Rintis Noviyanti, Eijkman Institute for Molecular Biology
Ini adalah artikel kelima dalam seri “Ibu dan Kesehatan Anak” untuk memperingati Hari Kartini, 21 April.
Tema Hari Malaria Dunia pada tahun ini, yang jatuh pada 25 April, adalah “Siap Mengalahkan Malaria”. Artikel ini menjelaskan penyakit malaria pada kehamilan dan bagaimana penyakit ini akan berdampak pada bayi.
Penyakit malaria yang terjadi pada ibu hamil menimbulkan risiko besar bagi ibu dan bayinya. Perempuan hamil adalah penduduk paling rentan karena mereka memiliki risiko lebih besar terkena infeksi malaria dibanding individu dewasa yang tidak hamil.
Satu dari empat orang Indonesia hidup di kawasan dengan risiko tinggi terserang malaria. Pada 2016, malaria membunuh 161 orang di Indonesia. Secara global, penyakit ini membunuh 445.000 orang pada tahun yang sama.
Saat ini hanya ada beberapa laporan tentang dampak infeksi malaria pada kehamilan pada ibu dan bayi di Indonesia. Tim kami dari Lembaga Eijkman di Jakarta telah mencoba mengisi kekosongan studi tentang dampak infeksi Plasmodium falciparum pada perempuan hamil dan anak-anak mereka di Timika Papua, satu provinsi yang memiliki tingkat prevalensi tinggi infeksi malaria.
Riset ini juga berupaya mengidentifikasi hubungan antara infeksi malaria pada ibu dan kesehatan bayi-bayi mereka.
Infeksi pada kehamilan?
Tanda-tanda terkena malaria pada perempuan hamil bervariasi, tergantung tingkat transmisi mereka dan status kekebalan tubuh para perempuan tersebut. Di sub-Sahara Afrika, malaria pada kehamilan terutama disebabkan oleh infeksi parasit yang dikenal sebagai Plasmodium falciparum. Di Asia Pasifik dan Amerika Selatan, infeksi dari parasit Plasmodium vivax umumnya terjadi.
Saat Plasmodium falciparum menginfeksi sel darah merah, parasit ini dapat terakumulasi di plasenta sebagai cara mereka untuk menghindari sistem kekebalan tubuh (imunitas) manusia.
Beberapa riset menunjukkan bahwa antibodi melindungi perempuan terhadap infeksi malaria. Studi lainnya menunjukkan bahwa perempuan yang hamil pertama kali lebih rentan terkena infeksi malaria dibanding dengan mereka yang telah pernah hamil beberapa kali.
Di Asia dan Afrika, data terbaru menunjukkan bahwa perempuan yang hamil pertama kali dapat memiliki jumlah parasit lebih tinggi di dalam darah mereka ketimbang dengan perempuan yang telah hamil beberapa kali.
Sebuah studi membuktikan bahwa antibodi berperan dalam memperbaiki kondisi bayi dari ibu terinfeksi malaria. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mengembangkan vaksin yang melindungi ibu hamil terhadap malaria adalah layak. Bahkan beberapa studi telah menemukan bahwa antibodi yang terbentuk sebagai respons terhadap infeksi Plasmodium falciparum pada ibu hamil dapat mengurangi risiko kematian pada bayi dan berat badan lahir rendah, meskipun laporan lain telah menunjukkan bahwa hal itu tidak selalu terjadi karena adanya respons antibodi yang berbeda.
Wilayah endemik tinggi versus rendah
Laporan pada 2017 dari WHO dan seperti review oleh Desai pada 2007 menunjukan bahwa di daerah endemik tinggi dimana infeksi malaria sering ditemukan, imunitas terhadap penyakit ini juga tinggi.
Laporan ini menyatakan bahwa infeksi ini dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis. Meskipun tanpa ada gejala klinis, parasit malaria masih mungkin masih hidup di plasenta. Hal ini dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil dan berat kelahiran rendah pada bayi yang dilahirkan dari kehamilan pertama kali.
Di daerah endemik rendah, imunitas perempuan hamil terhadap penyakit ini lebih rendah dibanding di daerah endemik tinggi. Ini berarti perempuan hamil dari daerah endemik rendah menghadapi risiko lebih besar terkena anemia berat dan dampak buruk lainnya seperti kelahiran prematur dan kematian janin.
Bagian timur Indonesia tetap merupakan daerah endemik yang tinggi untuk malaria. Studi terbaru di Timika menemukan bahwa infeksi malaria dapat menyebabkan anemia pada ibu, persalinan prematur, kematian janin, dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Sementara itu, resistensi obat dan kurangnya upaya pencegahan seperti penyediaan kelambu dan penyemprotan anti nyamuk dapat berkontribusi pada efek buruk infeksi malaria pada perempuan hamil.
Temuan di Papua
Untuk riset kami di Papua, kami mengumpulkan sampel darah dari perempuan hamil dan sebagian jaringan plasenta mereka untuk meneliti respon antibodi terhadap malaria. Kami juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang berkontribusi pada kasus-kasus malaria pada perempuan hamil.
Riset kami menunjukkan konsistensi dengan temuan sebelumnya bahwa tingkat imunitas perempuan yang hamil pertama lebih rendah dibandingkan dengan perempuan pada kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga menjadikan kelompok perempuan dengan kehamilan pertama kali lebih rentan terhadap infeksi malaria.
Sementara itu, analisis pada sebagian jaringan plasenta menunjukkan sekitar 40% perempuan dengan parasit yang terdeteksi di aliran darah mereka tidak mengandung parasit dalam plasenta mereka. Ini berarti parasit yang ditemukan di dalam aliran darah tidak selalu menunjukkan adanya infeksi parasit malaria pada plasenta.
Menariknya, data awal kami menunjukkan bahwa banyaknya jumlah parasite yang ditemukan dalam aliran darah dapat menyebabkan bayi berat lahir rendah. Namun demikian, tingginya jumlah parasit dalam darah, tidak selalu dapat dikaitkan dengan akumulasi parasit di plasenta.
Hasil ini menunjukkan bahwa angkah-langkah pencegahan diperlukan bagi perempuan hamil dengan infeksi parasit di dalam aliran darah untuk meminimalkan risiko melahirkan bayi berat lahir rendah. Pemberian obat anti malaria harus ditujukan untuk mengurangi jumlah parasit dalam darah mereka.
Tahap selanjutnya
Indonesia telah melakukan berbagai upaya terintegrasi untuk mengurangi dampak buruk malaria pada ibu dan bayi. Ini termasuk distribusi kelambu dan pemberian obat anti malaria yang cepat dan tepat untuk perempuan hamil.
Baru-baru ini, para ilmuwan dari Lembaga Eijkman, Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP), dan Liverpool School of Tropical Medicine (LSTM) di Inggris mempelajari dampak pengobatan malaria pada perempuan hamil yang terinfeksi malaria.
Kami masih menunggu hasil penelitian pengobatan malaria pada masa kehamilan dan berencana untuk menerapkannya ke dalam praktik pengobatan malaria. Harapannya, kelak Program Pengendalian Malaria Nasional dapat mengadopsi cara ini jika terbukti berhasil menurunkan dampak buruk bagi perempuan dan bayinya menjadi kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk memerangi malaria.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam menentukan kondisi kesehatan bayi dari ibu dengan infeksi malaria. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pengobatan malaria yang lebih baik untuk bayi-bayi ini.
Rintis Noviyanti, Scientist at Malaria Pathogenesis Unit, Eijkman Institute for Molecular Biology
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
__________________________________
Ilustrasi: DanEvans / Pixabay.com