Cienpies Design/Shutterstock Marya Yenita Sitohang, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Laporan terbaru United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menunjukkan jumlah orang dengan HIV meningkat di 50 negara, termasuk Indonesia, dengan lebih dari 1,8 juta orang baru terinfeksi virus mematikan ini pada 2017. Yang lebih menyedihkan, 180 ribu anak (0-14 tahun) terinfeksi virus tersebut tahun lalu dan 110 ribu anak tewas karena penyakit yang terkait dengan AIDS.
Secara global, ada 36,9 juta orang hidup dengan HIV tahun lalu, 1,8 juta di antaranya adalah anak-anak di bawah 15 tahun. Bandingkan jumlah total orang dengan HIV pada 2000 yang mencapai 27,4 juta orang. Kabar baiknya, sejak 2010 infeksi HIV baru di kalangan anak-anak telah turun 35% dari 270 ribu pada 2010 menjadi 180 ribu pada 2017.
Ibu atau bayi dengan HIV/AIDS berpeluang besar untuk menyumbang angka kematian ibu maupun bayi yang sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara.
Meski penelitian pada 2003-2010 di 8 provinsi Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi atau angka HIV/AIDS pada ibu hamil tergolong rendah, ini tidak membuat HIV/AIDS pada ibu hamil menjadi masalah kecil. Sebaliknya hasil penelitian memproyeksikan beban sosial dan ekonomi yang cukup besar dari masalah tersebut di masa depan.
Diperkirakan sebanyak 8.604 bayi dengan HIV lahir setiap tahun. Potensi kehilangan biaya yang diperlukan untuk mengobati dan merawat bayi-bayi dengan HIV tersebut sekitar Rp42 miliar setiap tahunnya. Biaya ini digunakan untuk obat antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsi oleh bayi dengan HIV tersebut seumur hidupnya. Kemungkinan untuk menjadi yatim piatu juga sangat besar dialami oleh anak yang lahir dari ibu dengan HIV/AIDS.
Stigma, diskriminasi, dan minimnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS adalah masalah terbesar di Indonesia dalam upaya menurunkan prevalensi orang dengan HIV. Stigma negatif tidak hanya muncul dari masyarakat umum, bahkan juga dari tenaga kesehatan. Meski HIV/AIDS telah masuk ke Indonesia sejak 1987, sebagian besar masyarakat masih belum tahu tentang penyebab dan cara penularan HIV/AIDS. Bagi sebagian masyarakat, bersentuhan atau berbagi alat makan atau handuk, misalnya, dianggap dapat menularkan HIV/AIDS.
Perubahan pola transmisi
Sebagai salah satu penyakit menular seksual, HIV dan AIDS kerap diasosiasikan dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) sebagai kelompok yang berisiko. Pendapat ini hanya cocok pada periode awal penularan HIV/AIDS pada 1987 sampai 1997. Namun secara perlahan penularan HIV/AIDS juga merambah pada kelompok lainnya yaitu pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA) dengan jarum suntik sejak 1997 hingga 2007.
HIV/AIDS dikenal pula sebagai penyakit yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya. Karena itu, sejak 2007 tren penularan HIV/AIDS berpindah pada kelompok yang tak terduga yaitu ibu rumah tangga.
Kelompok berisiko seperti pekerja seks hanya menyumbangkan 3,4%, sedangkan masyarakat umum seperti ibu rumah tangga, karyawan swasta, serta wira usaha menyumbangkan 40,3% dalam jumlah kasus AIDS di Indonesia pada 2016. Fenomena ini sejalan dengan data Kementerian Kesehatan pada 2015 yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh (50,3%) bentuk penularan HIV melalui hubungan seksual dengan pasangan beda jenis kelamin (heteroseksual).
Padahal, ibu rumah tangga adalah kelompok yang sebagian besar akan menjadi ibu hamil dan meneruskan keturunan. Kejadian HIV/AIDS pada ibu hamil semakin meningkat dan umumnya ditemukan pada usia 20-29 tahun. Selain itu, HIV/AIDS pada ibu hamil menyebabkan masalah yang lebih berat karena dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan menular kepada bayi melalui masa kehamilan, saat melahirkan dan menyusui.
Ancaman terhadap bonus demografi
Topik tentang bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia pada 2020-2045 menjadi isu yang hangat dibahas. Bonus demografi menempatkan posisi Indonesia dalam keadaan yang menguntungkan karena memiliki penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan yang tidak produktif.
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia yang pada 2020 mencapai 271 juta akan meningkat menjadi 305,6 juta pada 2035. Jumlah ini didominasi oleh kelompok usia produktif. Posisi menguntungkan ini akan berubah menjadi merugikan bila kualitas sumber daya manusia tidak diperhatikan.
Kesehatan menjadi salah satu inidikator utama dalam pembangunan manusia. Penyakit HIV/AIDS, selain mengganggu produktivitas ibu hamil berusia produktif, berisiko pula dalam menghasilkan generasi bangsa yang juga menderita penyakit menular tersebut. Kejadian HIV/AIDS pada ibu hamil ini juga mempersulit pencapaian target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 di bidang kesehatan pada 3 poin sekaligus, yaitu angka kematian ibu, angka kematian bayi serta prevalensi kasus HIV.
