Waspadai Pubertas yang Terlambat Akibat Sindrom Turner | OTC Digest

Waspadai Pubertas yang Terlambat Akibat Sindrom Turner

Tasya (15 tahun) adalah remaja putri yang pintar dalam hal kesenian, terutama musik. Ia jago memainkan biola. Jika ia mulai menggesekkan busur biola ke senar, orang di sekitarnya akan menyimak. Orang tidak lagi melihat Tasya sebagai remaja yang “berbeda”.

Secara fisik, Tasya lebih pendek dari remaja sepantarannya, lehernya lebih besar dan wajahnya seperti masih anak berumur 10 tahun. Ibunya pernah konsultasi ke dokter anak, dan mendapat penjelasan bahwa Tasya mengalami pubertas terlambat akibat sindrom turner.

Sindrom turner merupakan gabungan dari kumpulan gambaran fisik yang khas:  berpawakan pendek, leher seperti bersayap, wajah kekanak-kanakan (chubby face) dan siku lengan tak bisa diluruskan. Kabar baiknya, anak dengan sindrom turner memiliki kecerdasan normal.

Dr. Aditya Suryansyah Semendawai, SpA, dari RSIA Buah Hati, Ciputat, menjelaskan, “Sindrom itu terjadi karena terdapat gangguan kromosom di dalam tubuh.” Normalnya kromosom perempuan 46 XX, dan laki-laki 46 XY. Penderita sindrom turner  kehilangan satu kromosom seks; susunan kromosomnya menjadi 45 OX.

Penyebabnya, selama pembentukan janin sebagian atau seluruh kromosom seks kedua tidak ditransfer ke janin. Ketidaksempurnaan kromosom tersebut juga menyebabkan organ rahim tidak sempurna, membuat penderita tidak mengalami menstruasi.

Sindrom ini termasuk langka; mayoritas terjadi pada anak perempuan, 1: 2500. Sebagian besar janin yang mengalami sindrom turner mengalami keguguran ketika dilahirkan. Sindrom turner menyumbang sekitar 10 persen dari jumlah aborsi spontan di Amerika Serikat. 

Anak perempuan dengan sindrom turner sampai usia 5 tahun perkembangannya normal. Setelah itu, jaringan ovarium mengalami degenerasi. Akibatnya anak tidak mengalami pubertas atau pertumbuhan kelamin sekunder, seperti payudara membesar.

Baca juga : Apa Beda Anak Stunting dan Pendek

Terjadi defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone), membuat pertumbuhan / tinggi badan terhambat. Defisiensi hormon pertumbuhan bisa mengakibatkan banyak hal. Seperti tulang keropos, kurang stamina dan kekuatan otot. Dari sisi psikologi menyebabkan berkurangnya daya ingat dan depresi. Terapinya adalah dengan menyuntikkan hormon pertumbuhan.

“Penambahan tinggi badan dapat dibantu dengan memberi hormon pertumbuhan (growth hormone). Sebaiknya diberikan saat umurnya di bawah 10 tahun. Pada saat itu, berdasar pemeriksaan bone age, tulang belum menutup,” tambah dr. Aditya. Penelitian menunjukkan, anak dengan sindrom turner yang tidak diberi terapi hormon pertumbuhan, memiliki tinggi 20 cm dibawah tinggi rata-rata anak seusianya.

Bisa diberikan terapi hormon estrogen dan progesteron, agar penderita memiliki postur yang lebih “berbentuk”, sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Kemajuan teknologi kedokteran  telah membuka kemungkinan untuk mengubah masa depan penyandang sindrom turner. (jie)