) Linda Agum Gumelar juga menekankan pentingnya rangkaian program yang berkesinambungan, untuk menekan angka kematian akibat kanker payudara di Indonesia. Mulai dari kebijakan, pelaksanaan di fasilitas kesehatan tingkat primer hingga tersier, hingga tenaga profesi kedokteran agar upaya penurunan kanker payudara stadium lanjut dapat terlaksana dan memberikan hasil yang nyata. "Kerjasama internasional, regional, dan tingkat nasional merupakan penguatan bersama untuk memerangi kanker payudara," tuturnya.
Angka kematian maupun kasus baru kanker payudara diperkirakan akan terus naik hingga tahun 2040, bila tidak dilakukan upaya sejak hulu hingga hilir, dan tanpa didukung regulasi yang jelas.
Salah satu advokasi mendesak untuk pemerintah adalah segera mengeluarkan peraturan atau panduan vaksin untuk pasien kanker payudara dengan persayaratan tertentu. “YKPI menghimbau agar pemerintah bisa mengeluarkan rekomendasi yang pasti terkait vaksinasi pada pasien kanker. Ini juga upaya untuk menurunkan angka kematian akibat kanker payudara,” ujar Ning Anhar dari Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), dan juga Wakil Ketua Penyelenggara SEABCS ke-5.
Vaksinasi sangat penting karena COVID-19 memperburuk kondisi pasien kanker. Angka kematian pasien kanker akibat COVID-19 mencapai 26-28%. Ini jauh lebih tinggi daripada angka kematian pada populasi umum yang berkisar 3-5%.
Kolaborasi dengan ASCO
SEABCS juga menghasilkan kolaborasi yang penting dengan American Society Clinical Oncology (ASCO), untuk membuat standar tatalaksana pasien kanker payudara yang lebih multidisiplin di Indonesia. Kolaborasi ini antara lain berupa pertukaran narasumber atau training yang sesuai dengan program ASCO. Di samping itu juga pengembangan artificial intelegent (AI) dalam breast imaging, baik untuk diagnostik maupun skrining.
Menurut dr. Kardinah Sp.Rad(K) dari Indonesian Women Imaging Society (IWIS), kolaborasi tersebut bisa memperluas wawasan sehingga dokter spesialis tidak terfokus pada satu bidangnya saja. “Penanganan pasien kanker payudara stadium lanjut harus multidisiplin dengan mengedepankan komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter. Saat ini paradigma pengobatan berubah, di mana pasien berhak mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya,” paparnya. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Technology photo created by rawpixel.com - www.freepik.com