Pentingnya Zat Besi untuk anak Usia Pra Sekolah

Pentingnya Zat Besi untuk Kemampuan Belajar Anak Usia Pra Sekolah

Data UNICEF (2016) secara global menunjukkan, konsumsi makanan sumber hewani pada anak usia 12-23 bulan sangat kurang. Bahkan 1/3 anak usia 2 tahun sangat sedikit mengonsumsi atau tidak mengonsumsi atau sumber hewani sama sekali. “Padahal pangan hewani sangat penting sebagai sumber protein dan zat besi, yang akan mendukung fungsi kognitif, aktivitas fisik, dan imunitas anak,” ungkap Prof. Dr. dr. Sandra Fikawati, M.P.H, Ahli Gizi Kesehatan Ibu dan Anak. Pentingnya zat besi untuk anak memang memang tidak boleh diabaikan, terlebih pada anak usia pra sekolah.

Periode pra sekolah meliputi usia 1 – 6 tahun. Ini dibagi lagi menjadi 2, yakni toddler (usia 1 – 3 tahun) dan preschool (3 – 6 tahun). Pada periode ini, anak mengalami pematangan organ, pertumbuhan sel-sel otak, serta perkembangan motorik yang sangat pesat. Kebutuhan akan pangan hewani sebagai sumber zat besi heme amatlah krusial pada periode ini.

Sayangnya menurut data UNICEF 2016, secara global, jumlah konsumsi makanan sumber hewani anak usia 12-23 bulan sangat kurang. Di Indonesia pun demikian. Berdasarkan Survei Konsumsi Makanan Individu (2014), hanya 0,1% anak usia 1-3 tahun di Indonesia yang mengonsumsi daging dan olahannya. Padahal seperti kita tahu, daging merupakan salah satu sumber zat besi yang sangat baik.

Pentingnya zat besi untuk si Kecil

Pentingnya zat besi bagi tumbuh kembang anak berkaitan erat dengan perannya dalam pembentukan hemoglobin (Hb). Hb adalah protein dalam darah bertugas membawa oksigen untuk dialirkan ke seluruh organ dan bagian tubuh, termasuk otak. “Defisiensi zat besi membuat konsentrasi Hb dalam darah rendah. Akibatnya, pasokan oksigen untuk sel-sel tubuh pun berkurang,” terang Prof. Fika, dalam peringatan daring Hari Gizi Nasional bersama Danone Specialized Nutrition Indonesia, Senin (25/1/2021).

Dampaknya, bisa kita bayangkan. Tubuh jadi lemah, letih, lesu, lelah dan lalai (5L). Ini yang terasa oleh tubuh, dan bisa dilihat sebagai salah satu gejala kekurangan zat besi. Dampaknya ke otak khususnya otak anak, lebih hebat lagi. “Kekurangan zat besi mengganggu performa intelektual dan performa kognitif, serta terlambatnya psikomotorik pada anak usia pra sekolah,” ujar Prof Fika. Anak usia 6-16 tahun yang mengalami defisiensi besi memiliki nilai matematika dan membaca yang lebih rendah ketimbang anak yang normal.

Jangan langsung melabeli anak pemalas bila ia lalai mengerjakan tugas sekolah dan PR, atau tidur saat PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). “Konsentrasi belajar menurun adalah salah satu tanda dan gejala anak kekurangan zat besi. Akhirnya performa belajarnya pun turun,” jelas Prof. Fika. Pentingnya zat besi untuk anak memang tidak main-main. Selama periode PJJ, konsentrasi memang kerap jadi masalah. Bayangkan bila si Kecil mengalami defisiensi zat besi; konsentrasinya akan makin jelek lagi.

Hal serupa disampaikan oleh Ketua Umum HIMPAUDI Pusat Prof. Dr. Ir. Netti Herawati, M.Si, dalam kesempatan yang sama. Ia menjelaskan, zat besi merupakan nutrisi yang berfungsi penting untuk perkembangan otak, termasuk neurotransmitter atau pengantar sinyal saraf. “Zat besi juga berperan dalam pembentukan myelin saraf, serta berperan meningkatkan kecerdasan dan kemampuan belajar pada anak,” paparnya.

Lebih lanjut Prof. Netti menjelaskan, Executive function atau kemampuan otak untuk mengatur atensi, emosi, dan perilaku, mulai muncul di usia pra sekolah. “Executive function yang dibangun sejak dini membuat mereka lebih berhasil saat dewasa nanti. Orang yang yang tidak bisa fokus di usia dini, akan mengalami kesulitan di usia dewasa. Bila terjadi kekurangan zat besi, dampaknya irreversible, tidak bisa diperbaiki di kemudian hari,” tegasnya.

Mencukupi kebutuhan zat besi anak

Anak usia 1-3 tahun membutuhkan 7 mg zat besi setiap hari. “Kadar zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh konsumsinya. Kalau pola makan tidak seimbang, penyerapan zat besi di saluran cerna terganggu, dan cadangan zat besi kurang, maka anak bisa kekurangan zat besi,” ucap Prof. Fika.

Sumber zat besi heme antara lain daging, ikan, unggas, dan hati. Untuk anak-anak, daging perlu dimasak hingga lunak agar mudah dikunyah, sehingga anak mau memakannya. Penyerapan zat besi heme sangat baik di saluran cerna, sehingga sangat disarankan untuk anak-anak.

Adapun sumber zat besi non heme antara lain sayuran berwarna hijau gelap, telur, dan susu. “Susu yang difortifikasi zat besi mudah diserap usus, terlebih bila susu juga difortifikasi vitamin C,” sambung Prof. Fika. Keunggulan lainnya, bentuk susu yang berupa cairan mudah dikonsumsi oleh anak, sehingga semua kandungan nutrisi di dalamnya, termasuk fortifikasi zat besi, bisa masuk semua.

Jangan lupakan vitamin C, karena dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Kapan sebaiknya vitamin C diberikan? “Sebaiknya sebelum makan karena dengan situasi yang asam, zat besi lebih mudah diserap di saluran cerna,” jelas Prof. Fika.

Harus diakui, masa pandemi menghantam ekonomi banyak keluarga di Indonesia. Survei daring oleh PP HIMPAUDI terhadap 25.935 responden menemukan, sebanyak 33,8% responden telah mengurangi pengeluaran untuk makanan dan minuman. Ini tentu bisa makin memperburuk defisensi zat besi pada anak Indonesia. Sebelum pandemi saja, 20% anak ke sekokah tidak sarapan, 20% anak memiliki kebiasaan makan <3x sehari, dan banyak anak mengalami defisiensi zat besi. “Pandemi berisiko memperparah hal ini,” sesal Prof. Netti.

Bagaimanapun, kesehatan dan tumbuh kembang anak harus tetap dinomorsatukan. Orang tua harus kreatif menyajikan menu makanan bergizi dan mengandung zat gizi tinggi, dengan bahan makanan yang murah dan mudah didapat. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Kids photo created by torwaiphoto - www.freepik.com