Upaya penanggulangan
Fenomena HIV/AIDS dalam kelompok ibu rumah tangga sudah mendapatkan perhatian pemerintah melalui layanan prevention mother to child transmission (PMTCT) sejak 2004. Namun layanan ini kurang berjalan optimal karena belum mampu menjangkau ibu hamil sebagai kelompok sasaran. Hingga 2011, layanan ini baru berhasil menjangkau 7% dari jumlah ibu hamil yang membutuhkan layanan tersebut.
Karena itu, sejak 2011 dilakukan penguatan dan percepatan cakupan layanan melalui penggabungan layanan ini dengan layanan yang biasa diterima ibu hamil selama masa kehamilannya yaitu _[antenatal care atau ANC.
Layanan ANC yang diterima ibu hamil di setiap jenjang pelayanan kesehatan memudahkan dalam menjaring ibu hamil yang terkena HIV/AIDS. Layanan PMTCT pada dasarnya menawarkan tes HIV untuk semua ibu hamil, lalu diberikan antiretroviral (ARV) pada ibu hamil HIV positif. Setelah itu pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan HIV positif dan pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil HIV positif, serta pemberian makanan terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
Layanan ini sangat tepat diberikan bersama dengan ANC yaitu dengan mengambil sampel darah dari ibu hamil untuk diperiksa status penyakit tidak hanya HIV/AIDS tapi juga penyakit menular seksual lainnya. Hal ini merupakan kunci awal penjaringan ibu hamil dengan HIV/AIDS karena pada awalnya pemeriksaan HIV/AIDS hanya berdasarkan perilaku risiko dari ibu tersebut serta hasil rekomendasi dari tenaga kesehatan.
Faktanya, sebagian besar ibu yang mengidap HIV/AIDS umumnya mendapatkan penyakitnya dari laki-laki dengan HIV/AIDS. Sebanyak 4,9 juta dari para ibu rumah tangga menikah dengan pria berisiko tinggi dan sebanyak 6,7 juta laki-laki di Indonesia merupakan pembeli seks. Ibu rumah tangga tidak memiliki kekuasaan mengendalikan perilaku seksual pasangannya di luar rumah, khususnya ketika pasangannya mempunyai pekerjaan dengan mobilitas tinggi.
Melawan stigma, meningkatkan akses
Hingga saat ini, perilaku seseorang masih dianggap sebagai penyebab utama dari infeksi HIV/AIDS. Ibu hamil dengan HIV/AIDS seringkali dicap berperilaku negatif di masa lalu, misalnya perilaku seks bebas. Ini salah satu stigma negatif yang kerap muncul di masyarakat sehingga membuat seseorang enggan menunjukkan bahwa ia merupakan ODHA yang perlu mengakses pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan ARV secara terus menerus seumur hidupnya. Konsumsi ARV masih menjadi salah satu layanan PMTCT. Stigma negatif ini pula yang mengurangi bahkan meniadakan dukungan sosial dari masyarakat untuk ibu hamil dengan HIV/AIDS.
Menurut data UNAIDS, cakupan maupun kepatuhan pengobatan ARV pada ibu hamil di Indonesia dalam layanan PMTCT menurun sejak 2014. Pengobatan ARV ini menjadi kunci karena mampu menurunkan jumlah virus HIV dalam darah ibu sehingga menurunkan kemungkinan penularan pada anak. Pengobatan ARV tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu hamil dan tenaga kesehatan yang menangani, tapi juga membutuhkan dukungan dari suami dan keluarga lainnya.
Selain pengetahuan dan sikap, lingkungan sosial memberi pengaruh besar terhadap seseorang untuk mengakses layanan kesehatan terkait HIV. Pemanfaatan layanan PMTCT DKI Jakarta dan di Papua – dua daerah dengan kasus infeksi HIV tertinggi di Indonesia – misalnya, memiliki karakter geografis dan sosial yang berbeda.
Faktor pendukung dari luar yang mempengaruhi perilaku ibu mengakses atau tidak mengakses layanan PMTCT meliputi keterjangkauan lokasi dan informasi, mutu pelayanan, sarana prasarana, dan kualitas tenaga kesehatan. Dukungan keluarga dan stigma berpengaruh besar.
Secara faktual, faktor-faktor pendukung di atas jauh lebih baik di DKI Jakarta ketimbang di Papua. Artinya ibu hamil di Ibu Kota memiliki akses layanan terkait HIV/AIDS yang jauh lebih mudah dibanding ibu hamil di provinsi paling timur Indonesia. Selain itu, masyarakat perkotaan lebih terbuka terhadap perubahan dan informasi baru terkait HIV/AIDS dibanding masyarakat di pedalaman.
Karena itu, perlu kerja lebih keras lagi untuk mendukung upaya penanggulangan masalah HIV/AIDS pada ibu hamil di daerah-daerah yang akses dan layanan kesehatannya masih minim. Perlu upaya strategis untuk meningkatkan pemanfaatan layanan PMTCT oleh ibu hamil dengan HIV/AIDS sehingga generasi di masa depan terbebas dari ancaman HIV/AIDS.
Marya Yenita Sitohang, Peneliti bidang Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
_________________________________
Ilustrasi: hioahelsefag / Pixabay.com